Bincang-bincang


ShoutMix chat widget

Pengikut

Lebih Dekat

Minggu, 04 April 2010

Menulis yang Enak dan Mudah Dicerna*

Menulis merupakan kegiatan produktif untuk mengembangkan gagasan yang berada di otak. Gagasan-gagasan yang diperoleh melalui aktivitas membaca dan mendengarkan itu akan lebih mudah diungkapkan seseorang melalui aktivitas berbicara. Akan tetapi, gagasan itu akan menemui kendala ketika seseorang ingin mengungkapkannya melalui aktivitas menulis. Dengan berbicara, seseorang dapat mengoreksi/menjelaskan secara langsung ketika lawan bicaranya tidak mengerti/bingung dengan persoalan yang sedang dikatakannya. Berbeda dengan berbicara, seorang penulis tidak dapat melakukan seperti apa yang dilakukan oleh seorang pembicara. Oleh karena itu, seorang penulis harus memikirkan apakah tulisannya dapat dengan mudah dimengerti oleh pembacanya tanpa harus bertanya-tanya.

Menulis bukan semata-mata bakat. Menulis (penulis) sama halnya dengan mengendarai (pengendara) sepeda, menanam (penanam) jagung, dan memijah (pemijah) lele, sama-sama membutuhkan latihan, ketekunan, dan kerja keras. Kesemuanya itu diperlukan proses yang panjang karena tidak ada seorang pun yang langsung dapat mengendarai sepeda, menanam jagung, memijah lele, dan menulis dengan baik dalam waktu yang singkat. Mereka pasti pernah merasakan jatuh dari sepeda, jagungnya gagal panen, lelenya mati, ataupun tulisannya ditolak oleh penerbit. Ya, hanya orang-orang yang mau bekerja keras, tekun, dan mau berlatih saja yang bisa mewujudkan keinginannya tersebut.

Selain itu, untuk menjadi penulis misalnya, hal mendasar yang layak diperhatikan salah satunya adalah bahasa, termasuk di dalamnya kaidah yang berlaku pada bahasa yang digunakan, pemilihan kata, dan logika karena bahasa merupakan bahan pokok dalam menulis, tidak ubahnya seperti jagung dan lele dalam pertanian dan perikanan.

Tulislah yang Membuat Anda Gelisah dan Gelisahlah dengan Apa yang Anda Tulis

Kenaikan harga BBM, pemanasan global, dan sampah merupakan sebagian kecil persoalan yang membuat hati gelisah. Terkadang, kegelisahan itu hanya berhenti dalam hati atau paling jauh hanya sampai pada tataran perbincangan pada saat makan siang dengan rekan sejawat. Padahal, jika ada banyak orang yang merasakan kegelisahan itu, sangat dimungkinkan sebuah pintu perubahan akan terbuka lebar karena pada galibnya, manusia yang gelisah adalah manusia yang berakal sehat dan bertanggung jawab sehingga ia berusaha keras untuk mencari (menawarkan) solusi atas persoalan-persoalan yang ada.

Memang, menuliskan persoalan-persoalan yang ada di sekililing kita tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Selain peka dan erti dengan persoalan yang diangkat, ada hal lain yang perlu dilakukan agar tulisan menjadi informatif dan edukatif karena dalam sebuah tulisan ada suatu harapan dari pembacanya, yaitu mencerdaskan dan tidak menyesatkan. Gola Gong dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Jadi Edison, Siapa Takut!” (Sumber: http://www.rumahdunia.net, 24/06/2008) mengatakan bahwa, di samping pengalaman sehari-hari yang dapat dijadikan inspirasi dalam menulis, riset ke lapangan (field research) dengan melakukan observasi dan wawancara atau di rumah saja (desk research) dengan membaca buku dan menjelajahi internet juga perlu dilakukan. Keuntungannya, tulisan yang dihasilkan melalui observasi lapangan dan pustaka lebih kaya karena pembaca mendapatkan informasi yang objektif, ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dibandingkan dengan tulisan yang tidak.

Berkaitan dengan acuan dan data, ada beberapa langkah sederhana menuliskannya pada daftar pustaka dalam penulisan ilmiah. Pertama, nama penulis (ditulis dengan terbalik: unsur nama yang terakhir dituliskan terlebih dahulu), tahun penerbitan, judul buku (ditulis dengan garis bawah/bercetak miring dan setiap kata dituliskan dengan huruf kapital, kecuali kata penghubung, seperti yang, agar, bagi, dan), tempat penerbitan buku dan nama penerbit. Kedua, jika acuan dan data itu diperoleh dari internet, alamat website ditulis dengan lengkap beserta tanggal pengambilan data.

Setelah menemukan dan mengangkat persoalan yang membuat hati gelisah, seseorang seharusnya (harusnya) gelisah dengan apa yang ditulisnya. Helvy Tiana Rosa (2003:x), seorang penulis perempuan yang aktif di FLP, bercerita bahwa ia sering teringat dengan semua guru bahasa Indonesianya ketika ia sedang menulis. Mungkin saja ia bukan benar-benar teringat keramahan guru-gurunya, melainkan teringat akan pelajaran bahasa Indonesia yang berisi tentang aturan berbahasa yang diajarkan oleh gurunya.

Pada tataran kegelisahan tentang apa yang kita tulis inilah yang menempatkan swasunting perlu dilakukan. Wahyu Wibowo (2005:5—7) mengatakan bahwa swasunting itu perlu, selain untuk mendeteksi apakah tulisan yang kita buat mengandung prinsip keindahan tulisan: mengandung kesatuan dan keutuhan, satu pikiran utama yang jelas, dan perkembangan, juga dikarenakan sebuah tulisan—sebagai produk pemikiran—pada dasarnya dituntut hadir ke hadapan pembacanya dalam penampilan yang indah: yakni wajar, simpatik, tidak norak, dan tidak berlebih-lebihan.

Penulis yang baik akan memikirkan banyak orang, termasuk editor dan pembaca. Seperti kita tahu, seorang editor mempunyai tugas yang sangat berat karena begitu banyak tulisan yang masuk setiap harinya. Ia harus memilah dan memilih tulisan manakah yang layak untuk dimuat, belum lagi tekanan yang diperoleh dari atasannya untuk menyegerakan suntingannya untuk dicetak. Pertanyaannya, apakah kita tega menambah pekerjaan editor untuk menyunting tulisan kita meskipun secara esensi baik? Bukankah itu sebuah dosa karena menyulitkan orang lain?

Wahyu Wibowo (2005:11) juga menjabarkan bahwa tindak penyuntingan dipangkalkan pada etos (a) tunduk pada kaidah berbahasa (ejaan, istilah, dan gramatika); (b) menghargai referensi (kamus, kamus sinonim, kamus istilah, atau tesaurus); (c) memelihara kepekaan sosial-budaya; (d) mengasah kesabaran dan ketelitian; dan (e) mengembangkan wawasan pengetahuan.

Hal itu memang terlihat sangat teoritis dan kaku. Bagaimana bisa menulis kalau belum mulai menulis saja sudah dihadapkan dengan aturan-aturan? Pada dasarnya, aturan itu dibuat demi kebaikan meskipun ada sebagian orang yang menganggap bahwa aturan itu dibuat untuk dilanggar. Bagaimana jika si pembuat aturan melanggar aturan yang dibuatnya? Bagaimana jika si pelanggar aturan semakin tidak tahu aturan? Lalu, bagaimana jika di bumi ini tidak ada aturan?

Menghindari Kata-kata Basi, Berlemak, dan Tidak Baku

Penulis mempunyai tugas yang tidak mudah seperti tugas yang disandang oleh seorang koki. Koki yang baik pastilah memikirkan dan memastikan bahan baku sajiannya itu segar dan bergizi. Ia pun harus menyiapkan komposisi yang tepat agar bumbunya dapat melebur menjadi satu-kesatuan dengan bahan baku yang telah ia siapkan. Pada saat penyajian, seorang koki yang mempunyai rasa peka akan keindahan, pastilah akan menghiasi hidangannya agar enak dipandang sebelum disantap.

Begitu pula dengan penulis, kata-kata yang basi layak untuk dihindari demi sebuah kesegaran. Hal itu ditegaskan oleh Pak Danar dalam tulisannya “Kata dan Ungkapan yang Cergas” yang dimuat oleh Kelasa, majalah ilmiah yang dikelola oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung (2007:1—2). Dalam tulisannya itu, Pak Danar mengatakan bahwa kata yang pemakaiannya terlalu sering akan menyebabkan kata itu menjadi klise, tidak berdaya guna, dan tidak cergas lagi. Wahyu Wibowo (2005:64) juga berpendapat yang sama dengan Pak Danar, ia mengemukakan bahwa kata-kata klise adalah kata-kata yang sudah kehilangan roh atau tuahnya karena pembaca sudah bosan mendengarnya. Meskipun demikian, Pak Danar juga beranggapan bahwa ada pula kata-kata yang dianggap klise itu dapat dipakai asalkan hanya sesekali, misalnya kambing hitam, kuda hitam, biang keladi, dan bulan-bulanan. Coba amati dengan seksama deretan kata-kata yang mereka anggap klise berikut ini, apakah kita sepakat dengan mereka?

masyarakat yang adil dan makmur
terima kasih sebelum dan sesudahnya
demi pembangunan seutuhnya
terancam gulung tikar
tonggak sejarah
mempunyai arti tersendiri
saudara sebangsa dan setanah air
sementara itu
dalam pada itu
perlu diketahui
globalisasi
demokrasi
reformasi
tinggal landas
persatuan dan kesatuan bangsa
otonomi penegakan hukum
melanggar HAM
KKN
(Sumber: Danardana, 2007:2; Wibowo, 2005:65)

Makanlah sebelum lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang. Ungkapan yang terlihat sepele itu, ternyata, mengandung banyak arti. Di samping berisi sebuah saran bahwa makan yang terlalu banyak itu tidak baik bagi kesehatan, ungkapan itu dapat pula diartikan bahwa sesuatu yang berlebihan itu belum tentu baik. Begitu pula dengan menulis, kata-kata yang berlebihan (berlemak), meskipun dengan niatan memperhalus (demi sopan santun) suatu pernyataan atau ungkapan, sama sekali tidak berguna.

Kita sering mendengar seorang pembawa acara menyapa seorang yang mempunyai jabatan tinggi di pemerintahan dengan berlebihan. Si pembawa acara itu berkata “Kepada Yth. Bapak Drs. Hanoman….” Seharusnya, ia memilih antara berkata “Kepada Bapak Hanoman…” atau “Kepada Drs. Hanoman…” atau “Yth. Drs. Hanoman…” atau “Yth. Bpk. Hanoman…” saja karena Yth. mengandung tujuan yang sama dengan Kepada. Begitu pula dengan sapaan Bapak dan gelar Drs. mempunyai tujuan yang sama, sama-sama ingin menghormati orang yang bersangkutan.

Begitu pula dengan penulisan agar supaya. Kedua kata tersebut mempunyai makna yang sama, yakni mudah-mudahan maksudnya tercapai. Begitu pun dengan penggunaan demi untuk, keduanya mempunyai makna yang sama, yakni menunjukkan tujuan atau maksud. Solusinya, pilihlah salah satu kata tersebut: agar atau supaya, demi atau untuk.

Selain kedua hal tersebut, menghindari kata yang tidak baku juga perlu diperhatikan. Di samping untuk menghargai para penyusun kamus, mengingat tugasnya yang berat (memunguti kata-kata yang dipakai oleh masyarakat), kamus juga dapat dijadikan referensi atau setidaknya, sekadar mengecek apakah kata yang kita pakai itu baku atau tidak. Umumnya, kata yang baku akan langsung diberikan definisi, sedangkan yang tidak baku akan diberi tanda rujukan (-->) beserta informasi kata yang bakunya. Berikut ini kata-kata yang tidak baku yang sering diabaikan penggunaannya oleh masyarakat baik secara lisan maupun tulisan: himbau, hembus, analisa, hisap, handal, silahkan, panutan, apotek, dan merubah. Khusus pada kata merubah, kesalahan penggunaannya akan dibahas, sisanya, silakan mencari.

Masyarakat sering mengasumsikan bahwa kata tersebut kata dasarnya adalah rubah. Jika ditilik dari pembentukan katanya, awalan me- yang dipadukan dengan kata dasar berhuruf awal vokal (a, i, o, e, dan u) akan berubah menjadi meng-. Penggunaannya pada kata ambil, injak, oceh, elak, dan umpat akan menjadi mengambil, menginjak, mengoceh, mengelak, dan mengumpat. Begitu pun dengan kata ubah jika ditambahkan awalan me- akan menjadi mengubah bukan merubah. Kata rubah sendiri mempunyai arti binatang jenis anjing bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dsb, Canis vulpes (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005: 965). Jika kata tersebut diberi awalan me- akan menjadi merubah.

Berikut ini kutipan yang diambil dari tulisan Pak Danar tentang memilih kata, khususnya, berbahasa pada umumnya. Senyatalah bahwa sesungguhnya berbahasa dapat dianalogikan dengan berpakaian. Baik buruk, benar salah, dan pantas tidaknya seseorang berpakaian tidak hanya ditentukan oleh kualitas bahan, keserasian warna, dan kecocokan ukuran pakaiannya, tetapi juga ditentukan oleh ketepatan pilihan pakaian dengan situasi pemakaiannya. Sebagus apa pun pakaian renang, meskipun sangat cocok dan pantas dikenakan oleh seseorang, tetap tidak baik digunakan dalam pesta perkawinan. Begitu pula, meskipun dalam pesta perkawinan itu seseorang sudah berbaju batik (bermerek pula), ia tetap tidak menawan jika kedodoran (Danardana, 2007:13).


DAFTAR PUSTAKA

Akhadiah, Sabarti et al. 1999. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Arifin, E. Zaenal. 2008. Dasar-dasar Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: PT Grasindo.

Budianta, Eka. 2005. Senyum untuk Calon Penulis. Jakarta: Pustaka Alvabet.

Danardana, Agus Sri. 2007. “Kata dan Ungkapan yang Cergas”. Dalam Kelasa. (Januari—Juni, II). Lampung.

Rosa, Helvy Tiana. 2003. Segenggam Gumam. Bandung: Syaamsil.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Wibowo, Wahyu. 2005. 6 Langkah agar Tulisan Anda makin Hidup dan Enak Dibaca. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

http://www.rumahdunia.net, 24/06/2008

Makalah yang disajikan dalam
Pelatihan Anggota Muda Forum Lingkar Pena Wilayah Lampung, 2008

0 komentar: