Selasa, 30 Maret 2010
Sekali Lagi: Mengaji dan Mengkaji
Memang benar kata mengaji dan mengkaji berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kaji. Keduanya dipakai oleh para pakar bahasa, pencinta bahasa, akademisi, atau jurnalis meskipun jelas-jelas kata yang berfonem awal k, p, t, dan s akan luluh jika mendapat awalan me- seperti yang dikemukakan oleh Saudara Fikri Ariyanto (Lampung Post, 15 April 2009) memang perlu kita renungkan bersama.
Seperti kita ketahui, bahasa Indonesia memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa lain di dunia yang memiliki toleransi pada beberapa kata. Dengan kata lain, ada pengecualian sehingga kata-kata itu mendapat perlakuan yang berbeda dengan kata lainnya.
Bahasa Inggris, misalnya, memiliki irregular verbs yang mengalami perubahan bentuk verba untuk menyatakan perbedaan waktu. Kata break, eat, dan wear tidak pernah berubah menjadi break(ed), eat(ed), dan wear(ed) meskipun ketika diucapkan tidak membuat keseleo lidah apalagi sengau hidung pengucapnya. Para pengucapnya pun tetap legowo meskipun kata-kata tersebut berubah menjadi broke, ate, dan wore.
Pengecualian dalam bahasa Inggris itu sama halnya dengan penggunaan kata mengaji dan mengkaji dalam bahasa Indonesia. Dengan pertimbangan ada kepentingan yang berbeda dalam pemakaiannya, kata mengaji tetap dipakai dalam urusan yang berkaitan dengan belajar Alquran dan kata mengkaji tetap dipakai untuk hal-hal yang berkaitan dengan suatu penyelidikan.
Selain itu, persoalan yang serupa juga ditemui pada kata mempunyai. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata empunya yang mendapat imbuhan me- menjadi mempunyai meskipun dalam aturan seharusnya berubah menjadi mengempunyai. Pada umumnya, kata yang berfonem awal a, i, u, e, dan o jika mendapat imbuhan me- akan berubah menjadi meng-, seperti pada kata asuh, incar, unduh, emban, dan olok yang berubah menjadi (meng)asuh, (meng)incar, (meng)unduh, (meng)emban, dan (meng)olok. Perubahan dari kata mengempunyai menjadi mempunyai juga merupakan sebuah pengecualian.
Seseorang bisa saja memakai kata memunyai yang berasal dari kata dasar punya jika ingin berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Toh, kata punya pun menjadi lema (entri) dalam KBBI seperti kata empunya.
Dengan berbagai pertimbangan seperti itu, penggunaan kata mempunyai atau memunyai dapat dipakai oleh siapa saja. Berbeda dengan seseorang yang tidak mau memesona karena mempesona lebih mewakili pesona yang dimilikinya atau seseorang enggan memerkosa karena dirasa kurang bertenaga dibanding memperkosa.
Kita pun tidak pernah mempertanyakan kekonsistenan orang yang nyeleneh itu ketika kegiatan memperkosa yang dilakukannya tidak menyalahi aturan sehingga ia tidak pernah menjadi peperkosa, tetapi pemerkosa. Bukankah dalam aturan juga berlaku peluluhan apabila kata dasar yang diawali dengan huruf k, p, t, dan s mendapat awalan pe-?
Pengecualian seperti beberapa contoh di atas memang bukan hanya perkara malu tidaknya, kelu tidaknya, enak tidaknya seseorang memakainya, melainkan perkara yang harus dipikirkan dengan berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan politik, sosial, budaya, dan agama, demi kemaslahatan bersama.
Dengan persoalan yang tidak jauh berbeda dengan pengecualian k, p, t, dan s dalam bahasa Indonesia, apakah kita pernah mengeluh untuk menghapal meskipun irregular verbs itu tidak sedikit jumlahnya? Apakah kita pernah ngotot untuk tidak menyepakatinya karena kata-kata itu mendapat perlakuan yang berbeda? Bukankah pada kenyataannya kita pun harus legowo memakainya tanpa pernah tahu mengapa irregular verbs itu ada?
Seperti kita ketahui, bahasa Indonesia memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa lain di dunia yang memiliki toleransi pada beberapa kata. Dengan kata lain, ada pengecualian sehingga kata-kata itu mendapat perlakuan yang berbeda dengan kata lainnya.
Bahasa Inggris, misalnya, memiliki irregular verbs yang mengalami perubahan bentuk verba untuk menyatakan perbedaan waktu. Kata break, eat, dan wear tidak pernah berubah menjadi break(ed), eat(ed), dan wear(ed) meskipun ketika diucapkan tidak membuat keseleo lidah apalagi sengau hidung pengucapnya. Para pengucapnya pun tetap legowo meskipun kata-kata tersebut berubah menjadi broke, ate, dan wore.
Pengecualian dalam bahasa Inggris itu sama halnya dengan penggunaan kata mengaji dan mengkaji dalam bahasa Indonesia. Dengan pertimbangan ada kepentingan yang berbeda dalam pemakaiannya, kata mengaji tetap dipakai dalam urusan yang berkaitan dengan belajar Alquran dan kata mengkaji tetap dipakai untuk hal-hal yang berkaitan dengan suatu penyelidikan.
Selain itu, persoalan yang serupa juga ditemui pada kata mempunyai. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata empunya yang mendapat imbuhan me- menjadi mempunyai meskipun dalam aturan seharusnya berubah menjadi mengempunyai. Pada umumnya, kata yang berfonem awal a, i, u, e, dan o jika mendapat imbuhan me- akan berubah menjadi meng-, seperti pada kata asuh, incar, unduh, emban, dan olok yang berubah menjadi (meng)asuh, (meng)incar, (meng)unduh, (meng)emban, dan (meng)olok. Perubahan dari kata mengempunyai menjadi mempunyai juga merupakan sebuah pengecualian.
Seseorang bisa saja memakai kata memunyai yang berasal dari kata dasar punya jika ingin berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Toh, kata punya pun menjadi lema (entri) dalam KBBI seperti kata empunya.
Dengan berbagai pertimbangan seperti itu, penggunaan kata mempunyai atau memunyai dapat dipakai oleh siapa saja. Berbeda dengan seseorang yang tidak mau memesona karena mempesona lebih mewakili pesona yang dimilikinya atau seseorang enggan memerkosa karena dirasa kurang bertenaga dibanding memperkosa.
Kita pun tidak pernah mempertanyakan kekonsistenan orang yang nyeleneh itu ketika kegiatan memperkosa yang dilakukannya tidak menyalahi aturan sehingga ia tidak pernah menjadi peperkosa, tetapi pemerkosa. Bukankah dalam aturan juga berlaku peluluhan apabila kata dasar yang diawali dengan huruf k, p, t, dan s mendapat awalan pe-?
Pengecualian seperti beberapa contoh di atas memang bukan hanya perkara malu tidaknya, kelu tidaknya, enak tidaknya seseorang memakainya, melainkan perkara yang harus dipikirkan dengan berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan politik, sosial, budaya, dan agama, demi kemaslahatan bersama.
Dengan persoalan yang tidak jauh berbeda dengan pengecualian k, p, t, dan s dalam bahasa Indonesia, apakah kita pernah mengeluh untuk menghapal meskipun irregular verbs itu tidak sedikit jumlahnya? Apakah kita pernah ngotot untuk tidak menyepakatinya karena kata-kata itu mendapat perlakuan yang berbeda? Bukankah pada kenyataannya kita pun harus legowo memakainya tanpa pernah tahu mengapa irregular verbs itu ada?
Lampung Post, 12 Agustus 2009


0 komentar:
Posting Komentar