Bincang-bincang


ShoutMix chat widget

Pengikut

Lebih Dekat

Selasa, 30 Maret 2010

Observasi Pada Penciptaan Karya Sastra*

Membaca karya sastra itu unik. Antara satu pembaca dengan pembaca lainnya belum tentu sama mengapresiasikan sebuah karya sastra. Dalam pada itu, karya sastra tidak ubahnya seperti karet gelang. Ia akan menjadi biasa ketika tidak diperhatikan. Akan tetapi, ia juga memiliki batas ketenturan ketika diperlakukan secara berlebihan.

Oleh karena itu, ada hal-hal yang perlu diperhatikan pencipta karya sastra agar pembaca semakin dalam terhanyut ketika menikmati cerita yang disajikannya. Selain unsur-unsur instrinsik, kelogisan isi cerita juga perlu mendapat perhatian. Kelogisan itu dapat tercipta melalui detail-detail penting yang terdapat dalam cerita. Tidaklah salah jika penulis yang ingin menciptakan sebuah karya juga melakukan observasi agar karyanya menjadi lebih bermutu.

Gola Gong dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Jadi Edison, Siapa Takut!” (24/06/2008) mengatakan bahwa di samping pengalaman sehari-hari yang dapat dijadikan inspirasi dalam menulis, riset ke lapangan (field research) dengan melakukan observasi dan wawancara atau di rumah saja (desk research) dengan membaca buku dan menjelajahi internet juga perlu dilakukan. Keuntungannya, tulisan yang dihasilkan melalui observasi lapangan dan pustaka lebih kaya karena pembaca mendapatkan informasi yang objektif, ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dibandingkan dengan tulisan yang tidak.


Cerita “Confession of Adinda” yang ditulis oleh Dhanar Aditya Nugraha layak untuk dilahap sampai tuntas. Cerita ini diawali dengan penggambaran latar yang sangat menarik. Suasana untuk mendukung perasaan sedih tokoh utama, Adinda Anandita, yang sedang meratapi nasibnya dituangkan dengan luar biasa.
Di tengah cerita, Dhanar berani merangkaikan kata-kata sehingga terbentuk metafora yang liris sehingga cerpen karyanya menjadi enak untuk dibaca, seperti pada kutipan berikut ini.
Dunia ini sangat indah sekali, tetapi saya merasa terpenjara dipadang pasir tak berujung dalam kehidupan saya. Saya seperti merasa tenggelam dalam lumpur keputusasaan hidup saya.

Pada akhir cerita pun, Dhanar menutupnya dengan singkat tanpa bertele-tele dan membiarkan pembacanya menyimpulkan akhir dari semua pengharapan tokoh utama dalam cerpen tersebut. Sayangnya, Dhanar tidak memperkokohnya dengan observasi sehingga ada beberapa hal yang terasa kurang pas.

Pertama, penyakit folio yang diderita oleh Adinda Anandita, tokoh utama, merupakan penyakit yang sangat diperhatikan oleh WHO sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Indonesia termasuk negara yang mampu menangani penyakit ini dalam kurun lebih dari satu dasawarsa sampai akhirnya ditemukan satu kasus folio pada balita di Sukabumi tahun 2005. Jika data tersebut dikaitkan dengan tokoh utama, Adinda Anandita yang berumur hampir 17 tahun, rasanya kurang pas.

Kedua, penyakit ini menular melalui kotoran manusia yang tertelan melalui makanan atau minuman. Biasanya, penularannya akibat sanitasi lingkungan yang kurang baik. Pemberian imunisasi untuk mencegah penyebaran penyakit ini pun telah dilakukan sejak beberapa puluh tahun yang lalu secara gratis. Jika dilihat dari isi cerita, orang tua Adinda mampu secara materi. Hal itu tergambar melalui cara orang tua Adinda melakukan usaha untuk mengobati Adinda, mulai dari pengobatan tradisional hingga modern. Pertanyaannya, apakah mungkin anak semata wayang yang berasal dari keluarga mampu akan menderita penyakit folio?

Andai Dhanar melakukan observasi, detail-detail yang sederhana seperti penyakit folio si tokoh utama diperhatikan, cerita yang disajikannya akan lebih menarik.
Konon, J.K. Rowling, si pencipta Harry Potter itu juga melakukan observasi. Detail-detail yang terdapat dalam karyanya dapat dipastikan merupakan hasil observasi sehingga tidaklah salah jika Hogwarts itu menjadi kampus sihir paling tersohor di dunia.

Selain itu, Dhanar juga tidak mengacuhkan persoalan tata tulis pada karyanya. Ketidaktepatan penggunaan di- sebagai kata depan ditemukan mulai awal hingga akhir cerita. Disitu, diatas, dihari, dimana, didalam, dipangkuan, ditangan, diotaknya, dimeja, diempang, dipadang pasir, didepan, dibawah, disekitar, dilapangan, dan disana merupakan contoh penggunaan di yang tidak tepat yang terdapat dalam cerpen karya Dhanar.

Begitu pula dengan penggunaan kata depan ke-, banyak yang kurang tepat. Padahal, untuk menyiasati agar mudah membedakan kata depan atau imbuhan dapat dilakukan dengan menggunaan pertanyaan menggunakan kata di mana dan ke mana? Jika jawabannya menunjukkan tempat, penulisan di- dan ke- dipisah.

Selain itu masih terdapat ketidaktepatan penggunaan partikel pun yang ditulis Dhanar, misalnya Adindapun dan siapapun. Padahal, hal itu juga mudah untuk diantisipasi. Kita hanya perlu menghapal dua belas kata yang harus diserangkaikan dengan partikel pun. Berikut ini kata-kata yang pasti diserangkaikan dengan pun: walaupun, bagaimanapun, andaipun, sekalipun (yang berarti ‘walaupun’), meskipun, sungguhpun, kendatipun, adapun, kalaupun, maupun, ataupun, dan biarpun. Selain kedua belas kata itu, penulisan pun dipisah.

Sebenarnya, kepedulian terhadap tata tulis merupakan salah satu cara untuk membantu pembaca untuk memahami cerita serta memudahkan dan meringankan pekerjaan editor. Seperti kita tahu, seorang editor mempunyai tugas yang sangat berat karena begitu banyak tulisan yang masuk setiap harinya. Ia harus memilah dan memilih tulisan manakah yang layak untuk dimuat, belum lagi tekanan yang diperoleh dari atasannya untuk menyegerakan suntingannya untuk dicetak. Pertanyaannya, apakah kita tega menambah pekerjaan editor untuk menyunting tulisan kita meskipun secara esensi baik? Bukankah itu sebuah dosa karena menyulitkan orang lain?

Tulislah yang membuat Anda gelisah dan gelisahlah dengan apa yang Anda tulis. Salam.

*Ulasan Cerpen Confession of Adinda


CONFESSION OF ADINDA**
Oleh Dhanar Aditya Nugraha

Senja itu, hujan rintik membasahi dedaunan. Airnya menetes setitik dan perlahan. Didepan rumah, bendera merah putih layu dibasahi air hujan. Seorang gadis sedang duduk dibalik jendela kamarnya yang berembun. Entah sejak kapan dia berada disitu. Yang jelas, sorot matanya tak lepas dari bendera merah putih yang layu.
Dalam hati gadis itu, ingin sekali saat itu juga dia berlari keluar, bermain hujan atau mungkin juga menikmati keindahan pelangi. Tetapi, dia tak akan pernah mungkin bisa melakukan itu semua. Karena seumur hidup, dia akan menghabiskan hidupnya diatas kursi roda.

Ya, sejak kecil dia menderita polio yang membuatnya menjadi lumpuh. Tak terhitung banyaknya pengobatan yang telah dia jalani, baik itu pengobatan tradisional, maupun modern. Tetapi semuanya seperti tak membawa perubahan yang berarti.

Gadis itu melirik kearah almanak yang tergantung di dinding. Dia melihat tanggal yang telah dia lingkari dengan spidol warna merah sebelumnya. Hari ini tanggal lima belas Agustus, itu berarti dua hari lagi dia akan berusia tujuh belas tahun, tepat dihari kemerdekaan negaranya. Tujuh belas tahun, usia yang begitu indah. Dimana tahap menuju kedewasaan akan dia jalani. Tetapi sekali lagi, kedewasaan apa yang akan dia jalani jika seumur hidup dia akan terus duduk dikursi roda. Ahh , dia menghela nafas panjang.

