Selasa, 30 Maret 2010
Free Tak Selamanya Bebas
Sebuah stasiun televisi swasta terlihat kebingungan memilih kata yang pas untuk menginformasikan bahwa Pemerintah Kota Tegal memberlakukan peraturan baru tentang hari tanpa kendaraan bermotor di wilayahnya. Stasiun televisi itu menulis: Tegal berlakukan aturan car free day di kawasan alun-alun kota.
Persoalannya bukan pada Pemerintah Kota Tegal yang ingin kotanya bersih dari polusi setiap Minggu, bukan pula pada stasiun yang mengabarkannya, melainkan pada ketersampaian informasi itu.
Persoalan campur-campur bahasa seperti pada imbauan itu bukan pertama kali ditemui. Masyarakat pun sepertinya sudah sangat terbiasa dan mudah memaklumi, meskipun sadar bahwa percampuradukan bahasa seperti itu sering menyesatkan.
Jangankan berbahasa asing, imbauan yang berbahasa Indonesia saja masih sering disalahpersepsikan oleh banyak orang. Imbauan bebas parkir di beberapa pusat perbelanjaan, misalnya, sering tidak sesuai dengan harapan para pengelolanya.
Mereka pasti sering sakit kepala karena lokasi yang bertuliskan bebas parkir masih saja dipenuhi kendaraan. Mungkin, pengelola itu lupa kalau bebas itu berarti ‘lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat dengan leluasa), lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut), dan tidak terikat atau terbatas oleh aturan’ (KBBI).
Kalaupun ingin menyontek free parking, para pengelola itu mestinya total, jangan setengah-setengah. Di negeri asalnya, setiap orang leluasa parkir di sekitar tulisan free parking. Mereka sadar betul jika free itu sama artinya dengan not restricted (Oxford Advanced Learner’s Dictionary).
Agaknya, masyarakat Indonesia senang dengan sesuatu yang berbau asing. Sayangnya, kita tidak pernah konsisten memperlakukannya, ada yang langsung dicaplok, ada yang dihidu terlebih dahulu. Jika yang berbau asing itu enak, hap, langsung dilahap.
Free sex, sebagai contoh, yang kita artikan ‘seks bebas’ itu jelas-jelas bukan budaya kita, sekarang ini, telah menjadi tren. Banyak organisasi, termasuk pemerintah, kebakaran jenggot mencari cara agar perilaku itu bisa diminimalisasi atau kalaupun tidak bisa, penyebaran penyakit kelamin akibat dari perilaku tersebut harus dihentikan lajunya.
Sebaliknya, hanya virus H1N1 (termasuk produk asing, bukan?) yang tidak diingini bangsa ini sehingga kita jijik dan serius menanganinya. Nanti dulu! Jangan-jangan kita hanya ikut-ikutan, jaga gengsi, sebuah tren, karena negara lain juga serius menangani persoalan flu yang satu ini.
Tampaknya, persoalan penyakit menular tidak memiliki kaitan dengan persoalan bahasa. Yang menjadi pertanyaan, apakah kita pernah menyadari bahwa ada banyak pelaku seks bebas dan pengidap penyakit kelamin yang tidak mengerti imbauan safe sex, use condom atau stop! free sex? Apakah kita bisa mencegah virus H1N1 jika imbauan stop the swine flu pandemic itu tidak dipahami banyak orang?
Anehnya, masyarakat Indonesia sering memaksakan diri. Siapa yang akan disalahkan jika setiap Minggu alun-alun Kota Tegal tetap dipadati mobil (motor tidak termasuk) karena banyak orang yang mengartikan car free day itu dengan ‘hari bebas mobil’ seperti mengartikan free sex (seks bebas)?
Harusnya, kita mencontoh organisasi From the People of Japan. Mereka sadar kalau kampanye yang dilakukan di Indonesia untuk mencegah penyebaran AIDS akan sia-sia apabila imbauan yang mereka sebarkan tidak dituliskan dengan bahasa Indonesia. Imbauan itu dengan ramahnya ditulis: Gunakan kondom, untuk cegah IMS dan HIV.
Persoalannya bukan pada Pemerintah Kota Tegal yang ingin kotanya bersih dari polusi setiap Minggu, bukan pula pada stasiun yang mengabarkannya, melainkan pada ketersampaian informasi itu.
Persoalan campur-campur bahasa seperti pada imbauan itu bukan pertama kali ditemui. Masyarakat pun sepertinya sudah sangat terbiasa dan mudah memaklumi, meskipun sadar bahwa percampuradukan bahasa seperti itu sering menyesatkan.
Jangankan berbahasa asing, imbauan yang berbahasa Indonesia saja masih sering disalahpersepsikan oleh banyak orang. Imbauan bebas parkir di beberapa pusat perbelanjaan, misalnya, sering tidak sesuai dengan harapan para pengelolanya.
Mereka pasti sering sakit kepala karena lokasi yang bertuliskan bebas parkir masih saja dipenuhi kendaraan. Mungkin, pengelola itu lupa kalau bebas itu berarti ‘lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat dengan leluasa), lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut), dan tidak terikat atau terbatas oleh aturan’ (KBBI).
Kalaupun ingin menyontek free parking, para pengelola itu mestinya total, jangan setengah-setengah. Di negeri asalnya, setiap orang leluasa parkir di sekitar tulisan free parking. Mereka sadar betul jika free itu sama artinya dengan not restricted (Oxford Advanced Learner’s Dictionary).
Agaknya, masyarakat Indonesia senang dengan sesuatu yang berbau asing. Sayangnya, kita tidak pernah konsisten memperlakukannya, ada yang langsung dicaplok, ada yang dihidu terlebih dahulu. Jika yang berbau asing itu enak, hap, langsung dilahap.
Free sex, sebagai contoh, yang kita artikan ‘seks bebas’ itu jelas-jelas bukan budaya kita, sekarang ini, telah menjadi tren. Banyak organisasi, termasuk pemerintah, kebakaran jenggot mencari cara agar perilaku itu bisa diminimalisasi atau kalaupun tidak bisa, penyebaran penyakit kelamin akibat dari perilaku tersebut harus dihentikan lajunya.
Sebaliknya, hanya virus H1N1 (termasuk produk asing, bukan?) yang tidak diingini bangsa ini sehingga kita jijik dan serius menanganinya. Nanti dulu! Jangan-jangan kita hanya ikut-ikutan, jaga gengsi, sebuah tren, karena negara lain juga serius menangani persoalan flu yang satu ini.
Tampaknya, persoalan penyakit menular tidak memiliki kaitan dengan persoalan bahasa. Yang menjadi pertanyaan, apakah kita pernah menyadari bahwa ada banyak pelaku seks bebas dan pengidap penyakit kelamin yang tidak mengerti imbauan safe sex, use condom atau stop! free sex? Apakah kita bisa mencegah virus H1N1 jika imbauan stop the swine flu pandemic itu tidak dipahami banyak orang?
Anehnya, masyarakat Indonesia sering memaksakan diri. Siapa yang akan disalahkan jika setiap Minggu alun-alun Kota Tegal tetap dipadati mobil (motor tidak termasuk) karena banyak orang yang mengartikan car free day itu dengan ‘hari bebas mobil’ seperti mengartikan free sex (seks bebas)?
Harusnya, kita mencontoh organisasi From the People of Japan. Mereka sadar kalau kampanye yang dilakukan di Indonesia untuk mencegah penyebaran AIDS akan sia-sia apabila imbauan yang mereka sebarkan tidak dituliskan dengan bahasa Indonesia. Imbauan itu dengan ramahnya ditulis: Gunakan kondom, untuk cegah IMS dan HIV.
Lampung Post, 3 Juni 2009


0 komentar:
Posting Komentar