Minggu, 23 Mei 2010
Sastra Tetap Berbicara*
Adagium Seno Gumira Ajidarma “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Berbicara”, yang juga sebuah judul buku yang diterbitkan oleh Bentang Budaya, sepertinya menjadi alternatif lain dalam sebuah pengungkapan tragedi yang tidak mungkin dipublikasikan secara vulgar dalam bentuk berita kepada khalayak ramai. Biasanya, pembungkaman itu dilakukan atas kehendak salah satu pihak, misalnya untuk kepentingan penguasa.Akan tetapi, apakah adagium itu masih berlaku di tengah kebebasan jurnalisme seperti sekarang ini? Sebagai alternatif lain sebuah pembungkaman sepertinya sudah tidak berlaku lagi karena saat ini berbagai media telah berani mengungkapkan setiap tragedi tanpa tedeng aling-aling, tetapi sebagai alat “berbicara” seseorang dalam mengejawantahkan sudut pandangnya pada sebuah tragedi masih sangat berlaku.
Puisi dapat ditulis berdasarkan pada atau dalam kondisi apa pun. Tragedi bentrok antara warga dengan aparat yang diakibatkan rencana pemindahan makam Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, sangat mungkin dijadikan puisi. Tragedi Priok yang menimbulkan banyak korban harta dan nyawa itu bisa saja dipuisikan seseorang setelah ia membaca koran ataupun seusai mendengar diskusi pro-kontra di televisi dengan metode yang berbeda-beda, gaya sesukanya, dan mungkin saja ada keberpihakan dalam isinya atau malah menjadi oasis, penyambung lidah putusnya komunikasi dan toleransi yang mengakibatkan dehumanisasi antara pihak-pihak yang bersitegang.
Tragedi yang dijadikan puisi sejak dahulu sudah dilakukan oleh banyak penyair. Chairil Anwar dalam puisinya “Catatan Tahun 1965”, sebagai salah satu contohnya, secara vulgar mencatat tragedi yang terjadi pada tahun 1965. Chairil Anwar mempertentangkannya dengan sangat menarik dan lugas antara korban yang ditandai awalan di- dalam kata dibakari, dibelenggu, dipanggang, diperanjingkan, diludahi, dicaci, diserapahi, diganyang, dimaki, disumpahi, dicangkul, dibunuhi, dipenjara dst. dengan para pelakunya. Chairil Anwar telah menjadikan puisinya itu sebagai propaganda dan rekaman sebuah tragedi.
Ignas Kleden dalam bukunya Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004) menyebut sesuatu yang menimbulkan/menyulut hasrat seseorang untuk menulis karya sastra seperti tragedi yang dituliskan oleh Chairil Anwar atau yang terjadi di Tanjungpriok itu disebut sebagai kegelisahan politik, cerminan hubungan manusia dan manusia lainnya dalam struktur sosial.
Setidaknya ada dua puisi yang merupakan cerminan hubungan manusia dan manusia lainnya dalam struktur sosial pada rubrik SMS (Sastra Milik Siswa) kali ini: “Kami yang Tersisihkan” karya Latif Margono dan “Butiran Sajak untuk Palestina” karya Erwin Mustika Sari.
Pada puisi “Kami yang Tersisihkan” memang bukan sebuah tragedi kemanusiaan yang mengakibatkan timbul banyak korban jiwa, melainkan kemirisan terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Simaklah bait-bait berikut ini. Membakar wibawa bangku sekolahan//Terbentur rupiah bunda//Ketuklah pintu-pintu ilmu tanpa kwitansi//Dan titipkan ayat-Mu di situ//Agar kami mengubah stigma//Dari rasa-rasa yang mati. Begitu menyentuh, lugas, dan senyatanya persoalan yang terdapat dalam bait puisi karya Latif Margono itu terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Berbeda dengan puisi “Kami yang Tersisihkan” karya Latif Margono, “Butiran Sajak untuk Palestina” karya Erwin Mustika Sari berisi tentang persoalan kemanusiaan yang tidak kunjung usai di Palestina. Dukungan moral untuk rakyat Palestina yang tergambar dalam puisi itu merupakan proganda yang bisa menyejukkan hati rakyat Palestina atau yang bersimpati pada tragedi tersebut atau malah menjadi serbuk mesiu yang makin mengobarkan api amarah untuk melakukan perlawanan.