Adinda Anandita, demikian nama gadis itu. Dia seorang gadis yang cantik. Dia merupakan anak tunggal dalam keluarganya. Kedua orang tuanya sangat sayang padanya. Namun, Adinda adalah gadis yang sangat tertutup. Dia jarang sekali keluar rumah dan lebih banyak menghabiskan hari-harinya didalam kamar. Dia hanya mau berbicara pada orang tuanya. Orang tuanya tak mengizinkan dia untuk keluar rumah seorang diri karena takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada putri semata wayangnya itu. Dan Adindapun sepetinya mengerti dan menjadi pribadi yang sangat tertutup. Karena ketertutupannya itu, orang tuanya memberikan pendidikan home schooling padanya.

Adinda, dia lebih senang dipanggil Dinda, kini pandangannya menerawang ke angkasa luas. Dia membayangkan menjadi anak-anak normal yang lain. Dia ingin bermain bersama teman-temannya. Berlari kesana-kemari. Berteriak penuh kemenangan. Dia terbayang usianya yang mulai beranjak remaja. Air matanya menetes pelan. Ahh, mengapa engkau menangis Dinda?

Dipangkuan gadis itu, kini tergeletak sebuah kertas kosong. Ditangan kanannya, tergenggam sebuah pena yang mungkin sudah tidak sabar lagi ingin digoreskan diatas kertas kosong. Dinda mulai menulis. Menulis semua hal yang terlintas diotaknya. Sejenak dia melamun, lalu kembali menulis, begitu seterusnya sampai dia selesai dan memasukkan kertas itu ke dalam amplop yang tergeletak diatas meja disamping jendela. Untuk siapakah surat itu, Dinda? Ahh, engkau menjadi putri tidur.

***

Hari minggu yang cerah. Pagi itu, Dinda telah siap dimeja makan untuk menikmati sarapan bersama kedua orang tuanya. Dimeja makan, telah terhidang mie goreng yang aromanya harum menggoda. Namun gadis itu terlihat lesu. Dia melamun sambil menggulung mie gorengnya dengan ujung garpu.

“Sayang, mengapa Dinda terlihat sedih?” tanya Mamanya penuh kasih. Gadis itu tak menjawab. Dia mengangkat wajahnya dan melempar senyum. Dia menoleh kearah Papanya. “Papa, bolehkah Dinda meminta tolong sesuatu?” “Boleh, Sayang. Ada yang bisa Papa bantu?” “Tolong surat ini Papa kirimkan ke stasiun radio Suara Indonesia ya, bisakah?” “Bisa, Sayang. Asal Dinda harus menghabiskan makanannya itu. Bagaimana? Setuju?”

Gadis itu tersenyum. Indah.

***

Malam hari sehabis makan malam, Dinda dan kedua orang tua berkumpul di ruang tengah. Dinda menyetel radio yang berada disamping televisi dan meminta orang tuanya untuk dapat menemaninya mendengarkan radio. Gadis itu mendengarkan baik-baik.

“Malam ini, dalam rangka menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia yang keenam puluh empat. Kami keluarga besar stasiun Radio Suara Indonesia akan membagikan hadiah yang unik sekali. Yaitu, dengan mengirimkan identitas anda dan sertakan permintaan yang anda inginkan. Banyak sekali surat yang masuk hari ini, tetapi kami hanya memilih tiga orang yang beruntung.” kata penyiar radio yang bercuap-cuap ria diujung sana.

Penyiar radio itu berkata lagi. “Ini surat pertama dari teman kita Eka Anissa Vitri. Mari kita bacakan.” Setelah berkata itu, penyiar radio membacakan permintaan Eka. Dia meminta hadiah sebuah handphone karena uang tabungannya habis untuk membayar sekolah.

Pada pengirim surat kedua yang bernama Fely Ciquita, dia meminta seperangkat alat memancing agar bisa mengajak orang tuanya memancing diempang belakang rumah. Hingga tiba giliran pembacaan surat ketiga.

“Ini surat dari teman kita Adinda Anandita. Mari kita bacakan.” Kedua orang tua Dinda menoleh bersama kearah putrinya. Gadis itu sedang menundukkan wajah sambil mendengarkan penyiar radio itu membacakan suratnya. “Selamat malam semuanya. Nama saya Adinda Anandita. Saya adalah anak tunggal yang esok hari genap berusia tujuh belas tahun, tepat dihari kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi kebanyakan orang, usia tujuh belas tahun adalah masa yang sangat indah. Masa dimana kita menuju kedewasaan dalam kehidupan kita. Masa dimana kita mulai membuka diri menyongsong masa depan kita. Tetapi tidak bagi saya, karena saya adalah seorang gadis yang menderita lumpuh sejak saya masih balita. Saya lebih banyak menghabiskan hidup saya diatas kursi roda. Saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis puisi didalam kamar saya. Saya sering menulis puisi tentang keindahan dunia dengan segala yang terjadi diatasnya. Dunia ini sangat indah sekali, tetapi saya merasa terpenjara dipadang pasir tak berujung dalam kehidupan saya. Saya seperti merasa tenggelam dalam lumpur keputusasaan hidup saya. Saya benar-benar merasa sangat kesepian.” penyiar radio itu berhenti sejenak. Lalu meneruskan lagi dengan suara agak terisak. ” Melalui surat ini, saya ingin mengatakan keinginan saya. Andaipun tak bisa dikabulkan, saya sudah sangat bersyukur karena surat saya ini dibacakan. Ketahuilah bahwa saya tidak ingin meminta apapun yang berwujud benda, saya tidak memerlukan semua itu. Saya … saya ingin mempunyai sahabat. Saya ingin mempunyai sahabat yang bisa saya ajak bermain. Saya ingin mempunyai sahabat dimana saya bisa berkeluh kesah. Saya ingin mempunyai sahabat dimana dia bisa menceritakan pada saya betapa indahnya dunia. Saya ingin mempunyai sahabat dimana ada yang menguatkan saya saat saya putus asa. Saya ingin mempunyai sahabat dimana saya bisa berbagi dalam kesenangan dan kesedihan bersama. Saya ….“ penyiar radio itu tak meneruskan perkataannya. Suaranya menjadi serak seperti menahan tangisan. Dia melanjutkan, “Saya ingin mempunyai sahabat… Dan hanya satu hal itu sangat saya harapkan… Selamat malam dan selamat hari kemerdekaan…” Dinda. Dia menunduk semakin dalam. Air matanya menetes di pipinya. Dia menangis dengan isak tangis yang tak tertahan lagi. Dinda, ternyata dia menderita lahir dan batin. Dia begitu tersiksa dengan kehidupan yang telah dijalaninya. Dia ingin berbagi namun tak punya teman. Dia ingin mengasihi namun tak tak punya teman. Ahh Dinda, sampai kapankah engkau mampu bertahan. Tetapi kini, telah keluar segala beban dihati yang selama ini dia simpan rapat-rapat. Telah keluar segala beban yang membuatnya merdeka dari keputusasaan hidup. Dia terus menangis dan menangis sampai orang tuanya mendekati dan memeluknya. Keluarga itu berpelukan dalam tangis. Siapapun yang melihat peristiwa itu pastilah ikut terenyuh hatinya.. Tanpa sadar, jam di dinding berdentang dua belas kali, tanda hari telah berganti.

“Selamat ulang tahun, Sayang. Papa dan Mama sangat menyayangimu.” kata Papanya. “Dinda juga menyayangi kalian.”

***

Esok paginya, Dinda terbangun dari tidurnya karena mendengar suara berisik didepan rumah. Dia beranjak menaiki kursi roda dan mengayuhnya kearah jendela. Dari jendela yang berkilauan memantulkan cahaya mentari, dia melihat bendera merah putih berkibar dengan gagahnya. Dibawah bendera yang berkibar itu, anak-anak tetangga disekitar rumahnya memanggil-manggil namanya dan memintanya keluar untuk melihat lomba dilapangan. Ketika matanya melihat kepagar rumah, di kotak surat, telah ada bertumpuk-tumpuk surat tergeletak disana. Adapula sebuah karangan bunga yang entah dari siapa. “Selamat ulang tahun Adinda dan Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Ketahuilah bahwa engkau tidak sendiri.”

***

Confession of Adinda = Pengakuan Adinda.
**tidak disunting

Radar Lampung, 6 September 2009

0 komentar: