Bincang-bincang


ShoutMix chat widget

Pengikut

Lebih Dekat

Minggu, 23 Mei 2010

Sastra Tetap Berbicara*

Adagium Seno Gumira Ajidarma “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Berbicara”, yang juga sebuah judul buku yang diterbitkan oleh Bentang Budaya, sepertinya menjadi alternatif lain dalam sebuah pengungkapan tragedi yang tidak mungkin dipublikasikan secara vulgar dalam bentuk berita kepada khalayak ramai. Biasanya, pembungkaman itu dilakukan atas kehendak salah satu pihak, misalnya untuk kepentingan penguasa.

Akan tetapi, apakah adagium itu masih berlaku di tengah kebebasan jurnalisme seperti sekarang ini? Sebagai alternatif lain sebuah pembungkaman sepertinya sudah tidak berlaku lagi karena saat ini berbagai media telah berani mengungkapkan setiap tragedi tanpa tedeng aling-aling, tetapi sebagai alat “berbicara” seseorang dalam mengejawantahkan sudut pandangnya pada sebuah tragedi masih sangat berlaku.

Puisi dapat ditulis berdasarkan pada atau dalam kondisi apa pun. Tragedi bentrok antara warga dengan aparat yang diakibatkan rencana pemindahan makam Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, sangat mungkin dijadikan puisi. Tragedi Priok yang menimbulkan banyak korban harta dan nyawa itu bisa saja dipuisikan seseorang setelah ia membaca koran ataupun seusai mendengar diskusi pro-kontra di televisi dengan metode yang berbeda-beda, gaya sesukanya, dan mungkin saja ada keberpihakan dalam isinya atau malah menjadi oasis, penyambung lidah putusnya komunikasi dan toleransi yang mengakibatkan dehumanisasi antara pihak-pihak yang bersitegang.

Tragedi yang dijadikan puisi sejak dahulu sudah dilakukan oleh banyak penyair. Chairil Anwar dalam puisinya “Catatan Tahun 1965”, sebagai salah satu contohnya, secara vulgar mencatat tragedi yang terjadi pada tahun 1965. Chairil Anwar mempertentangkannya dengan sangat menarik dan lugas antara korban yang ditandai awalan di- dalam kata dibakari, dibelenggu, dipanggang, diperanjingkan, diludahi, dicaci, diserapahi, diganyang, dimaki, disumpahi, dicangkul, dibunuhi, dipenjara dst. dengan para pelakunya. Chairil Anwar telah menjadikan puisinya itu sebagai propaganda dan rekaman sebuah tragedi.

Ignas Kleden dalam bukunya Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004) menyebut sesuatu yang menimbulkan/menyulut hasrat seseorang untuk menulis karya sastra seperti tragedi yang dituliskan oleh Chairil Anwar atau yang terjadi di Tanjungpriok itu disebut sebagai kegelisahan politik, cerminan hubungan manusia dan manusia lainnya dalam struktur sosial.

Setidaknya ada dua puisi yang merupakan cerminan hubungan manusia dan manusia lainnya dalam struktur sosial pada rubrik SMS (Sastra Milik Siswa) kali ini: “Kami yang Tersisihkan” karya Latif Margono dan “Butiran Sajak untuk Palestina” karya Erwin Mustika Sari.

Pada puisi “Kami yang Tersisihkan” memang bukan sebuah tragedi kemanusiaan yang mengakibatkan timbul banyak korban jiwa, melainkan kemirisan terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Simaklah bait-bait berikut ini. Membakar wibawa bangku sekolahan//Terbentur rupiah bunda//Ketuklah pintu-pintu ilmu tanpa kwitansi//Dan titipkan ayat-Mu di situ//Agar kami mengubah stigma//Dari rasa-rasa yang mati. Begitu menyentuh, lugas, dan senyatanya persoalan yang terdapat dalam bait puisi karya Latif Margono itu terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Berbeda dengan puisi “Kami yang Tersisihkan” karya Latif Margono, “Butiran Sajak untuk Palestina” karya Erwin Mustika Sari berisi tentang persoalan kemanusiaan yang tidak kunjung usai di Palestina. Dukungan moral untuk rakyat Palestina yang tergambar dalam puisi itu merupakan proganda yang bisa menyejukkan hati rakyat Palestina atau yang bersimpati pada tragedi tersebut atau malah menjadi serbuk mesiu yang makin mengobarkan api amarah untuk melakukan perlawanan.

Pada tataran apresiasi itulah yang menjadikan puisi ataupun karya sastra lainnya menjadi menarik untuk dinikmati. Puisi, begitu pula karya sastra lainnya, sebagai implementasi perasaan atas kepekaan diri terhadap banyak hal yang terjadi dalam struktur sosial memberikan ruang imajinasi yang sangat luas bagi penikmatnya. Ruang imajinasi inilah yang dimanfaatkan para pencipta puisi sebagai stimulan para penikmatnya agar berapresisasi puisi: berusaha mengenali, memahami, memikirkan secara kritis, dan memiliki kepekaan rasa terhadap sebuah karya.

Ruang imajinasi itu pula yang menjadikan karya sastra, tidak hanya puisi, tetap menjadi alat untuk menumpahkan pandangan para penciptanya terhadap persoalan yang terjadi, entah persoalan manusia dengan manusia lainnya, entah persoalan manusia dengan Tuhannya. Dibungkam atau tidak, dikecam atau tidak, satra tetap berbicara.

Selamat berkarya. Salam.

*Ulasan SMS (Sastra Milik Siswa)



Sebait Puisi Untukmu Ya Rabbi
Oleh Arief Anchoer Kurniawan

Secercah rembulan, mengintip di balik awan-awan gelap yang mencoba menghalangi sinarnya yang temaram
Mengintip untuk mengawasi tingkah polah manusia yang asyik terlelap di balik selimutnya
Seraya berharap ada yang terbangun dan menggerakkan tubuh pada Rabbnya
Sehangat mentari di pagi hari, membangkitkan ayam-ayam untuk berkokok dan bersuara lantang
Saatnya menghadapi dunia ini dengan kesungguhan
Seterang matahari, rahmat-Nya memenuhi bumi
Sinarnya yang penuh seakan ingin memberi petunjuk pada manusia untuk bisa berjalan di atas rel yang lurus dan benar.
Seluas samudra, itulah Hikmah dan kebijaksanaan-Nya
Tak ada kejadian yang terjadi tanpa makna.
Sekecil debu pun akan terlihat oleh-Nya
Bahkan bila kejadian itu di malam hari di bawah batu hitam nan kelam.
Sekeping koin itu menggelinding di jalan
Menyusuri terjal, landai, halusnya jalan
Dia terus berputar sampai nanti harus berhenti di suatu titik di sana
Selepas lelah manusia berdoa, mohon keridhoan-Nya, mohon petunjuk dan bantuan-Nya Ikhtiar dan doa pilihannya
Sebutir telur pecah, terpelanting ke wajan
Tapi telur itu sudah berarti bagi pemiliknya
Sebuah bukti akan kita butuhkan, untuk membuktikan kebenaran akan kepastian atas sesuatu yang sudah pasti benar, benar pastinya
Sejernih hati ibu yang menantikan anaknya yang jauh di mata
Hatinya terus merindu untuk bisa cepat bertemu
Setetes air mata itu jatuh, diikuti yang lainnya
Berlomba-lomba membasahi pipi penuh khouf dan roja’ pada-Nya
Sebait puisi buatmu Ya Rabbi, sebagai tanda cinta yang dalam dariku untuk-Mu… Selalu!



Biarkan Aku Mendoakanmu
Oleh Yuant Tiandho

: untuk peri bermata mutiara

Makin kukenal engkau menyengat rasa ini
Menyadari perlahan seperti air mengalir kala hujan

: aku tak mampu mengimami ruku’mu
: aku tak kuasa memimpin sujudmu

Aku hanya sebatang kayu lapuk muda
Tubuhku keropos dilumat rayap
Tak mampu berbunga apalagi berbuah

Hanya pantas sarang labalaba
Bukan menaungimu
: sebongkah anggrek berbunga sepanjang masa

Makin kupikir engkau mencambuk rasa ini
Aku menyadari seperti liuk angin kala senja

: aku tak mampu mengimami dzikirmu
: aku tak kuasa memimpin tilawahmu

Engkau adalah bidadari bersayap
Nafas ucapmu wangi melebihi kesturi
Senyumanmu meneduhi seperti awan untuk bumi
Engkau selalu berbuah apalagi berbunga

Engkau amat pantas menyelimuti ranjang suci
Bukan menyelimutiku
: ranjang kusam berlubang

Aku menyadari tak pantas menjadi sayapmu
Tak menerbangkanmmu pada surga-Nya
Aku berjalan tanpa arah
Mencari di mana rerumputan bersemi
Mengendusendus hangat mentari pagi

Namun, meski aku meraba cahaya
Izinkan aku mendoakanmu, periku
: semoga engkau mendapat pakaian yang sempurna

(Bandarlampung, 15 Desember 2009—2 Februari 2010)




Kami yang Tersisihkan
Oleh Latif Margono

Rintihan anak pinggiran
Mengendus kerak-kerak di tepi
Mencium angus roda tuan
Di mana rasa?

Dan rintik-rintik api
Membakar wibawa bangku sekolahan
Terbentur rupiah bunda
Oleh kepulan urusanmu tuan

Adik-adikku
Menjamah kesucian lewat jerami kering
Seteguk dari ujungnya
Sisa Para pemuda jalang
Dari gunung kekuasaan

Belum cukupkah nadi kami
Tergadai untuk hutang-hutang negeri
di sana kami mengadu
Oleh peluh tak bersambut
Oh, malang nian hati ini

Air mata, sudah jangan memaksa
Inilah nasib kitam kelam

Dan kini
Kubersimpuh pada gusti cuma
Penepuk urat-urat pemangsa
Jadikan kami harum
Oleh timpaan godaan-godaan hina
Oleh keterbatasan rumus-rumus fisika

Tuhan,

Ketuklah pintu-pintu ilmu tanpa kwitansi
Dan titipkan ayat-Mu di situ
Agar kami mengubah stigma
Dari rasa-rasa yang mati

Bujuklah nurani dan intuisi
Agar bersorai ramai nan tertawa
Menjenguk kami di sini
Tanpa kesenjangan busuk memabukkan
Kami yang tersisihkan



Selembar Daun Kering
Oleh Vio Novellina

Aku bagaikan selembar daun kering
Yang bergantung pada sebatang harapan
Sendirian diterpa angin penderitaan
Menghadapi pilunya cinta dan realita

Andai aku memiliki telinga
Aku akan selalu mendengar kelembutanmu
Yang dapat membelai relung hatiku yang sunyi
Dan seandainya aku memiliki mulut
Aku akan selalu berharap mendapati dirimu berbicara denganku
Mengungkapkan apa yang aku rasa dan yang kau rasa
Tapi sungguh disayangkan
Aku hanya memiliki sepasang mata untuk melihatmu
Melihat senyummu dari kejauhan

Tuhan…
Aku dapati diriku di dua sisi pilihan
Antara jatuh dalam lumpur cintanya yang kusam nan hitam pekat
Atau aku berada dalam cinta-Mu yang bening dan suci

Sungguh aku selembar daun yang memiliki cinta di hati
Tak mungkin mudah meninggalkan cintany
Meski sekali pun cintanya hitam pekat

Hidup adalah pilihan
Tak aku tak ingin memilih
Aku ingin dipilihkan
Aku takkan bergerak jika tak digerakkan
Aku hanya selembar daun kering

Kau harus tahu rasanya
Untukku yang hanya bisa menatap wajah cinta dari kejauhan
Perih sekali…

Kali ini Tuhan telah memilihkan pilihan yang bijak
Bagi selembar daun yang tetap teguh memegang batang harapannya
Ya…
Aku gugur…
Aku berada dalam cinta-Nya yang bening dan suci
Melepas keletihan mencinta yang tak direstui kehidupan
Bagi selembar daun kering yang bergantung pada sebatang harapan




Butiran Sajak untuk Palestina
(dari aisy yang peduli)
Oleh Erwin Mustika Sari

Subuh ini, sepeda ku kayuh
Kau tahu ke mana hendak aku berlabuh?
Nanti dulu, sejenak aku usap peluh
Namun tak pernah aku mengeluh
Karena aku akan mengantar lebih dari seribu butir sajak…

Huh… huh… huhh… huuh…
Huh huh huhh hhuhh

HAH?
Tersasar kah aku?
Tempat apa ini?
Kenapa begitu gersang?
Apakah kiamat sudah datang? Atau sebentar lagi oksigen akan hilang? Atau langit sudah bosan jadi atap? Atau bumi juga sudah mulai matang? Atau aku yang tersasar hilang?

: kembali membuka peta tua dan mencoba membaca

Aku tidak salah, aku hanya kurang informasi bahwa tanah tua ini telah luluh lantah tanpa salah

: tok tok tok!

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Please open the door ya Abbas*1…

Waalikumsalam warahmatullahi wabarakatuh…
Min aina anti?

Ana aisy, come from Indonesia
Aku datang membawa lebih dari seribu butir sajak
Ya, seperti yang dilakukan Bang Qahar pada Saddam…
Aku menulis saat makan, aku menulis saat malam, aku menulis saat siang, aku juga menulis saat di jamban…

Ini,
Sebutir, untuk menghilangkan keringatmu yang berlendir, saat kau lihat rakyatmu cacat
Sebutir, untuk menambal langit Palestina yang tak berwarna
Sebutir, untuk temanteman yang ayah dan bundanya diperkosa peradaban
Sebutir, untuk menyumpal dinding Gaza yang bolong
Sebutir, untuk penahan sakit
Sebutir, untuk hatihati yang telah lebur
Sebutir, untuk menyumpal kuping dari bising rudal
Sebutir, untuk pasirpasir yang berdzikir
Sebutir, untuk semutsemut yang semakin kalut
Sebutir, untuk awan yang telah menghitam
Sebutir, untuk matahari yang tak lagi berseri
Sebutir, untuk pencatat yang wafat
Sisanya untuk mortirmortir yang berjatuhan semaunya di badan pasir

Aku sebenarnya ingin membantu serdadu menghalau peluru tanpa baju baja
Tapi ibu bilang aku harus tetap belajar
Agar aku tak tersasar seperti mereka yang tak pernah makan adapadap hidup yang sangat hambar
Agar aku tahu tentang dunia yang tak mau tahu pada tangis dan isakmu
Dan aku juga tahu bahwa di Gaza harga manusia hanya 13shekal*2
Dan aku juga tahu bahwa 3 Maret, tanggal ulang tahunku, adalah sama seperti ulang tahun Palestina saat dilinggis zionis Inggris*3
Dan aku tahu bahwa Obama adalah Zionis taat yang menyusup halus

Aku hanya bermunajat
Lewat tiupan angin yang semakin sarat
Agar Islam di Palestina tak berkarat
Agar dunia tak hanya diam tercekat

Aku rasa hanya ini yang aku bisa
Sebelum suara ibu memanggilku, dan aku semakin menggigil di tanah yang terbakar dan bau anyir ini
Maaf aku tak bisa membantumu dalam negosiasi basi bersama pengkhianatpengkhianat yahudi

Aku harus kembali mengayuh sepedaku
Dan kembali berpeluh
Karena aku harus bersekolah
Di rumahku, sekolah masuk pagipagi sekali
Tapi ternyata pagi telah menciptakan pencuripencuri berdasi
Brutal, tapi mengaku bermoral
Ah,
Sudahlah
Aku harus pamit

Kenapa dahimu mengernyit? Aku tahu…
Kau ternyata tak tahu apa yang ku katakan
Apakah karena dunia juga sudah tidak memberimu kesempatan untuk bicara?
Aku tak peduli
: kembali mengayuh dan menjauh

Peraduanku, 2009

*1 Presiden Palestina, Mahmud Abbas
*2 artikel dari Imad Afana, Penulis asal Gaza
*3 rumahnya Turki Utsmaniyah 03 Maret 1942, Palestina jatuh ke tangan zionis




AnugrahNya
Oleh Andi Prasetyo

semesta ini bercerita
tentang Sang Maha Kuasa
yang bertahta di singgasanaNya

suara alam bersatu
berseru tentang keagunganNya
berderu dalam padu

cahaya Sang Kuasa
getarkan dada hangatkan nadi
anugrah Sang Pencipta
ajarkan bahasa cinta

tentang semua ini
bahwa semesta telah bercerita
semua keagungan Illahi
adalah anugrah cinta pada hambaNya

petunjukNya ini
bagai bintang-bintang pada malam
menghapus gelap beserta sunyi
menjadikan cerah dari kelam

tataplah alam bersama sendiri
dengarkan bisikan murni
bukankah semua ini
anugrah Illahi yang pasti

diperlukan kapal hati
berlayar menuju alam sejati
berlabuh dalam kasih yang hakiki
menjadikan jiwa pada suci

dan jangan boleh senja menyapa
sampai semua nyata dijalanNya
berjalan dijalanNya
hinggap bersama alam disisiNya

kenyataan itu ada karena impian
bersahabat dengan alam keindahan
hentikan ulah kesombongan
kembali pada Sang Kebenaran

sebelum alam merasa bosan
sebelum Illahi menghentikan waktu
tataplah panjang kedepan
mulai harapan baru

sebelum melakukan kesalahan pada siang
sebelum melakukan kezaliman pada malam
ingatlah dengan tenang
bahwa alam tak hanya diam


Radar Lampung, 16 Mei 2010
Baca Selengkapnya...

Minggu, 04 April 2010

Menulis yang Enak dan Mudah Dicerna*

Menulis merupakan kegiatan produktif untuk mengembangkan gagasan yang berada di otak. Gagasan-gagasan yang diperoleh melalui aktivitas membaca dan mendengarkan itu akan lebih mudah diungkapkan seseorang melalui aktivitas berbicara. Akan tetapi, gagasan itu akan menemui kendala ketika seseorang ingin mengungkapkannya melalui aktivitas menulis. Dengan berbicara, seseorang dapat mengoreksi/menjelaskan secara langsung ketika lawan bicaranya tidak mengerti/bingung dengan persoalan yang sedang dikatakannya. Berbeda dengan berbicara, seorang penulis tidak dapat melakukan seperti apa yang dilakukan oleh seorang pembicara. Oleh karena itu, seorang penulis harus memikirkan apakah tulisannya dapat dengan mudah dimengerti oleh pembacanya tanpa harus bertanya-tanya.

Menulis bukan semata-mata bakat. Menulis (penulis) sama halnya dengan mengendarai (pengendara) sepeda, menanam (penanam) jagung, dan memijah (pemijah) lele, sama-sama membutuhkan latihan, ketekunan, dan kerja keras. Kesemuanya itu diperlukan proses yang panjang karena tidak ada seorang pun yang langsung dapat mengendarai sepeda, menanam jagung, memijah lele, dan menulis dengan baik dalam waktu yang singkat. Mereka pasti pernah merasakan jatuh dari sepeda, jagungnya gagal panen, lelenya mati, ataupun tulisannya ditolak oleh penerbit. Ya, hanya orang-orang yang mau bekerja keras, tekun, dan mau berlatih saja yang bisa mewujudkan keinginannya tersebut.

Selain itu, untuk menjadi penulis misalnya, hal mendasar yang layak diperhatikan salah satunya adalah bahasa, termasuk di dalamnya kaidah yang berlaku pada bahasa yang digunakan, pemilihan kata, dan logika karena bahasa merupakan bahan pokok dalam menulis, tidak ubahnya seperti jagung dan lele dalam pertanian dan perikanan.

Tulislah yang Membuat Anda Gelisah dan Gelisahlah dengan Apa yang Anda Tulis

Kenaikan harga BBM, pemanasan global, dan sampah merupakan sebagian kecil persoalan yang membuat hati gelisah. Terkadang, kegelisahan itu hanya berhenti dalam hati atau paling jauh hanya sampai pada tataran perbincangan pada saat makan siang dengan rekan sejawat. Padahal, jika ada banyak orang yang merasakan kegelisahan itu, sangat dimungkinkan sebuah pintu perubahan akan terbuka lebar karena pada galibnya, manusia yang gelisah adalah manusia yang berakal sehat dan bertanggung jawab sehingga ia berusaha keras untuk mencari (menawarkan) solusi atas persoalan-persoalan yang ada.

Memang, menuliskan persoalan-persoalan yang ada di sekililing kita tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Selain peka dan erti dengan persoalan yang diangkat, ada hal lain yang perlu dilakukan agar tulisan menjadi informatif dan edukatif karena dalam sebuah tulisan ada suatu harapan dari pembacanya, yaitu mencerdaskan dan tidak menyesatkan. Gola Gong dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Jadi Edison, Siapa Takut!” (Sumber: http://www.rumahdunia.net, 24/06/2008) mengatakan bahwa, di samping pengalaman sehari-hari yang dapat dijadikan inspirasi dalam menulis, riset ke lapangan (field research) dengan melakukan observasi dan wawancara atau di rumah saja (desk research) dengan membaca buku dan menjelajahi internet juga perlu dilakukan. Keuntungannya, tulisan yang dihasilkan melalui observasi lapangan dan pustaka lebih kaya karena pembaca mendapatkan informasi yang objektif, ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dibandingkan dengan tulisan yang tidak.

Berkaitan dengan acuan dan data, ada beberapa langkah sederhana menuliskannya pada daftar pustaka dalam penulisan ilmiah. Pertama, nama penulis (ditulis dengan terbalik: unsur nama yang terakhir dituliskan terlebih dahulu), tahun penerbitan, judul buku (ditulis dengan garis bawah/bercetak miring dan setiap kata dituliskan dengan huruf kapital, kecuali kata penghubung, seperti yang, agar, bagi, dan), tempat penerbitan buku dan nama penerbit. Kedua, jika acuan dan data itu diperoleh dari internet, alamat website ditulis dengan lengkap beserta tanggal pengambilan data.

Setelah menemukan dan mengangkat persoalan yang membuat hati gelisah, seseorang seharusnya (harusnya) gelisah dengan apa yang ditulisnya. Helvy Tiana Rosa (2003:x), seorang penulis perempuan yang aktif di FLP, bercerita bahwa ia sering teringat dengan semua guru bahasa Indonesianya ketika ia sedang menulis. Mungkin saja ia bukan benar-benar teringat keramahan guru-gurunya, melainkan teringat akan pelajaran bahasa Indonesia yang berisi tentang aturan berbahasa yang diajarkan oleh gurunya.

Pada tataran kegelisahan tentang apa yang kita tulis inilah yang menempatkan swasunting perlu dilakukan. Wahyu Wibowo (2005:5—7) mengatakan bahwa swasunting itu perlu, selain untuk mendeteksi apakah tulisan yang kita buat mengandung prinsip keindahan tulisan: mengandung kesatuan dan keutuhan, satu pikiran utama yang jelas, dan perkembangan, juga dikarenakan sebuah tulisan—sebagai produk pemikiran—pada dasarnya dituntut hadir ke hadapan pembacanya dalam penampilan yang indah: yakni wajar, simpatik, tidak norak, dan tidak berlebih-lebihan.

Penulis yang baik akan memikirkan banyak orang, termasuk editor dan pembaca. Seperti kita tahu, seorang editor mempunyai tugas yang sangat berat karena begitu banyak tulisan yang masuk setiap harinya. Ia harus memilah dan memilih tulisan manakah yang layak untuk dimuat, belum lagi tekanan yang diperoleh dari atasannya untuk menyegerakan suntingannya untuk dicetak. Pertanyaannya, apakah kita tega menambah pekerjaan editor untuk menyunting tulisan kita meskipun secara esensi baik? Bukankah itu sebuah dosa karena menyulitkan orang lain?

Wahyu Wibowo (2005:11) juga menjabarkan bahwa tindak penyuntingan dipangkalkan pada etos (a) tunduk pada kaidah berbahasa (ejaan, istilah, dan gramatika); (b) menghargai referensi (kamus, kamus sinonim, kamus istilah, atau tesaurus); (c) memelihara kepekaan sosial-budaya; (d) mengasah kesabaran dan ketelitian; dan (e) mengembangkan wawasan pengetahuan.

Hal itu memang terlihat sangat teoritis dan kaku. Bagaimana bisa menulis kalau belum mulai menulis saja sudah dihadapkan dengan aturan-aturan? Pada dasarnya, aturan itu dibuat demi kebaikan meskipun ada sebagian orang yang menganggap bahwa aturan itu dibuat untuk dilanggar. Bagaimana jika si pembuat aturan melanggar aturan yang dibuatnya? Bagaimana jika si pelanggar aturan semakin tidak tahu aturan? Lalu, bagaimana jika di bumi ini tidak ada aturan?

Menghindari Kata-kata Basi, Berlemak, dan Tidak Baku

Penulis mempunyai tugas yang tidak mudah seperti tugas yang disandang oleh seorang koki. Koki yang baik pastilah memikirkan dan memastikan bahan baku sajiannya itu segar dan bergizi. Ia pun harus menyiapkan komposisi yang tepat agar bumbunya dapat melebur menjadi satu-kesatuan dengan bahan baku yang telah ia siapkan. Pada saat penyajian, seorang koki yang mempunyai rasa peka akan keindahan, pastilah akan menghiasi hidangannya agar enak dipandang sebelum disantap.

Begitu pula dengan penulis, kata-kata yang basi layak untuk dihindari demi sebuah kesegaran. Hal itu ditegaskan oleh Pak Danar dalam tulisannya “Kata dan Ungkapan yang Cergas” yang dimuat oleh Kelasa, majalah ilmiah yang dikelola oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung (2007:1—2). Dalam tulisannya itu, Pak Danar mengatakan bahwa kata yang pemakaiannya terlalu sering akan menyebabkan kata itu menjadi klise, tidak berdaya guna, dan tidak cergas lagi. Wahyu Wibowo (2005:64) juga berpendapat yang sama dengan Pak Danar, ia mengemukakan bahwa kata-kata klise adalah kata-kata yang sudah kehilangan roh atau tuahnya karena pembaca sudah bosan mendengarnya. Meskipun demikian, Pak Danar juga beranggapan bahwa ada pula kata-kata yang dianggap klise itu dapat dipakai asalkan hanya sesekali, misalnya kambing hitam, kuda hitam, biang keladi, dan bulan-bulanan. Coba amati dengan seksama deretan kata-kata yang mereka anggap klise berikut ini, apakah kita sepakat dengan mereka?

masyarakat yang adil dan makmur
terima kasih sebelum dan sesudahnya
demi pembangunan seutuhnya
terancam gulung tikar
tonggak sejarah
mempunyai arti tersendiri
saudara sebangsa dan setanah air
sementara itu
dalam pada itu
perlu diketahui
globalisasi
demokrasi
reformasi
tinggal landas
persatuan dan kesatuan bangsa
otonomi penegakan hukum
melanggar HAM
KKN
(Sumber: Danardana, 2007:2; Wibowo, 2005:65)

Makanlah sebelum lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang. Ungkapan yang terlihat sepele itu, ternyata, mengandung banyak arti. Di samping berisi sebuah saran bahwa makan yang terlalu banyak itu tidak baik bagi kesehatan, ungkapan itu dapat pula diartikan bahwa sesuatu yang berlebihan itu belum tentu baik. Begitu pula dengan menulis, kata-kata yang berlebihan (berlemak), meskipun dengan niatan memperhalus (demi sopan santun) suatu pernyataan atau ungkapan, sama sekali tidak berguna.

Kita sering mendengar seorang pembawa acara menyapa seorang yang mempunyai jabatan tinggi di pemerintahan dengan berlebihan. Si pembawa acara itu berkata “Kepada Yth. Bapak Drs. Hanoman….” Seharusnya, ia memilih antara berkata “Kepada Bapak Hanoman…” atau “Kepada Drs. Hanoman…” atau “Yth. Drs. Hanoman…” atau “Yth. Bpk. Hanoman…” saja karena Yth. mengandung tujuan yang sama dengan Kepada. Begitu pula dengan sapaan Bapak dan gelar Drs. mempunyai tujuan yang sama, sama-sama ingin menghormati orang yang bersangkutan.

Begitu pula dengan penulisan agar supaya. Kedua kata tersebut mempunyai makna yang sama, yakni mudah-mudahan maksudnya tercapai. Begitu pun dengan penggunaan demi untuk, keduanya mempunyai makna yang sama, yakni menunjukkan tujuan atau maksud. Solusinya, pilihlah salah satu kata tersebut: agar atau supaya, demi atau untuk.

Selain kedua hal tersebut, menghindari kata yang tidak baku juga perlu diperhatikan. Di samping untuk menghargai para penyusun kamus, mengingat tugasnya yang berat (memunguti kata-kata yang dipakai oleh masyarakat), kamus juga dapat dijadikan referensi atau setidaknya, sekadar mengecek apakah kata yang kita pakai itu baku atau tidak. Umumnya, kata yang baku akan langsung diberikan definisi, sedangkan yang tidak baku akan diberi tanda rujukan (-->) beserta informasi kata yang bakunya. Berikut ini kata-kata yang tidak baku yang sering diabaikan penggunaannya oleh masyarakat baik secara lisan maupun tulisan: himbau, hembus, analisa, hisap, handal, silahkan, panutan, apotek, dan merubah. Khusus pada kata merubah, kesalahan penggunaannya akan dibahas, sisanya, silakan mencari.

Masyarakat sering mengasumsikan bahwa kata tersebut kata dasarnya adalah rubah. Jika ditilik dari pembentukan katanya, awalan me- yang dipadukan dengan kata dasar berhuruf awal vokal (a, i, o, e, dan u) akan berubah menjadi meng-. Penggunaannya pada kata ambil, injak, oceh, elak, dan umpat akan menjadi mengambil, menginjak, mengoceh, mengelak, dan mengumpat. Begitu pun dengan kata ubah jika ditambahkan awalan me- akan menjadi mengubah bukan merubah. Kata rubah sendiri mempunyai arti binatang jenis anjing bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dsb, Canis vulpes (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005: 965). Jika kata tersebut diberi awalan me- akan menjadi merubah.

Berikut ini kutipan yang diambil dari tulisan Pak Danar tentang memilih kata, khususnya, berbahasa pada umumnya. Senyatalah bahwa sesungguhnya berbahasa dapat dianalogikan dengan berpakaian. Baik buruk, benar salah, dan pantas tidaknya seseorang berpakaian tidak hanya ditentukan oleh kualitas bahan, keserasian warna, dan kecocokan ukuran pakaiannya, tetapi juga ditentukan oleh ketepatan pilihan pakaian dengan situasi pemakaiannya. Sebagus apa pun pakaian renang, meskipun sangat cocok dan pantas dikenakan oleh seseorang, tetap tidak baik digunakan dalam pesta perkawinan. Begitu pula, meskipun dalam pesta perkawinan itu seseorang sudah berbaju batik (bermerek pula), ia tetap tidak menawan jika kedodoran (Danardana, 2007:13).


DAFTAR PUSTAKA

Akhadiah, Sabarti et al. 1999. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Arifin, E. Zaenal. 2008. Dasar-dasar Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: PT Grasindo.

Budianta, Eka. 2005. Senyum untuk Calon Penulis. Jakarta: Pustaka Alvabet.

Danardana, Agus Sri. 2007. “Kata dan Ungkapan yang Cergas”. Dalam Kelasa. (Januari—Juni, II). Lampung.

Rosa, Helvy Tiana. 2003. Segenggam Gumam. Bandung: Syaamsil.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Wibowo, Wahyu. 2005. 6 Langkah agar Tulisan Anda makin Hidup dan Enak Dibaca. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

http://www.rumahdunia.net, 24/06/2008

Makalah yang disajikan dalam
Pelatihan Anggota Muda Forum Lingkar Pena Wilayah Lampung, 2008
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 03 April 2010

Pra-Wedding Ala Tukang Jamu

Persoalan campuraduk bahasa memang sesuatu yang tidak akan menggangu stabilitas dapur banyak orang sehingga mereka tidak begitu khawatir dan mempersoalkannya. Slogan “Jadilah Pengguna Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar”, “Utamakan Bahasa Indonesia”, dan “Menjunjung Bahasa Indonesia berarti Menjunjung Martabat Bangsa” mungkin hanyalah celoteh penjual jamu yang berharap konsumennya menjadi sehat dan kuat. Mungkin karena jamu kalah gengsi dengan obat impor, masyarakat Indonesia lebih percaya dengan sesuatu yang berbau asing meskipun obat yang dari luar itu sering ditemukan bermasalah oleh BPOM. Jadilah, semua yang berbau lokal dinomorduakan oleh orang lokal itu sendiri.

“Sebagian besar rakyat Indonesia berwatak inlander (bumiputra, penduduk asli) yang senang dijajah bangsa lain,” begitu kira-kira komentar salah seorang saksi ahli saat berbicara di depan Pansus Bank Century beberapa waktu lalu. Komentar saksi ahli itu tidak berbeda jauh dengan sebaris lirik lagu yang berjudul “Sistem” karya Puppen: “Mungkin, kita masih terjajah dalam bentuk baru.” Mereka (dan sebagian kecil rakyat Indonesia lainnya) sadar bahwa hampir semua ranah di bumi pertiwi ini di(ter)jajah.

Ah, ini bukan bahasan politik yang membuat orang bertaktik, hanya persoalan bahasa Indonesia dalam upaya membuat orang tergelitik untuk memikirkannya.

Bentuk pra-wedding merupakan salah satu bentukan campuraduk kata dari dua bahasa yang berbeda, pra- merupakan morfem terikat (bound morpheme) dalam bahasa Indonesia, wedding merupakan morfem bebas (free morpheme) dalam bahasa Inggris. Beda spesies, bukan?

Penulisan pra-wedding itu sering ditemui dalam portal jejaring sosial, Facebook. Album yang diberi judul pra-wedding itu berisikan beberapa pose sepasang kekasih yang akan melangsungkan pernikahan. Memang, rubrik ini (lagi-lagi hanya soal bahasa) tidak akan mempersoalkan isi foto seperti yang dipersoalkan oleh MUI tentang larangan foto pranikah. Disadari atau tidak, mereka menamai album foto mereka dengan sesuatu yang berbeda spesies. Sangat disayangkan, padahal yang akan menikah itu satu spesies, bukan?

Yang menjadi pertanyaan, apakah mereka menyakini sesuatu yang kerap ditemui, seperti bentuk pra-wedding, sebagai hal yang lumrah meskipun kurang tepat? Apakah mereka hanya sok Inggris saja seperti halnya salah satu awak bus perusahaan swasta yang menuliskan area merokok di dalam bus dengan tulisan semoking area (seharusnya, smoking area)? Apakah iya? Padahal, portal jejaring sosial itu mendunia. Sudah tentu, mereka memiliki kecakapan dalam berbahasa internasional (seperti Inggris atau lainnya) untuk bertukar informasi dan berkomunikasi.

Dalam bahasa Indonesia, selain pra- ada banyak morfem terikat dalam bahasa Indonesia yang tidak bisa berdiri sendiri, diantaranya pasca-, nara-, sub-, antar-. Sayangnya, bentuk terikat semacam itu sering ditulis terpisah, seperti dalam contoh pasca sarjana, nara sumber, sub sistem, dan antar provinsi. Seharusnya, penulisan yang tepat adalah pascasarjana, narasumber, subsistem, dan antarprovinsi.

Dalam bahasa Inggris, ada pula morfem terikat yang harus berpasangan seperti dalam bahasa Indonesia, di antaranya un- (contoh: uncover, undo) dis- (contoh: displeased, disconnect), pre- (contoh: predetermine, prejudge).

Sebaiknya, penulisan pra-wedding yang kurang tepat itu diubah menjadi prewedding agar senyawa (bahasa Inggris saja) atau morfem terikat pra- dipasangan dengan nikah yang merupakan padanan wedding menjadi pranikah agar senyawa (bahasa Indonesia saja). Totalitas, jangan setengah-setengah. Kalau mau berbahasa asing, ya gunakan dengan tepat agar bermanfaat dan tidak menyesatkan. Atau kalau tidak, ya berbahasa Indonesialah yang baik dan benar. Salam.

Lampung Post, 10 Februari 2010
Baca Selengkapnya...

Dari Buku Harian Menjadi Cerpen, Kenapa Tidak?*

Menulis cerpen, seperti kita tahu merupakan bukan hal yang mudah. Perlu adanya kedekatan dengan diri, alam, dan mungkin saja dengan Sang Pencipta. Menulis cerpen berbeda dengan menulis buku harian (diary). Perbedaan itu terletak pada capaian yang ingin diperoleh oleh orang yang menulis. Menulis buku harian, tentu saja hanya dinikmati oleh diri sendiri, meskipun tidak jarang buku harian yang kita miliki suatu saat dinikmati oleh orang lain dan tidak jarang pula yang mengubahnya menjadi sebuah cerpen.

Hal itu sangatlah lumrah, hanya saja perlu banyak hal yang diperhatikan agar cerita yang berawal dari sebuah buku harian itu menjadi sesuatu yang tidak lagi dinikmati sendiri, tetapi dinikmati oleh banyak orang. Hal yang paling penting dalam menulis adalah Bahasa. Bahasa yang dipakai tentu saja bukan dengan runtutan kalimat yang bisa dinikmati sendiri, tetapi kalimat yang efektif, kalimat yang mampu dipahami pembaca sesuai dengan maksud penulisnya. Selain itu, unsur-unsur seperti alur, tema, latar, dan tokoh juga perlu diperhatikan dengan seksama.

Membaca “Ayah, Karena Cintamu Aku Ada” karya Garda Karisma Sidanta merupakan hal yang menarik. Garda, setidaknya, telah menggunakan bahasa yang apik dan efektif dibandingkan banyak siswa yang mengirimkan karyanya ke rubrik Sastra Milik Siswa (SMS) yang ditaja Radar Lampung dan Kantor Bahasa Provinsi. Meskipun kesalahan-kesalahan berbahasa dalam cerpennya masih ditemukan, tetapi hal itu masih bisa dimaafkan.

Begitu pula dengan alur yang disajikan oleh Garda. Alur maju, perkenalan keadaan – perkembangan – klimaks – antiklimaks (penyelesaian), yang digunakannya memudahkan pembaca untuk melahap keseluruhan cerita yang ia sampaikan. Mulai kenangan indah hingga akhir yang tidak menyenangkan.

Latarnya pun boleh dikatakan sangat berbeda dengan latar kebanyakan siswa yang mengirimkan karyanya ke SMS. Garda berani memunculkan nama-nama tampat seperti Bandarlampung dan Kalianda. Garda telah menunjukkan kelokalannya meskipun dalam porsi kecil. Banyak kawan-kawan sebayanya yang segan (kalau malu dianggap terlalu berlebihan) untuk menunjukkan bahwa dirinya siswa Lampung. Entah terlalu sering menonton sinetron, entah memang asli orang Jakarta, banyak siswa sebaya Garda yang menggunakan latar Jakarta atau dalam dialog-dialognya ber-lu gue yang sama sekali tidak mencitrakan dirinya orang Lampung.

Tema yang diangkat pun tidak berbeda dengan teman-teman sebayanya, yaitu cinta. Garda menampilkan dalam bentuk lain, tidak murahan, apalagi basi. Biasanya, cerpen-cerpen yang masuk ke rubrik SMS yang bertema cinta tidak sedikit yang mirip dengan cerita di sinetron, pasaran, dan mudah ditebak akhir ceritanya. Sebenarnya, tidak ada persoalan seseorang mau mengangkat tema cinta atau yang lainnya, tetapi tema yang diangkat harus diolah dengan baik agar ceritanya menjadi menarik dan tidak membosankan.

Dalam penggarapan tokoh, Garda pun telah melakukannya dengan baik. Alan (tokoh utama dalam cerpen itu) mendapat suatu pertentangan batin. Ia takut memutuskan untuk menikah karena bayang-bayang kegagalan seperti yang dialami keluarganya selalu hadir dalam hidupnya, seperti pada kutipan berikut ini.

Bayangan untuk menikah bagiku adalah jauh ribuan kilometer diatas awan. Kegagalan pernikahan kakak-kakakku membayangiku. ”Buat apa aku menikah kalau akhirnya aku tidak bahagia,” itu pikirku. … Seandainya Tuhan memang menakdirkan aku untuk sendiri akan aku jalani, tapi seandainya Tuhan menakdirkan aku untuk menikah biarlah kasih itu tumbuh sendiri dari-Nya, kasih yang turun dari surga bukan kasih yang kami paksakan.

Menulis buku harian bukanlah yang tercela, kegiatan itu dapat melatih kepekaan kita dalam menulis. Yang terpenting, apa yang ditulis setidaknya sudah memenuhi kriteria efektif. Siapa tahu suatu saat nanti tulisan Yang ada dalam buku harian itu akan kita ubah menjadi sebuah cerpen. Teruslah berkarya. Salam.

*Ulasan Cerpen "Ayah, Karena Cintamu Aku Ada"


AYAH, KARENA CINTAMU AKU ADA
Oleh Garda Karisma Sidanta
SMA Negeri 3 Bandar Lampung

Deras hujan yang turun mengingatkanku pada dirinya. Angin berhembus dengan mesra merasuk, merayap dalam tubuhku. Rumput-rumput tersenyum menyambut datangnya embun pagi. Dari jendela, terlihat jelas bayangan akan dirinya. Dirinya tak akan bisa tergantikan oleh apapun. Seluruh urat nadiku, detak jantungku, dan aliran darahku, seakan terhenti ingat akan kebahagiaan masa lalu.

”Alan, cepat tangkap bolanya!” teriak Ayah padaku.

”Ups, lepas lagi, Yah! Lempar Bu, ambil bolanya!” sahutku.

”Alan, ini bolanya.” kata ibuku sambil melempar bola.

”Mas Wahyu, kemari main dengan kami.” teriakku pada Mas Wahyu, kakakku yang sedang membuka-buka buku kesayangannya. Memang kalau sudah membaca dia sudah tidak bisa diganggu lagi. Adikku yang pertama sedang bermain sendiri dengan teman-temannya. Adikku yang lain bersama Ibu, kadang mereka bergabung bermain bersama kami.

”Mas Alan, ini bolanya,” katanya.

”Lempar, Dik!” teriakku.

”Sarapan sudah siap, ayo cepat kita berkumpul.” kata Ibuku.

”Menunya apa, Bu?” tanyaku.

”Kamu mau apa? Nanti Ibu buatkan.” jawab Ibu.

”Nasi goreng ya, Bu, yang agak pedas, tambahkan sosis dan telur mata sapi. Ibu, telur kuningnya pas ditengah. Oh ya, Bu, yang agak matang saja.” sahutku.

”Baiklah Ibu buatkan.” jawab Ibu.

Untukku, Ibu selalu membuatkan sesuatu yang lebih dari yang lain. Ibu selalu ingin membuat anak-anaknya bahagia. Ibuku tidak bisa mengatakan kata tidak untuk anak-anaknya. Bahkan waktu kami salah pun Ibu selalu masih bisa tersenyum.

”Marilah kita bersyukur atas rahmat yang diberikan Allah SWT pada kita.” ucapan Ayah itu selalu terngiang ditelingaku pada saat aku makan.

”Ayah, ambilkan nasinya.” kataku.

”Lan, ambil sendiri kan bisa.” jawab Ayah.

”Ndak mau, Ayah yang ambilkan.” kataku..

”Baiklah. Ayah ambilkan.”

”Mas, besok kita jalan-jalan ke Telukbetung, ya?” kata adikku yang bungsu, Ciku.

“Aduh, Dik, nggak bisa. Aku besok ada pertandingan basket di Saburai. Ciku sama Ibu saja, ya?”

”Ya udah kalau gitu,” jawabnya.

”Oh, iya, Lan, kamu akan bertanding dengan tim mana?” tanya Mas Wahyu.

”Dengan tim Sumur Batu, Mas. Anaknya besar-besar dan sangat terampil. Malahan ada yang sudah jadi juara nasional.” kataku.

”Wah, kalau gitu tidak fairlah, mestinya semua yang amatiran kalau ada yang juara nasional pasti menang.” sahut Dias, adikku yang pertama.

”Ayah , Ibu, besok lihat Alan tanding ya?” pintaku.

”Ya. Kami semua harus melihat kamu bertanding. Ayah akan sempatkan waktu, Ayah tidak mau melewatkan kesempatan itu, apalagi Ayah dengar anak-anak Sumur Batu memang jago. Tetapi, Lan, Ayah yakin kamu adalah jagoan Ayah.” Ayah memberiku semangat.

Suasana saat makan bersama selalu terbayang-bayang dimataku. Kami tidak pernah ada kata bertengkar, apalagi berpisah. Kalaupun ada, pasti hanya masalah-masalah kecil. Kami satu keluarga serasa tidak bisa terpisahkan lagi. Kami adalah satu tubuh, yang semuanya mempunyai peranan sendiri-sendiri yang tidak bisa tergantikan oleh apapun. Selain itu, kami juga satu rasa. Saat itu si Ciku sakit, dia tidak mau makan. Kami semua tidak doyan makan. Ibulah yang akhirnya sewot karena masakannya tidak ada yang menyentuh. Akhirnya semua masakan diberikan Ibu untuk anak-anak panti. Bermain, bercanda, makan bersama, belajar bersama, pergi bersama, sakit dirasakan bersama.

Ya, kami tidak bisa terpisahkan apalagi aku, aku tidak bisa melihat Ayahku sakit, sedih. Ada rasa tidak rela ketika Ayah sedih karena difitnah temannya. Hubunganku dengan Ayah memang lebih dari yang lain. Ayah juga sama dengan Ibu , Ayah tidak bisa mengatakan tidak untuk anak-anaknya. Ayah selalu mendukung kami semua apapun yang kami lakukan asalkan itu tidak melanggar adat dan budaya, asalkan untuk kepentingan kami. Waktu itu aku pengin sekali belajar piano, usaha Ayah saat itu juga sedang bangkrut. Dengan sekuat tenaga, Ayah pinjam uang ke Paman hanya untuk membayar les pianoku.

Aku dan Ayah memang sangat dekat. Aku rasa kalau tidak ketemu Ayah sehari saja rasanya sangat sepi Tetapi, semuanya berakhir ketika Ayah bertemu dengan cinta pertamanya. Tanpa aku ketahui apa yang terjadi antara Ibu dan Ayah, mereka berpisah. Sangat kecil aku bisa mengingat semuanya. Yang bisa aku ingat hanya kebahagiaan kami. Kakak dan adik-adikku ikut Ibu ke kota kecil di Kalianda. Ayahku bersamaku tetap tinggal di Bandar Lampung. Ibu baruku juga membawa anaknya dari suaminya yang terdahulu. Kami berempat tetap tinggal di rumah lama. Cinta pertama Ayah memang sangat cantik, tapi tidak kalah cantik dengan Ibuku sendiri. Ya, mungkin benar apa kata orang, first love never dies.

Ayah dan Ibuku sangat pintar sekali menyimpan kesulitan mereka didepan kami. Ternyata setelah bertahun-tahun gunung berapi yang berlarvakan ketidakpuasan, dendam, dan benci, akhirnya meletus. Saat itu aku ingat pesan Ibu.

“Alan, sekarang Alan tinggal dengan Ayah, jaga Ayah. Ibu tidak bisa lagi menjaga Ayahmu. Ingat Lan, jangan tinggalkan Ayah sendirian. Jangan biarkan ada orang yang menyakiti Ayah.” pesan Ibu.

”Ibu mau kemana?” tanyaku.

”Ibu akan pindah ke rumah Mbah Putri di Kalianda. Ibu tidak bisa lagi tinggal dengan Alan dan Ayah di sini.” kata Ibu dengan mata berkaca-kaca, terasa Ibu tidak rela harus pergi.

”Ibu, Alan ikut dengan ibu.” kataku.

”Tidak, Lan, Alan harus jaga Ayah, harus ya, Lan, ingat harus.” pesan Ibu sekali lagi.

Saat itu Ibu membawa tas besar, kakak dan adik-adikku ikut Ibu. Kami saling berpelukan dan terasa tidak bisa dan tidak mungkin terpisahkan lagi. Gerimis yang menyirami kota Bandar Lampung, membuat kami semakin sedih akan perasaan kehilangan yang sudah membayang di mataku.

”Mas Alan, jangan lupa jenguk Ciku, ya?” kata Ciku dengan manja.

”Iya, Mas pasti jenguk Eci.” sahutku.

Air mataku tanpa kusadari membasahi seluruh pipiku, aku ingat Ayah hanya diam saja melihat mereka pergi. Ada rasa kebencian yang dalam dimata Ayah, walaupun aku tahu Ayah tidak rela mereka pergi. Aku hampir tidak bisa percaya sesuatu itu terjadi, aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja aku ingat akhir-akhir ini Ayah dan Ibu sering berbicara dengan nada tinggi walaupun tidak berteriak. Mereka sangat menjaga hati anak-anak mereka.

”Ibu, itu tidak mungkin, Ayah hanya pegawai rendahan biasa, Ayah tidak bisa membelikan itu semua.” kata Ayahku.

”Tapi ,Yah, kita kan bisa pakai uang tabungan itu.” kata Ibuku.

”Tidak, Bu, itu untuk anak-anak kita.” kata ayahku.

”Ayah, pokoknya aku mau beli barang-barang itu.” kata Ibuku.

Tidak tahu mengapa, memang akhir-akhir ini Ibu suka membeli barang-barang yang tidak ada gunanya. Ibu membeli makanan dengan harga yang mahal-mahal. Sampai-sampai ada orang datang yang menagih utang pada Ibu. Melihat itu Ayah sangat malu. Karena tekanan batin yang terlalu lama, Ayah menceritakan semua kesedihannya pada seseorang yang dulunya adalah kekasih Ayah. Lambat laun namun pasti, Ayah tertarik dan berpindah dengan pujaan hati yang lain. Aku juga tidak bisa menyalahkan Ayah akan hal itu. Sampai seorang Ibu baru datang kerumah dan kami tinggal bersama.

Walaupun bukan Ibu kandungku tapi dia juga sayang padaku. Beberapa tahun kemudian aku punya adik dari perkawinan mereka, Inggit. Tanpa disadari atau tidak, lama-lama aku merasakan ketidakadilan kasih sayang Ayah padaku.

”Lan, adiknya dibuatkan minum, Ibu mau masuk kerja.” kata Ibuku.

”Ya , Bu, baik.” sahutku.

“Jangan lupa dijaga karena Ibu nanti pulangnya agak sore.” kata Ibuku.

Setiap hari aku melakukannya tanpa ada belaan dari Ayah. Tapi dengan kerasnya hidup yang aku lalui aku punya tekad untuk keluar dari rumah itu dengan sukses. ”Ya, aku harus sukses” itu pikirku.

Belajar adalah sarapanku setiap hari. Ayah tetap memperhatikanku sampai aku bisa menempuh pendidikan tinggi. Setelah lulus aku bekerja pada salah satu perusahaan swasta di Bandar Lampung. Sejak saat itu aku keluar dari rumah Ayah, aku sewa rumah sendiri karena aku ingin membuktikan pada Ayah bahwa aku bisa mandiri. Setiap bulan, walaupun tidak banyak, aku selalu memberikan gajiku untuk Ayah dan adik-adikku. Aku sekolahkan Dias di salah satu PT swasta di Bandar Lampung. Ibuku di Kalianda hidup dengan kakak dan adikku. Sewaktu liburan aku sempatkan dan pasti mengunjungi mereka. Ya, sambil menikmati udara pantai di Kalianda.
Sampai sesuatu terjadi. Ibuku yang kedua meninggal karena penyakit jantung. Karena sudah tinggal bersama, aku juga merasa kehilangan. Ayahku akhirnya sendiri lagi, tapi Ayah tetap tidak mau menerima Ibuku lagi.

***

Inggit, adikku melahirkan anak perempuannya. Dengan kedatangan Yuka, keponakanku, kesepian Ayah terisi. Setiap pagi Ayah selalu berjalan-jalan dengan Yuka. Senang hatiku bisa melihat Ayah bahagia. Tiada hal yang paling indah yang bisa membahagiakan Ayah. Kalau ada Yuka, pasti ada Ayah. Ayah selalu membawa Yuka kemanapun. Sampai suatu pagi, Yuka lari kejalan, Ayah mengejarnya. Karena Ayah terkejut dengan kejadian itu, akhirnya jantung Ayah kambuh. Beberapa saat Ayah harus dirawat ke rumah sakit. Tabunganku yang ingin aku berikan pada Ibu, aku gunakan untuk merawat Ayah. Ibu datang merawat Ayah. Tapi Ayah tetap tidak mau menerima kedatangan Ibu. Sempat aku merasa benci sekali dengan Ayah. Inggit juga tidak mau merawat Ayah dengan telaten. Semua diserahkan padaku. Sampai Ayah terkena lumpuh yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Untuk menopang tubuhnya pun Ayah sulit. Ayah tidak bisa berjalan dengan normal lagi. Sedih sekali rasanya, apalagi sejak aku kerja, aku sudah tidak tinggal lagi dengan Ayah satu rumah. Aku kontrak rumah sendiri, aku datang ke rumah Ayah kalau Inggit tidak ada di rumah. Tidak tahu mengapa ada perasaan tidak cocok dengan Inggit. Apa mungkin rasa cemburuku pada Inggit, aku juga tidak tahu.

”Ayah, Ayah tinggal denganku saja.” kataku

”Tidak, Lan, Ayah ingin tinggal dengan adikmu, Inggit. Ayah tidak bisa meninggalkannya.” kata Ayahku.

”Yah, aku tidak menikah ndak apa-apa kok , Yah. Asalkan Ayah tinggal denganku.” kataku.

”Aku ingin membuat Ayah bahagia.” lanjutku.

Bayangan untuk menikah bagiku adalah jauh ribuan kilometer diatas awan. Kegagalan pernikahan kakak-kakakku membayangiku. ”Buat apa aku menikah kalau akhirnya aku tidak bahagia,” itu pikirku. Selain itu kegagalan Ayah dan Ibuku juga membayangiku. Pernah suatu saat aku tertarik pada seorang gadis, kami sudah sepakat untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan tapi karena muncul faktor-faktor lain yang akhirnya aku tidak jadi menikah dengannya. Karena kehadiranku hanya digunakan untuk merubah status dalam keluarganya. Aku tak mau itu. Tak apalah tujuan akhir hidup bukan hanya untuk menikah. Karena yang harus dilakukan untuk akhir kehidupan kita adalah hidup untuk orang lain. Seandainya Tuhan memang menakdirkan aku untuk sendiri akan aku jalani, tapi seandainya Tuhan menakdirkan aku untuk menikah biarlah kasih itu tumbuh sendiri dari-Nya, kasih yang turun dari surga bukan kasih yang kami paksakan.

”Tidak, Lan.” sahut Ayahku. ”Inilah yang membuat Ayah bahagia, tinggal dengan Inggit.” katanya lagi.

Ya mungkin, bayangan cinta pertama Ayahku ada pada Inggit. Aku juga tidak menyalahkan Ayah seratus persen. Semua kejadian itu bukan karena salah Ayah semata. Ibuku juga punya andil besar dengan kejadian ini. Ibu memang suka boros. Ibu tidak tahu bagaimanan sulitnya mencari uang.. Ibu juga sih yang tidak bisa menggunakan uang dengan baik. Ibu juga yang tidak tahu bagaimana posisi Ayah saat itu. Ibu .... ingatanku pecah oleh ketukan pintu sekretarisku.

“Bapak Alan, ada tamu.”

”Ya, silahkan masuk,” kataku.

”Selamat pagi Bapak Alan Suparnanda, saya Parega Benata dari Garuda Express,” kata nya. ”Barang-barang sudah kami kirimkan, dan mungkin akan tiba beberapa saat lagi.” lanjutnya.

Kesibukan di kantor menghapus kembali ingatanku akan masa lalu sesaat.

Radar Lampung, 11 November 2009
Baca Selengkapnya...

Selasa, 30 Maret 2010

Observasi Pada Penciptaan Karya Sastra*

Membaca karya sastra itu unik. Antara satu pembaca dengan pembaca lainnya belum tentu sama mengapresiasikan sebuah karya sastra. Dalam pada itu, karya sastra tidak ubahnya seperti karet gelang. Ia akan menjadi biasa ketika tidak diperhatikan. Akan tetapi, ia juga memiliki batas ketenturan ketika diperlakukan secara berlebihan.

Oleh karena itu, ada hal-hal yang perlu diperhatikan pencipta karya sastra agar pembaca semakin dalam terhanyut ketika menikmati cerita yang disajikannya. Selain unsur-unsur instrinsik, kelogisan isi cerita juga perlu mendapat perhatian. Kelogisan itu dapat tercipta melalui detail-detail penting yang terdapat dalam cerita. Tidaklah salah jika penulis yang ingin menciptakan sebuah karya juga melakukan observasi agar karyanya menjadi lebih bermutu.

Gola Gong dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Jadi Edison, Siapa Takut!” (24/06/2008) mengatakan bahwa di samping pengalaman sehari-hari yang dapat dijadikan inspirasi dalam menulis, riset ke lapangan (field research) dengan melakukan observasi dan wawancara atau di rumah saja (desk research) dengan membaca buku dan menjelajahi internet juga perlu dilakukan. Keuntungannya, tulisan yang dihasilkan melalui observasi lapangan dan pustaka lebih kaya karena pembaca mendapatkan informasi yang objektif, ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dibandingkan dengan tulisan yang tidak.


Cerita “Confession of Adinda” yang ditulis oleh Dhanar Aditya Nugraha layak untuk dilahap sampai tuntas. Cerita ini diawali dengan penggambaran latar yang sangat menarik. Suasana untuk mendukung perasaan sedih tokoh utama, Adinda Anandita, yang sedang meratapi nasibnya dituangkan dengan luar biasa.
Di tengah cerita, Dhanar berani merangkaikan kata-kata sehingga terbentuk metafora yang liris sehingga cerpen karyanya menjadi enak untuk dibaca, seperti pada kutipan berikut ini.
Dunia ini sangat indah sekali, tetapi saya merasa terpenjara dipadang pasir tak berujung dalam kehidupan saya. Saya seperti merasa tenggelam dalam lumpur keputusasaan hidup saya.

Pada akhir cerita pun, Dhanar menutupnya dengan singkat tanpa bertele-tele dan membiarkan pembacanya menyimpulkan akhir dari semua pengharapan tokoh utama dalam cerpen tersebut. Sayangnya, Dhanar tidak memperkokohnya dengan observasi sehingga ada beberapa hal yang terasa kurang pas.

Pertama, penyakit folio yang diderita oleh Adinda Anandita, tokoh utama, merupakan penyakit yang sangat diperhatikan oleh WHO sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Indonesia termasuk negara yang mampu menangani penyakit ini dalam kurun lebih dari satu dasawarsa sampai akhirnya ditemukan satu kasus folio pada balita di Sukabumi tahun 2005. Jika data tersebut dikaitkan dengan tokoh utama, Adinda Anandita yang berumur hampir 17 tahun, rasanya kurang pas.

Kedua, penyakit ini menular melalui kotoran manusia yang tertelan melalui makanan atau minuman. Biasanya, penularannya akibat sanitasi lingkungan yang kurang baik. Pemberian imunisasi untuk mencegah penyebaran penyakit ini pun telah dilakukan sejak beberapa puluh tahun yang lalu secara gratis. Jika dilihat dari isi cerita, orang tua Adinda mampu secara materi. Hal itu tergambar melalui cara orang tua Adinda melakukan usaha untuk mengobati Adinda, mulai dari pengobatan tradisional hingga modern. Pertanyaannya, apakah mungkin anak semata wayang yang berasal dari keluarga mampu akan menderita penyakit folio?

Andai Dhanar melakukan observasi, detail-detail yang sederhana seperti penyakit folio si tokoh utama diperhatikan, cerita yang disajikannya akan lebih menarik.
Konon, J.K. Rowling, si pencipta Harry Potter itu juga melakukan observasi. Detail-detail yang terdapat dalam karyanya dapat dipastikan merupakan hasil observasi sehingga tidaklah salah jika Hogwarts itu menjadi kampus sihir paling tersohor di dunia.

Selain itu, Dhanar juga tidak mengacuhkan persoalan tata tulis pada karyanya. Ketidaktepatan penggunaan di- sebagai kata depan ditemukan mulai awal hingga akhir cerita. Disitu, diatas, dihari, dimana, didalam, dipangkuan, ditangan, diotaknya, dimeja, diempang, dipadang pasir, didepan, dibawah, disekitar, dilapangan, dan disana merupakan contoh penggunaan di yang tidak tepat yang terdapat dalam cerpen karya Dhanar.

Begitu pula dengan penggunaan kata depan ke-, banyak yang kurang tepat. Padahal, untuk menyiasati agar mudah membedakan kata depan atau imbuhan dapat dilakukan dengan menggunaan pertanyaan menggunakan kata di mana dan ke mana? Jika jawabannya menunjukkan tempat, penulisan di- dan ke- dipisah.

Selain itu masih terdapat ketidaktepatan penggunaan partikel pun yang ditulis Dhanar, misalnya Adindapun dan siapapun. Padahal, hal itu juga mudah untuk diantisipasi. Kita hanya perlu menghapal dua belas kata yang harus diserangkaikan dengan partikel pun. Berikut ini kata-kata yang pasti diserangkaikan dengan pun: walaupun, bagaimanapun, andaipun, sekalipun (yang berarti ‘walaupun’), meskipun, sungguhpun, kendatipun, adapun, kalaupun, maupun, ataupun, dan biarpun. Selain kedua belas kata itu, penulisan pun dipisah.

Sebenarnya, kepedulian terhadap tata tulis merupakan salah satu cara untuk membantu pembaca untuk memahami cerita serta memudahkan dan meringankan pekerjaan editor. Seperti kita tahu, seorang editor mempunyai tugas yang sangat berat karena begitu banyak tulisan yang masuk setiap harinya. Ia harus memilah dan memilih tulisan manakah yang layak untuk dimuat, belum lagi tekanan yang diperoleh dari atasannya untuk menyegerakan suntingannya untuk dicetak. Pertanyaannya, apakah kita tega menambah pekerjaan editor untuk menyunting tulisan kita meskipun secara esensi baik? Bukankah itu sebuah dosa karena menyulitkan orang lain?

Tulislah yang membuat Anda gelisah dan gelisahlah dengan apa yang Anda tulis. Salam.

*Ulasan Cerpen Confession of Adinda


CONFESSION OF ADINDA**
Oleh Dhanar Aditya Nugraha

Senja itu, hujan rintik membasahi dedaunan. Airnya menetes setitik dan perlahan. Didepan rumah, bendera merah putih layu dibasahi air hujan. Seorang gadis sedang duduk dibalik jendela kamarnya yang berembun. Entah sejak kapan dia berada disitu. Yang jelas, sorot matanya tak lepas dari bendera merah putih yang layu.
Dalam hati gadis itu, ingin sekali saat itu juga dia berlari keluar, bermain hujan atau mungkin juga menikmati keindahan pelangi. Tetapi, dia tak akan pernah mungkin bisa melakukan itu semua. Karena seumur hidup, dia akan menghabiskan hidupnya diatas kursi roda.

Ya, sejak kecil dia menderita polio yang membuatnya menjadi lumpuh. Tak terhitung banyaknya pengobatan yang telah dia jalani, baik itu pengobatan tradisional, maupun modern. Tetapi semuanya seperti tak membawa perubahan yang berarti.

Gadis itu melirik kearah almanak yang tergantung di dinding. Dia melihat tanggal yang telah dia lingkari dengan spidol warna merah sebelumnya. Hari ini tanggal lima belas Agustus, itu berarti dua hari lagi dia akan berusia tujuh belas tahun, tepat dihari kemerdekaan negaranya. Tujuh belas tahun, usia yang begitu indah. Dimana tahap menuju kedewasaan akan dia jalani. Tetapi sekali lagi, kedewasaan apa yang akan dia jalani jika seumur hidup dia akan terus duduk dikursi roda. Ahh , dia menghela nafas panjang.

Adinda Anandita, demikian nama gadis itu. Dia seorang gadis yang cantik. Dia merupakan anak tunggal dalam keluarganya. Kedua orang tuanya sangat sayang padanya. Namun, Adinda adalah gadis yang sangat tertutup. Dia jarang sekali keluar rumah dan lebih banyak menghabiskan hari-harinya didalam kamar. Dia hanya mau berbicara pada orang tuanya. Orang tuanya tak mengizinkan dia untuk keluar rumah seorang diri karena takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada putri semata wayangnya itu. Dan Adindapun sepetinya mengerti dan menjadi pribadi yang sangat tertutup. Karena ketertutupannya itu, orang tuanya memberikan pendidikan home schooling padanya.

Adinda, dia lebih senang dipanggil Dinda, kini pandangannya menerawang ke angkasa luas. Dia membayangkan menjadi anak-anak normal yang lain. Dia ingin bermain bersama teman-temannya. Berlari kesana-kemari. Berteriak penuh kemenangan. Dia terbayang usianya yang mulai beranjak remaja. Air matanya menetes pelan. Ahh, mengapa engkau menangis Dinda?

Dipangkuan gadis itu, kini tergeletak sebuah kertas kosong. Ditangan kanannya, tergenggam sebuah pena yang mungkin sudah tidak sabar lagi ingin digoreskan diatas kertas kosong. Dinda mulai menulis. Menulis semua hal yang terlintas diotaknya. Sejenak dia melamun, lalu kembali menulis, begitu seterusnya sampai dia selesai dan memasukkan kertas itu ke dalam amplop yang tergeletak diatas meja disamping jendela. Untuk siapakah surat itu, Dinda? Ahh, engkau menjadi putri tidur.

***

Hari minggu yang cerah. Pagi itu, Dinda telah siap dimeja makan untuk menikmati sarapan bersama kedua orang tuanya. Dimeja makan, telah terhidang mie goreng yang aromanya harum menggoda. Namun gadis itu terlihat lesu. Dia melamun sambil menggulung mie gorengnya dengan ujung garpu.

“Sayang, mengapa Dinda terlihat sedih?” tanya Mamanya penuh kasih. Gadis itu tak menjawab. Dia mengangkat wajahnya dan melempar senyum. Dia menoleh kearah Papanya. “Papa, bolehkah Dinda meminta tolong sesuatu?” “Boleh, Sayang. Ada yang bisa Papa bantu?” “Tolong surat ini Papa kirimkan ke stasiun radio Suara Indonesia ya, bisakah?” “Bisa, Sayang. Asal Dinda harus menghabiskan makanannya itu. Bagaimana? Setuju?”

Gadis itu tersenyum. Indah.

***

Malam hari sehabis makan malam, Dinda dan kedua orang tua berkumpul di ruang tengah. Dinda menyetel radio yang berada disamping televisi dan meminta orang tuanya untuk dapat menemaninya mendengarkan radio. Gadis itu mendengarkan baik-baik.

“Malam ini, dalam rangka menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia yang keenam puluh empat. Kami keluarga besar stasiun Radio Suara Indonesia akan membagikan hadiah yang unik sekali. Yaitu, dengan mengirimkan identitas anda dan sertakan permintaan yang anda inginkan. Banyak sekali surat yang masuk hari ini, tetapi kami hanya memilih tiga orang yang beruntung.” kata penyiar radio yang bercuap-cuap ria diujung sana.

Penyiar radio itu berkata lagi. “Ini surat pertama dari teman kita Eka Anissa Vitri. Mari kita bacakan.” Setelah berkata itu, penyiar radio membacakan permintaan Eka. Dia meminta hadiah sebuah handphone karena uang tabungannya habis untuk membayar sekolah.

Pada pengirim surat kedua yang bernama Fely Ciquita, dia meminta seperangkat alat memancing agar bisa mengajak orang tuanya memancing diempang belakang rumah. Hingga tiba giliran pembacaan surat ketiga.

“Ini surat dari teman kita Adinda Anandita. Mari kita bacakan.” Kedua orang tua Dinda menoleh bersama kearah putrinya. Gadis itu sedang menundukkan wajah sambil mendengarkan penyiar radio itu membacakan suratnya. “Selamat malam semuanya. Nama saya Adinda Anandita. Saya adalah anak tunggal yang esok hari genap berusia tujuh belas tahun, tepat dihari kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi kebanyakan orang, usia tujuh belas tahun adalah masa yang sangat indah. Masa dimana kita menuju kedewasaan dalam kehidupan kita. Masa dimana kita mulai membuka diri menyongsong masa depan kita. Tetapi tidak bagi saya, karena saya adalah seorang gadis yang menderita lumpuh sejak saya masih balita. Saya lebih banyak menghabiskan hidup saya diatas kursi roda. Saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis puisi didalam kamar saya. Saya sering menulis puisi tentang keindahan dunia dengan segala yang terjadi diatasnya. Dunia ini sangat indah sekali, tetapi saya merasa terpenjara dipadang pasir tak berujung dalam kehidupan saya. Saya seperti merasa tenggelam dalam lumpur keputusasaan hidup saya. Saya benar-benar merasa sangat kesepian.” penyiar radio itu berhenti sejenak. Lalu meneruskan lagi dengan suara agak terisak. ” Melalui surat ini, saya ingin mengatakan keinginan saya. Andaipun tak bisa dikabulkan, saya sudah sangat bersyukur karena surat saya ini dibacakan. Ketahuilah bahwa saya tidak ingin meminta apapun yang berwujud benda, saya tidak memerlukan semua itu. Saya … saya ingin mempunyai sahabat. Saya ingin mempunyai sahabat yang bisa saya ajak bermain. Saya ingin mempunyai sahabat dimana saya bisa berkeluh kesah. Saya ingin mempunyai sahabat dimana dia bisa menceritakan pada saya betapa indahnya dunia. Saya ingin mempunyai sahabat dimana ada yang menguatkan saya saat saya putus asa. Saya ingin mempunyai sahabat dimana saya bisa berbagi dalam kesenangan dan kesedihan bersama. Saya ….“ penyiar radio itu tak meneruskan perkataannya. Suaranya menjadi serak seperti menahan tangisan. Dia melanjutkan, “Saya ingin mempunyai sahabat… Dan hanya satu hal itu sangat saya harapkan… Selamat malam dan selamat hari kemerdekaan…” Dinda. Dia menunduk semakin dalam. Air matanya menetes di pipinya. Dia menangis dengan isak tangis yang tak tertahan lagi. Dinda, ternyata dia menderita lahir dan batin. Dia begitu tersiksa dengan kehidupan yang telah dijalaninya. Dia ingin berbagi namun tak punya teman. Dia ingin mengasihi namun tak tak punya teman. Ahh Dinda, sampai kapankah engkau mampu bertahan. Tetapi kini, telah keluar segala beban dihati yang selama ini dia simpan rapat-rapat. Telah keluar segala beban yang membuatnya merdeka dari keputusasaan hidup. Dia terus menangis dan menangis sampai orang tuanya mendekati dan memeluknya. Keluarga itu berpelukan dalam tangis. Siapapun yang melihat peristiwa itu pastilah ikut terenyuh hatinya.. Tanpa sadar, jam di dinding berdentang dua belas kali, tanda hari telah berganti.

“Selamat ulang tahun, Sayang. Papa dan Mama sangat menyayangimu.” kata Papanya. “Dinda juga menyayangi kalian.”

***

Esok paginya, Dinda terbangun dari tidurnya karena mendengar suara berisik didepan rumah. Dia beranjak menaiki kursi roda dan mengayuhnya kearah jendela. Dari jendela yang berkilauan memantulkan cahaya mentari, dia melihat bendera merah putih berkibar dengan gagahnya. Dibawah bendera yang berkibar itu, anak-anak tetangga disekitar rumahnya memanggil-manggil namanya dan memintanya keluar untuk melihat lomba dilapangan. Ketika matanya melihat kepagar rumah, di kotak surat, telah ada bertumpuk-tumpuk surat tergeletak disana. Adapula sebuah karangan bunga yang entah dari siapa. “Selamat ulang tahun Adinda dan Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Ketahuilah bahwa engkau tidak sendiri.”

***

Confession of Adinda = Pengakuan Adinda.
**tidak disunting

Radar Lampung, 6 September 2009
Baca Selengkapnya...

Sekali Lagi: Mengaji dan Mengkaji

Memang benar kata mengaji dan mengkaji berasal da­ri kata dasar yang sama, yaitu kaji. Keduanya di­pakai oleh para pakar bahasa, pencinta bahasa, akademisi, atau jurnalis meskipun jelas-jelas kata yang ber­fonem awal k, p, t, dan s akan luluh jika mendapat awalan me- seperti yang dikemukakan oleh Saudara Fikri Ariyanto (Lampung Post, 15 April 2009) memang perlu kita renungkan bersama.

Seperti kita ketahui, bahasa Indonesia memiliki kemi­ripan dengan bahasa-bahasa lain di dunia yang memiliki to­leransi pada beberapa kata. Dengan kata lain, ada penge­cualian sehingga kata-kata itu mendapat perlakuan yang berbeda dengan kata lainnya.

Bahasa Inggris, misalnya, memiliki irregular verbs yang mengalami perubahan bentuk verba untuk menyatakan per­bedaan waktu. Kata break, eat, dan wear tidak pernah ber­ubah menjadi break(ed), eat(ed), dan wear(ed) meskipun ketika diucapkan tidak membuat keseleo lidah apalagi sengau hi­dung pengucapnya. Para pengucapnya pun tetap legowo meskipun kata-kata tersebut berubah menjadi broke, ate, dan wore.

Pengecualian dalam bahasa Inggris itu sama halnya dengan penggunaan kata mengaji dan mengkaji dalam bahasa Indonesia. Dengan pertimbangan ada kepentingan yang ber­beda dalam pemakaiannya, kata mengaji tetap dipakai dalam urusan yang berkaitan dengan belajar Alquran dan kata mengkaji tetap dipakai untuk hal-hal yang berkaitan dengan suatu penyelidikan.

Selain itu, persoalan yang serupa juga ditemui pada kata mempunyai. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata empunya yang mendapat imbuhan me- menjadi mem­punyai meskipun dalam aturan seharusnya berubah menjadi mengempunyai. Pada umumnya, kata yang berfonem awal a, i, u, e, dan o jika mendapat imbuhan me- akan berubah men­jadi meng-, seperti pada kata asuh, incar, unduh, emban, dan olok yang berubah menjadi (meng)asuh, (meng)incar, (meng)­unduh, (meng)emban, dan (meng)olok. Perubahan dari kata me­ngempunyai menjadi mempunyai juga merupakan sebuah pengecualian.

Seseorang bisa saja memakai kata memunyai yang ber­asal dari kata dasar punya jika ingin berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Toh, kata punya pun menjadi lema (entri) dalam KBBI seperti kata empunya.

Dengan berbagai pertimbangan seperti itu, penggu­naan kata mempunyai atau memunyai dapat dipakai oleh si­apa saja. Berbeda dengan seseorang yang tidak mau meme­sona karena mempesona lebih mewakili pesona yang dimi­likinya atau seseorang enggan memerkosa karena dirasa ku­rang bertenaga dibanding memperkosa.

Kita pun tidak pernah mempertanyakan kekonsistenan orang yang nyeleneh itu ketika kegiatan memperkosa yang di­lakukannya tidak menyalahi aturan sehingga ia tidak pernah menjadi peperkosa, tetapi pemerkosa. Bukankah dalam aturan juga berlaku peluluhan apabila kata dasar yang diawali de­ngan huruf k, p, t, dan s mendapat awalan pe-?

Pengecualian seperti beberapa contoh di atas memang bukan hanya perkara malu tidaknya, kelu tidaknya, enak ti­daknya seseorang memakainya, melainkan perkara yang ha­rus dipikirkan dengan berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan politik, sosial, budaya, dan agama, demi ke­maslahatan bersama.

Dengan persoalan yang tidak jauh berbeda dengan pe­ngecualian k, p, t, dan s dalam bahasa Indonesia, apakah ki­ta pernah mengeluh untuk menghapal meskipun irregular verbs itu tidak sedikit jumlahnya? Apakah kita pernah ngotot untuk tidak menyepakatinya karena kata-kata itu mendapat perlakuan yang berbeda? Bukankah pada kenyataannya kita pun harus legowo memakainya tanpa pernah tahu mengapa irregular verbs itu ada?

Lampung Post, 12 Agustus 2009
Baca Selengkapnya...

Free Tak Selamanya Bebas

Sebuah stasiun televisi swasta terlihat kebingungan me­milih kata yang pas untuk menginformasikan bahwa Pemerintah Kota Tegal memberlakukan peraturan ba­ru tentang hari tanpa kendaraan bermotor di wilayahnya. Stasiun televisi itu menulis: Tegal berlakukan aturan car free day di kawasan alun-alun kota.

Persoalannya bukan pada Pemerintah Kota Tegal yang ingin kotanya bersih dari polusi setiap Minggu, bukan pula pada stasiun yang mengabarkannya, melainkan pada ketersampaian informasi itu.

Persoalan campur-campur bahasa seperti pada imbau­an itu bukan pertama kali ditemui. Masyarakat pun seper­tinya sudah sangat terbiasa dan mudah memaklumi, meski­pun sadar bahwa percampuradukan bahasa seperti itu se­ring menyesatkan.

Jangankan berbahasa asing, imbauan yang berbahasa Indonesia saja masih sering disalahpersepsikan oleh banyak orang. Imbauan bebas parkir di beberapa pusat perbelanjaan, misalnya, sering tidak sesuai dengan harapan para penge­lolanya.

Mereka pasti sering sakit kepala karena lokasi yang bertuliskan bebas parkir masih saja dipenuhi kendaraan. Mungkin, pengelola itu lupa kalau bebas itu berarti ‘lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, sehingga dapat ber­gerak, berbicara, berbuat dengan leluasa), lepas dari (kewa­jiban, tuntutan, perasaan takut), dan tidak terikat atau ter­batas oleh aturan’ (KBBI).

Kalaupun ingin menyontek free parking, para pengelola itu mestinya total, jangan setengah-setengah. Di negeri asalnya, setiap orang leluasa parkir di sekitar tulisan free parking. Mereka sadar betul jika free itu sama artinya dengan not restricted (Oxford Advanced Learner’s Dictionary).

Agaknya, masyarakat Indonesia senang dengan se­suatu yang berbau asing. Sayangnya, kita tidak pernah kon­sisten memperlakukannya, ada yang langsung dicaplok, ada yang dihidu terlebih dahulu. Jika yang berbau asing itu enak, hap, langsung dilahap.

Free sex, sebagai contoh, yang kita artikan ‘seks bebas’ itu jelas-jelas bukan budaya kita, sekarang ini, telah menjadi tren. Banyak organisasi, termasuk pemerintah, kebakaran jenggot mencari cara agar perilaku itu bisa diminimalisasi atau kalaupun tidak bisa, penyebaran penyakit kelamin akibat dari perilaku tersebut harus dihentikan lajunya.

Sebaliknya, hanya virus H1N1 (termasuk produk asing, bukan?) yang tidak diingini bangsa ini sehingga kita jijik dan serius menanganinya. Nanti dulu! Jangan-jangan ki­ta hanya ikut-ikutan, jaga gengsi, sebuah tren, karena negara lain juga serius menangani persoalan flu yang satu ini.

Tampaknya, persoalan penyakit menular tidak memi­liki kaitan dengan persoalan bahasa. Yang menjadi per­tanyaan, apakah kita pernah menyadari bahwa ada banyak pelaku seks bebas dan pengidap penyakit kelamin yang tidak mengerti imbauan safe sex, use condom atau stop! free sex? Apakah kita bisa mencegah virus H1N1 jika imbauan stop the swine flu pandemic itu tidak dipahami banyak orang?

Anehnya, masyarakat Indonesia sering memaksakan diri. Siapa yang akan disalahkan jika setiap Minggu alun-alun Kota Tegal tetap dipadati mobil (motor tidak termasuk) karena banyak orang yang mengartikan car free day itu de­ngan ‘hari bebas mobil’ seperti mengartikan free sex (seks be­bas)?

Harusnya, kita mencontoh organisasi From the People of Japan. Mereka sadar kalau kampanye yang dilakukan di Indonesia untuk mencegah penyebaran AIDS akan sia-sia apa­bila imbauan yang mereka sebarkan tidak dituliskan dengan bahasa Indonesia. Imbauan itu dengan ramahnya ditulis: Gunakan kondom, untuk cegah IMS dan HIV.

Lampung Post, 3 Juni 2009
Baca Selengkapnya...