Pada tataran apresiasi itulah yang menjadikan puisi ataupun karya sastra lainnya menjadi menarik untuk dinikmati. Puisi, begitu pula karya sastra lainnya, sebagai implementasi perasaan atas kepekaan diri terhadap banyak hal yang terjadi dalam struktur sosial memberikan ruang imajinasi yang sangat luas bagi penikmatnya. Ruang imajinasi inilah yang dimanfaatkan para pencipta puisi sebagai stimulan para penikmatnya agar berapresisasi puisi: berusaha mengenali, memahami, memikirkan secara kritis, dan memiliki kepekaan rasa terhadap sebuah karya.
Ruang imajinasi itu pula yang menjadikan karya sastra, tidak hanya puisi, tetap menjadi alat untuk menumpahkan pandangan para penciptanya terhadap persoalan yang terjadi, entah persoalan manusia dengan manusia lainnya, entah persoalan manusia dengan Tuhannya. Dibungkam atau tidak, dikecam atau tidak, satra tetap berbicara.
Selamat berkarya. Salam.
*Ulasan SMS (Sastra Milik Siswa)
Sebait Puisi Untukmu Ya Rabbi
Oleh Arief Anchoer Kurniawan
Secercah rembulan, mengintip di balik awan-awan gelap yang mencoba menghalangi sinarnya yang temaram
Mengintip untuk mengawasi tingkah polah manusia yang asyik terlelap di balik selimutnya
Seraya berharap ada yang terbangun dan menggerakkan tubuh pada Rabbnya
Sehangat mentari di pagi hari, membangkitkan ayam-ayam untuk berkokok dan bersuara lantang
Saatnya menghadapi dunia ini dengan kesungguhan
Seterang matahari, rahmat-Nya memenuhi bumi
Sinarnya yang penuh seakan ingin memberi petunjuk pada manusia untuk bisa berjalan di atas rel yang lurus dan benar.
Seluas samudra, itulah Hikmah dan kebijaksanaan-Nya
Tak ada kejadian yang terjadi tanpa makna.
Sekecil debu pun akan terlihat oleh-Nya
Bahkan bila kejadian itu di malam hari di bawah batu hitam nan kelam.
Sekeping koin itu menggelinding di jalan
Menyusuri terjal, landai, halusnya jalan
Dia terus berputar sampai nanti harus berhenti di suatu titik di sana
Selepas lelah manusia berdoa, mohon keridhoan-Nya, mohon petunjuk dan bantuan-Nya Ikhtiar dan doa pilihannya
Sebutir telur pecah, terpelanting ke wajan
Tapi telur itu sudah berarti bagi pemiliknya
Sebuah bukti akan kita butuhkan, untuk membuktikan kebenaran akan kepastian atas sesuatu yang sudah pasti benar, benar pastinya
Sejernih hati ibu yang menantikan anaknya yang jauh di mata
Hatinya terus merindu untuk bisa cepat bertemu
Setetes air mata itu jatuh, diikuti yang lainnya
Berlomba-lomba membasahi pipi penuh khouf dan roja’ pada-Nya
Sebait puisi buatmu Ya Rabbi, sebagai tanda cinta yang dalam dariku untuk-Mu… Selalu!
Biarkan Aku Mendoakanmu
Oleh Yuant Tiandho
: untuk peri bermata mutiara
Makin kukenal engkau menyengat rasa ini
Menyadari perlahan seperti air mengalir kala hujan
: aku tak mampu mengimami ruku’mu
: aku tak kuasa memimpin sujudmu
Aku hanya sebatang kayu lapuk muda
Tubuhku keropos dilumat rayap
Tak mampu berbunga apalagi berbuah
Hanya pantas sarang labalaba
Bukan menaungimu
: sebongkah anggrek berbunga sepanjang masa
Makin kupikir engkau mencambuk rasa ini
Aku menyadari seperti liuk angin kala senja
: aku tak mampu mengimami dzikirmu
: aku tak kuasa memimpin tilawahmu
Engkau adalah bidadari bersayap
Nafas ucapmu wangi melebihi kesturi
Senyumanmu meneduhi seperti awan untuk bumi
Engkau selalu berbuah apalagi berbunga
Engkau amat pantas menyelimuti ranjang suci
Bukan menyelimutiku
: ranjang kusam berlubang
Aku menyadari tak pantas menjadi sayapmu
Tak menerbangkanmmu pada surga-Nya
Aku berjalan tanpa arah
Mencari di mana rerumputan bersemi
Mengendusendus hangat mentari pagi
Namun, meski aku meraba cahaya
Izinkan aku mendoakanmu, periku
: semoga engkau mendapat pakaian yang sempurna
(Bandarlampung, 15 Desember 2009—2 Februari 2010)
Kami yang Tersisihkan
Oleh Latif Margono
Rintihan anak pinggiran
Mengendus kerak-kerak di tepi
Mencium angus roda tuan
Di mana rasa?
Dan rintik-rintik api
Membakar wibawa bangku sekolahan
Terbentur rupiah bunda
Oleh kepulan urusanmu tuan
Adik-adikku
Menjamah kesucian lewat jerami kering
Seteguk dari ujungnya
Sisa Para pemuda jalang
Dari gunung kekuasaan
Belum cukupkah nadi kami
Tergadai untuk hutang-hutang negeri
di sana kami mengadu
Oleh peluh tak bersambut
Oh, malang nian hati ini
Air mata, sudah jangan memaksa
Inilah nasib kitam kelam
Dan kini
Kubersimpuh pada gusti cuma
Penepuk urat-urat pemangsa
Jadikan kami harum
Oleh timpaan godaan-godaan hina
Oleh keterbatasan rumus-rumus fisika
Tuhan,
Ketuklah pintu-pintu ilmu tanpa kwitansi
Dan titipkan ayat-Mu di situ
Agar kami mengubah stigma
Dari rasa-rasa yang mati
Bujuklah nurani dan intuisi
Agar bersorai ramai nan tertawa
Menjenguk kami di sini
Tanpa kesenjangan busuk memabukkan
Kami yang tersisihkan
Selembar Daun Kering
Oleh Vio Novellina
Aku bagaikan selembar daun kering
Yang bergantung pada sebatang harapan
Sendirian diterpa angin penderitaan
Menghadapi pilunya cinta dan realita
Andai aku memiliki telinga
Aku akan selalu mendengar kelembutanmu
Yang dapat membelai relung hatiku yang sunyi
Dan seandainya aku memiliki mulut
Aku akan selalu berharap mendapati dirimu berbicara denganku
Mengungkapkan apa yang aku rasa dan yang kau rasa
Tapi sungguh disayangkan
Aku hanya memiliki sepasang mata untuk melihatmu
Melihat senyummu dari kejauhan
Tuhan…
Aku dapati diriku di dua sisi pilihan
Antara jatuh dalam lumpur cintanya yang kusam nan hitam pekat
Atau aku berada dalam cinta-Mu yang bening dan suci
Sungguh aku selembar daun yang memiliki cinta di hati
Tak mungkin mudah meninggalkan cintany
Meski sekali pun cintanya hitam pekat
Hidup adalah pilihan
Tak aku tak ingin memilih
Aku ingin dipilihkan
Aku takkan bergerak jika tak digerakkan
Aku hanya selembar daun kering
Kau harus tahu rasanya
Untukku yang hanya bisa menatap wajah cinta dari kejauhan
Perih sekali…
Kali ini Tuhan telah memilihkan pilihan yang bijak
Bagi selembar daun yang tetap teguh memegang batang harapannya
Ya…
Aku gugur…
Aku berada dalam cinta-Nya yang bening dan suci
Melepas keletihan mencinta yang tak direstui kehidupan
Bagi selembar daun kering yang bergantung pada sebatang harapan
Butiran Sajak untuk Palestina
(dari aisy yang peduli)
Oleh Erwin Mustika Sari
Subuh ini, sepeda ku kayuh
Kau tahu ke mana hendak aku berlabuh?
Nanti dulu, sejenak aku usap peluh
Namun tak pernah aku mengeluh
Karena aku akan mengantar lebih dari seribu butir sajak…
Huh… huh… huhh… huuh…
Huh huh huhh hhuhh
HAH?
Tersasar kah aku?
Tempat apa ini?
Kenapa begitu gersang?
Apakah kiamat sudah datang? Atau sebentar lagi oksigen akan hilang? Atau langit sudah bosan jadi atap? Atau bumi juga sudah mulai matang? Atau aku yang tersasar hilang?
: kembali membuka peta tua dan mencoba membaca
Aku tidak salah, aku hanya kurang informasi bahwa tanah tua ini telah luluh lantah tanpa salah
: tok tok tok!
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Please open the door ya Abbas*1…
Waalikumsalam warahmatullahi wabarakatuh…
Min aina anti?
Ana aisy, come from Indonesia
Aku datang membawa lebih dari seribu butir sajak
Ya, seperti yang dilakukan Bang Qahar pada Saddam…
Aku menulis saat makan, aku menulis saat malam, aku menulis saat siang, aku juga menulis saat di jamban…
Ini,
Sebutir, untuk menghilangkan keringatmu yang berlendir, saat kau lihat rakyatmu cacat
Sebutir, untuk menambal langit Palestina yang tak berwarna
Sebutir, untuk temanteman yang ayah dan bundanya diperkosa peradaban
Sebutir, untuk menyumpal dinding Gaza yang bolong
Sebutir, untuk penahan sakit
Sebutir, untuk hatihati yang telah lebur
Sebutir, untuk menyumpal kuping dari bising rudal
Sebutir, untuk pasirpasir yang berdzikir
Sebutir, untuk semutsemut yang semakin kalut
Sebutir, untuk awan yang telah menghitam
Sebutir, untuk matahari yang tak lagi berseri
Sebutir, untuk pencatat yang wafat
Sisanya untuk mortirmortir yang berjatuhan semaunya di badan pasir
Aku sebenarnya ingin membantu serdadu menghalau peluru tanpa baju baja
Tapi ibu bilang aku harus tetap belajar
Agar aku tak tersasar seperti mereka yang tak pernah makan adapadap hidup yang sangat hambar
Agar aku tahu tentang dunia yang tak mau tahu pada tangis dan isakmu
Dan aku juga tahu bahwa di Gaza harga manusia hanya 13shekal*2
Dan aku juga tahu bahwa 3 Maret, tanggal ulang tahunku, adalah sama seperti ulang tahun Palestina saat dilinggis zionis Inggris*3
Dan aku tahu bahwa Obama adalah Zionis taat yang menyusup halus
Aku hanya bermunajat
Lewat tiupan angin yang semakin sarat
Agar Islam di Palestina tak berkarat
Agar dunia tak hanya diam tercekat
Aku rasa hanya ini yang aku bisa
Sebelum suara ibu memanggilku, dan aku semakin menggigil di tanah yang terbakar dan bau anyir ini
Maaf aku tak bisa membantumu dalam negosiasi basi bersama pengkhianatpengkhianat yahudi
Aku harus kembali mengayuh sepedaku
Dan kembali berpeluh
Karena aku harus bersekolah
Di rumahku, sekolah masuk pagipagi sekali
Tapi ternyata pagi telah menciptakan pencuripencuri berdasi
Brutal, tapi mengaku bermoral
Ah,
Sudahlah
Aku harus pamit
Kenapa dahimu mengernyit? Aku tahu…
Kau ternyata tak tahu apa yang ku katakan
Apakah karena dunia juga sudah tidak memberimu kesempatan untuk bicara?
Aku tak peduli
: kembali mengayuh dan menjauh
Peraduanku, 2009
*1 Presiden Palestina, Mahmud Abbas
*2 artikel dari Imad Afana, Penulis asal Gaza
*3 rumahnya Turki Utsmaniyah 03 Maret 1942, Palestina jatuh ke tangan zionis
AnugrahNya
Oleh Andi Prasetyo
semesta ini bercerita
tentang Sang Maha Kuasa
yang bertahta di singgasanaNya
suara alam bersatu
berseru tentang keagunganNya
berderu dalam padu
cahaya Sang Kuasa
getarkan dada hangatkan nadi
anugrah Sang Pencipta
ajarkan bahasa cinta
tentang semua ini
bahwa semesta telah bercerita
semua keagungan Illahi
adalah anugrah cinta pada hambaNya
petunjukNya ini
bagai bintang-bintang pada malam
menghapus gelap beserta sunyi
menjadikan cerah dari kelam
tataplah alam bersama sendiri
dengarkan bisikan murni
bukankah semua ini
anugrah Illahi yang pasti
diperlukan kapal hati
berlayar menuju alam sejati
berlabuh dalam kasih yang hakiki
menjadikan jiwa pada suci
dan jangan boleh senja menyapa
sampai semua nyata dijalanNya
berjalan dijalanNya
hinggap bersama alam disisiNya
kenyataan itu ada karena impian
bersahabat dengan alam keindahan
hentikan ulah kesombongan
kembali pada Sang Kebenaran
sebelum alam merasa bosan
sebelum Illahi menghentikan waktu
tataplah panjang kedepan
mulai harapan baru
sebelum melakukan kesalahan pada siang
sebelum melakukan kezaliman pada malam
ingatlah dengan tenang
bahwa alam tak hanya diam
Radar Lampung, 16 Mei 2010

1 komentar:
Assalamualaikum, wah ulasan yang menarik... saya baru tahu kalau salah satu puisi saya masuk dlm ulasannya... :) arigatoo
salam semangat sastra!
(Erwin Mustika Sari)
Posting Komentar