Sabtu, 03 April 2010
Dari Buku Harian Menjadi Cerpen, Kenapa Tidak?*
Menulis cerpen, seperti kita tahu merupakan bukan hal yang mudah. Perlu adanya kedekatan dengan diri, alam, dan mungkin saja dengan Sang Pencipta. Menulis cerpen berbeda dengan menulis buku harian (diary). Perbedaan itu terletak pada capaian yang ingin diperoleh oleh orang yang menulis. Menulis buku harian, tentu saja hanya dinikmati oleh diri sendiri, meskipun tidak jarang buku harian yang kita miliki suatu saat dinikmati oleh orang lain dan tidak jarang pula yang mengubahnya menjadi sebuah cerpen.
Hal itu sangatlah lumrah, hanya saja perlu banyak hal yang diperhatikan agar cerita yang berawal dari sebuah buku harian itu menjadi sesuatu yang tidak lagi dinikmati sendiri, tetapi dinikmati oleh banyak orang. Hal yang paling penting dalam menulis adalah Bahasa. Bahasa yang dipakai tentu saja bukan dengan runtutan kalimat yang bisa dinikmati sendiri, tetapi kalimat yang efektif, kalimat yang mampu dipahami pembaca sesuai dengan maksud penulisnya. Selain itu, unsur-unsur seperti alur, tema, latar, dan tokoh juga perlu diperhatikan dengan seksama.
Membaca “Ayah, Karena Cintamu Aku Ada” karya Garda Karisma Sidanta merupakan hal yang menarik. Garda, setidaknya, telah menggunakan bahasa yang apik dan efektif dibandingkan banyak siswa yang mengirimkan karyanya ke rubrik Sastra Milik Siswa (SMS) yang ditaja Radar Lampung dan Kantor Bahasa Provinsi. Meskipun kesalahan-kesalahan berbahasa dalam cerpennya masih ditemukan, tetapi hal itu masih bisa dimaafkan.
Begitu pula dengan alur yang disajikan oleh Garda. Alur maju, perkenalan keadaan – perkembangan – klimaks – antiklimaks (penyelesaian), yang digunakannya memudahkan pembaca untuk melahap keseluruhan cerita yang ia sampaikan. Mulai kenangan indah hingga akhir yang tidak menyenangkan.
Latarnya pun boleh dikatakan sangat berbeda dengan latar kebanyakan siswa yang mengirimkan karyanya ke SMS. Garda berani memunculkan nama-nama tampat seperti Bandarlampung dan Kalianda. Garda telah menunjukkan kelokalannya meskipun dalam porsi kecil. Banyak kawan-kawan sebayanya yang segan (kalau malu dianggap terlalu berlebihan) untuk menunjukkan bahwa dirinya siswa Lampung. Entah terlalu sering menonton sinetron, entah memang asli orang Jakarta, banyak siswa sebaya Garda yang menggunakan latar Jakarta atau dalam dialog-dialognya ber-lu gue yang sama sekali tidak mencitrakan dirinya orang Lampung.
Tema yang diangkat pun tidak berbeda dengan teman-teman sebayanya, yaitu cinta. Garda menampilkan dalam bentuk lain, tidak murahan, apalagi basi. Biasanya, cerpen-cerpen yang masuk ke rubrik SMS yang bertema cinta tidak sedikit yang mirip dengan cerita di sinetron, pasaran, dan mudah ditebak akhir ceritanya. Sebenarnya, tidak ada persoalan seseorang mau mengangkat tema cinta atau yang lainnya, tetapi tema yang diangkat harus diolah dengan baik agar ceritanya menjadi menarik dan tidak membosankan.
Dalam penggarapan tokoh, Garda pun telah melakukannya dengan baik. Alan (tokoh utama dalam cerpen itu) mendapat suatu pertentangan batin. Ia takut memutuskan untuk menikah karena bayang-bayang kegagalan seperti yang dialami keluarganya selalu hadir dalam hidupnya, seperti pada kutipan berikut ini.
Bayangan untuk menikah bagiku adalah jauh ribuan kilometer diatas awan. Kegagalan pernikahan kakak-kakakku membayangiku. ”Buat apa aku menikah kalau akhirnya aku tidak bahagia,” itu pikirku. … Seandainya Tuhan memang menakdirkan aku untuk sendiri akan aku jalani, tapi seandainya Tuhan menakdirkan aku untuk menikah biarlah kasih itu tumbuh sendiri dari-Nya, kasih yang turun dari surga bukan kasih yang kami paksakan.
Menulis buku harian bukanlah yang tercela, kegiatan itu dapat melatih kepekaan kita dalam menulis. Yang terpenting, apa yang ditulis setidaknya sudah memenuhi kriteria efektif. Siapa tahu suatu saat nanti tulisan Yang ada dalam buku harian itu akan kita ubah menjadi sebuah cerpen. Teruslah berkarya. Salam.
AYAH, KARENA CINTAMU AKU ADA
Oleh Garda Karisma Sidanta
SMA Negeri 3 Bandar Lampung
Deras hujan yang turun mengingatkanku pada dirinya. Angin berhembus dengan mesra merasuk, merayap dalam tubuhku. Rumput-rumput tersenyum menyambut datangnya embun pagi. Dari jendela, terlihat jelas bayangan akan dirinya. Dirinya tak akan bisa tergantikan oleh apapun. Seluruh urat nadiku, detak jantungku, dan aliran darahku, seakan terhenti ingat akan kebahagiaan masa lalu.
”Alan, cepat tangkap bolanya!” teriak Ayah padaku.
”Ups, lepas lagi, Yah! Lempar Bu, ambil bolanya!” sahutku.
”Alan, ini bolanya.” kata ibuku sambil melempar bola.
”Mas Wahyu, kemari main dengan kami.” teriakku pada Mas Wahyu, kakakku yang sedang membuka-buka buku kesayangannya. Memang kalau sudah membaca dia sudah tidak bisa diganggu lagi. Adikku yang pertama sedang bermain sendiri dengan teman-temannya. Adikku yang lain bersama Ibu, kadang mereka bergabung bermain bersama kami.
”Mas Alan, ini bolanya,” katanya.
”Lempar, Dik!” teriakku.
”Sarapan sudah siap, ayo cepat kita berkumpul.” kata Ibuku.
”Menunya apa, Bu?” tanyaku.
”Kamu mau apa? Nanti Ibu buatkan.” jawab Ibu.
”Nasi goreng ya, Bu, yang agak pedas, tambahkan sosis dan telur mata sapi. Ibu, telur kuningnya pas ditengah. Oh ya, Bu, yang agak matang saja.” sahutku.
”Baiklah Ibu buatkan.” jawab Ibu.
Untukku, Ibu selalu membuatkan sesuatu yang lebih dari yang lain. Ibu selalu ingin membuat anak-anaknya bahagia. Ibuku tidak bisa mengatakan kata tidak untuk anak-anaknya. Bahkan waktu kami salah pun Ibu selalu masih bisa tersenyum.
”Marilah kita bersyukur atas rahmat yang diberikan Allah SWT pada kita.” ucapan Ayah itu selalu terngiang ditelingaku pada saat aku makan.
”Ayah, ambilkan nasinya.” kataku.
”Lan, ambil sendiri kan bisa.” jawab Ayah.
”Ndak mau, Ayah yang ambilkan.” kataku..
”Baiklah. Ayah ambilkan.”
”Mas, besok kita jalan-jalan ke Telukbetung, ya?” kata adikku yang bungsu, Ciku.
“Aduh, Dik, nggak bisa. Aku besok ada pertandingan basket di Saburai. Ciku sama Ibu saja, ya?”
”Ya udah kalau gitu,” jawabnya.
”Oh, iya, Lan, kamu akan bertanding dengan tim mana?” tanya Mas Wahyu.
”Dengan tim Sumur Batu, Mas. Anaknya besar-besar dan sangat terampil. Malahan ada yang sudah jadi juara nasional.” kataku.
”Wah, kalau gitu tidak fairlah, mestinya semua yang amatiran kalau ada yang juara nasional pasti menang.” sahut Dias, adikku yang pertama.
”Ayah , Ibu, besok lihat Alan tanding ya?” pintaku.
”Ya. Kami semua harus melihat kamu bertanding. Ayah akan sempatkan waktu, Ayah tidak mau melewatkan kesempatan itu, apalagi Ayah dengar anak-anak Sumur Batu memang jago. Tetapi, Lan, Ayah yakin kamu adalah jagoan Ayah.” Ayah memberiku semangat.
Suasana saat makan bersama selalu terbayang-bayang dimataku. Kami tidak pernah ada kata bertengkar, apalagi berpisah. Kalaupun ada, pasti hanya masalah-masalah kecil. Kami satu keluarga serasa tidak bisa terpisahkan lagi. Kami adalah satu tubuh, yang semuanya mempunyai peranan sendiri-sendiri yang tidak bisa tergantikan oleh apapun. Selain itu, kami juga satu rasa. Saat itu si Ciku sakit, dia tidak mau makan. Kami semua tidak doyan makan. Ibulah yang akhirnya sewot karena masakannya tidak ada yang menyentuh. Akhirnya semua masakan diberikan Ibu untuk anak-anak panti. Bermain, bercanda, makan bersama, belajar bersama, pergi bersama, sakit dirasakan bersama.
Ya, kami tidak bisa terpisahkan apalagi aku, aku tidak bisa melihat Ayahku sakit, sedih. Ada rasa tidak rela ketika Ayah sedih karena difitnah temannya. Hubunganku dengan Ayah memang lebih dari yang lain. Ayah juga sama dengan Ibu , Ayah tidak bisa mengatakan tidak untuk anak-anaknya. Ayah selalu mendukung kami semua apapun yang kami lakukan asalkan itu tidak melanggar adat dan budaya, asalkan untuk kepentingan kami. Waktu itu aku pengin sekali belajar piano, usaha Ayah saat itu juga sedang bangkrut. Dengan sekuat tenaga, Ayah pinjam uang ke Paman hanya untuk membayar les pianoku.
Aku dan Ayah memang sangat dekat. Aku rasa kalau tidak ketemu Ayah sehari saja rasanya sangat sepi Tetapi, semuanya berakhir ketika Ayah bertemu dengan cinta pertamanya. Tanpa aku ketahui apa yang terjadi antara Ibu dan Ayah, mereka berpisah. Sangat kecil aku bisa mengingat semuanya. Yang bisa aku ingat hanya kebahagiaan kami. Kakak dan adik-adikku ikut Ibu ke kota kecil di Kalianda. Ayahku bersamaku tetap tinggal di Bandar Lampung. Ibu baruku juga membawa anaknya dari suaminya yang terdahulu. Kami berempat tetap tinggal di rumah lama. Cinta pertama Ayah memang sangat cantik, tapi tidak kalah cantik dengan Ibuku sendiri. Ya, mungkin benar apa kata orang, first love never dies.
Ayah dan Ibuku sangat pintar sekali menyimpan kesulitan mereka didepan kami. Ternyata setelah bertahun-tahun gunung berapi yang berlarvakan ketidakpuasan, dendam, dan benci, akhirnya meletus. Saat itu aku ingat pesan Ibu.
“Alan, sekarang Alan tinggal dengan Ayah, jaga Ayah. Ibu tidak bisa lagi menjaga Ayahmu. Ingat Lan, jangan tinggalkan Ayah sendirian. Jangan biarkan ada orang yang menyakiti Ayah.” pesan Ibu.
”Ibu mau kemana?” tanyaku.
”Ibu akan pindah ke rumah Mbah Putri di Kalianda. Ibu tidak bisa lagi tinggal dengan Alan dan Ayah di sini.” kata Ibu dengan mata berkaca-kaca, terasa Ibu tidak rela harus pergi.
”Ibu, Alan ikut dengan ibu.” kataku.
”Tidak, Lan, Alan harus jaga Ayah, harus ya, Lan, ingat harus.” pesan Ibu sekali lagi.
Saat itu Ibu membawa tas besar, kakak dan adik-adikku ikut Ibu. Kami saling berpelukan dan terasa tidak bisa dan tidak mungkin terpisahkan lagi. Gerimis yang menyirami kota Bandar Lampung, membuat kami semakin sedih akan perasaan kehilangan yang sudah membayang di mataku.
”Mas Alan, jangan lupa jenguk Ciku, ya?” kata Ciku dengan manja.
”Iya, Mas pasti jenguk Eci.” sahutku.
Air mataku tanpa kusadari membasahi seluruh pipiku, aku ingat Ayah hanya diam saja melihat mereka pergi. Ada rasa kebencian yang dalam dimata Ayah, walaupun aku tahu Ayah tidak rela mereka pergi. Aku hampir tidak bisa percaya sesuatu itu terjadi, aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja aku ingat akhir-akhir ini Ayah dan Ibu sering berbicara dengan nada tinggi walaupun tidak berteriak. Mereka sangat menjaga hati anak-anak mereka.
”Ibu, itu tidak mungkin, Ayah hanya pegawai rendahan biasa, Ayah tidak bisa membelikan itu semua.” kata Ayahku.
”Tapi ,Yah, kita kan bisa pakai uang tabungan itu.” kata Ibuku.
”Tidak, Bu, itu untuk anak-anak kita.” kata ayahku.
”Ayah, pokoknya aku mau beli barang-barang itu.” kata Ibuku.
Tidak tahu mengapa, memang akhir-akhir ini Ibu suka membeli barang-barang yang tidak ada gunanya. Ibu membeli makanan dengan harga yang mahal-mahal. Sampai-sampai ada orang datang yang menagih utang pada Ibu. Melihat itu Ayah sangat malu. Karena tekanan batin yang terlalu lama, Ayah menceritakan semua kesedihannya pada seseorang yang dulunya adalah kekasih Ayah. Lambat laun namun pasti, Ayah tertarik dan berpindah dengan pujaan hati yang lain. Aku juga tidak bisa menyalahkan Ayah akan hal itu. Sampai seorang Ibu baru datang kerumah dan kami tinggal bersama.
Walaupun bukan Ibu kandungku tapi dia juga sayang padaku. Beberapa tahun kemudian aku punya adik dari perkawinan mereka, Inggit. Tanpa disadari atau tidak, lama-lama aku merasakan ketidakadilan kasih sayang Ayah padaku.
”Lan, adiknya dibuatkan minum, Ibu mau masuk kerja.” kata Ibuku.
”Ya , Bu, baik.” sahutku.
“Jangan lupa dijaga karena Ibu nanti pulangnya agak sore.” kata Ibuku.
Setiap hari aku melakukannya tanpa ada belaan dari Ayah. Tapi dengan kerasnya hidup yang aku lalui aku punya tekad untuk keluar dari rumah itu dengan sukses. ”Ya, aku harus sukses” itu pikirku.
Belajar adalah sarapanku setiap hari. Ayah tetap memperhatikanku sampai aku bisa menempuh pendidikan tinggi. Setelah lulus aku bekerja pada salah satu perusahaan swasta di Bandar Lampung. Sejak saat itu aku keluar dari rumah Ayah, aku sewa rumah sendiri karena aku ingin membuktikan pada Ayah bahwa aku bisa mandiri. Setiap bulan, walaupun tidak banyak, aku selalu memberikan gajiku untuk Ayah dan adik-adikku. Aku sekolahkan Dias di salah satu PT swasta di Bandar Lampung. Ibuku di Kalianda hidup dengan kakak dan adikku. Sewaktu liburan aku sempatkan dan pasti mengunjungi mereka. Ya, sambil menikmati udara pantai di Kalianda.
Sampai sesuatu terjadi. Ibuku yang kedua meninggal karena penyakit jantung. Karena sudah tinggal bersama, aku juga merasa kehilangan. Ayahku akhirnya sendiri lagi, tapi Ayah tetap tidak mau menerima Ibuku lagi.
Inggit, adikku melahirkan anak perempuannya. Dengan kedatangan Yuka, keponakanku, kesepian Ayah terisi. Setiap pagi Ayah selalu berjalan-jalan dengan Yuka. Senang hatiku bisa melihat Ayah bahagia. Tiada hal yang paling indah yang bisa membahagiakan Ayah. Kalau ada Yuka, pasti ada Ayah. Ayah selalu membawa Yuka kemanapun. Sampai suatu pagi, Yuka lari kejalan, Ayah mengejarnya. Karena Ayah terkejut dengan kejadian itu, akhirnya jantung Ayah kambuh. Beberapa saat Ayah harus dirawat ke rumah sakit. Tabunganku yang ingin aku berikan pada Ibu, aku gunakan untuk merawat Ayah. Ibu datang merawat Ayah. Tapi Ayah tetap tidak mau menerima kedatangan Ibu. Sempat aku merasa benci sekali dengan Ayah. Inggit juga tidak mau merawat Ayah dengan telaten. Semua diserahkan padaku. Sampai Ayah terkena lumpuh yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Untuk menopang tubuhnya pun Ayah sulit. Ayah tidak bisa berjalan dengan normal lagi. Sedih sekali rasanya, apalagi sejak aku kerja, aku sudah tidak tinggal lagi dengan Ayah satu rumah. Aku kontrak rumah sendiri, aku datang ke rumah Ayah kalau Inggit tidak ada di rumah. Tidak tahu mengapa ada perasaan tidak cocok dengan Inggit. Apa mungkin rasa cemburuku pada Inggit, aku juga tidak tahu.
”Ayah, Ayah tinggal denganku saja.” kataku
”Tidak, Lan, Ayah ingin tinggal dengan adikmu, Inggit. Ayah tidak bisa meninggalkannya.” kata Ayahku.
”Yah, aku tidak menikah ndak apa-apa kok , Yah. Asalkan Ayah tinggal denganku.” kataku.
”Aku ingin membuat Ayah bahagia.” lanjutku.
Bayangan untuk menikah bagiku adalah jauh ribuan kilometer diatas awan. Kegagalan pernikahan kakak-kakakku membayangiku. ”Buat apa aku menikah kalau akhirnya aku tidak bahagia,” itu pikirku. Selain itu kegagalan Ayah dan Ibuku juga membayangiku. Pernah suatu saat aku tertarik pada seorang gadis, kami sudah sepakat untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan tapi karena muncul faktor-faktor lain yang akhirnya aku tidak jadi menikah dengannya. Karena kehadiranku hanya digunakan untuk merubah status dalam keluarganya. Aku tak mau itu. Tak apalah tujuan akhir hidup bukan hanya untuk menikah. Karena yang harus dilakukan untuk akhir kehidupan kita adalah hidup untuk orang lain. Seandainya Tuhan memang menakdirkan aku untuk sendiri akan aku jalani, tapi seandainya Tuhan menakdirkan aku untuk menikah biarlah kasih itu tumbuh sendiri dari-Nya, kasih yang turun dari surga bukan kasih yang kami paksakan.
”Tidak, Lan.” sahut Ayahku. ”Inilah yang membuat Ayah bahagia, tinggal dengan Inggit.” katanya lagi.
Ya mungkin, bayangan cinta pertama Ayahku ada pada Inggit. Aku juga tidak menyalahkan Ayah seratus persen. Semua kejadian itu bukan karena salah Ayah semata. Ibuku juga punya andil besar dengan kejadian ini. Ibu memang suka boros. Ibu tidak tahu bagaimanan sulitnya mencari uang.. Ibu juga sih yang tidak bisa menggunakan uang dengan baik. Ibu juga yang tidak tahu bagaimana posisi Ayah saat itu. Ibu .... ingatanku pecah oleh ketukan pintu sekretarisku.
“Bapak Alan, ada tamu.”
”Ya, silahkan masuk,” kataku.
”Selamat pagi Bapak Alan Suparnanda, saya Parega Benata dari Garuda Express,” kata nya. ”Barang-barang sudah kami kirimkan, dan mungkin akan tiba beberapa saat lagi.” lanjutnya.
Kesibukan di kantor menghapus kembali ingatanku akan masa lalu sesaat.
Hal itu sangatlah lumrah, hanya saja perlu banyak hal yang diperhatikan agar cerita yang berawal dari sebuah buku harian itu menjadi sesuatu yang tidak lagi dinikmati sendiri, tetapi dinikmati oleh banyak orang. Hal yang paling penting dalam menulis adalah Bahasa. Bahasa yang dipakai tentu saja bukan dengan runtutan kalimat yang bisa dinikmati sendiri, tetapi kalimat yang efektif, kalimat yang mampu dipahami pembaca sesuai dengan maksud penulisnya. Selain itu, unsur-unsur seperti alur, tema, latar, dan tokoh juga perlu diperhatikan dengan seksama.
Membaca “Ayah, Karena Cintamu Aku Ada” karya Garda Karisma Sidanta merupakan hal yang menarik. Garda, setidaknya, telah menggunakan bahasa yang apik dan efektif dibandingkan banyak siswa yang mengirimkan karyanya ke rubrik Sastra Milik Siswa (SMS) yang ditaja Radar Lampung dan Kantor Bahasa Provinsi. Meskipun kesalahan-kesalahan berbahasa dalam cerpennya masih ditemukan, tetapi hal itu masih bisa dimaafkan.
Begitu pula dengan alur yang disajikan oleh Garda. Alur maju, perkenalan keadaan – perkembangan – klimaks – antiklimaks (penyelesaian), yang digunakannya memudahkan pembaca untuk melahap keseluruhan cerita yang ia sampaikan. Mulai kenangan indah hingga akhir yang tidak menyenangkan.
Latarnya pun boleh dikatakan sangat berbeda dengan latar kebanyakan siswa yang mengirimkan karyanya ke SMS. Garda berani memunculkan nama-nama tampat seperti Bandarlampung dan Kalianda. Garda telah menunjukkan kelokalannya meskipun dalam porsi kecil. Banyak kawan-kawan sebayanya yang segan (kalau malu dianggap terlalu berlebihan) untuk menunjukkan bahwa dirinya siswa Lampung. Entah terlalu sering menonton sinetron, entah memang asli orang Jakarta, banyak siswa sebaya Garda yang menggunakan latar Jakarta atau dalam dialog-dialognya ber-lu gue yang sama sekali tidak mencitrakan dirinya orang Lampung.
Tema yang diangkat pun tidak berbeda dengan teman-teman sebayanya, yaitu cinta. Garda menampilkan dalam bentuk lain, tidak murahan, apalagi basi. Biasanya, cerpen-cerpen yang masuk ke rubrik SMS yang bertema cinta tidak sedikit yang mirip dengan cerita di sinetron, pasaran, dan mudah ditebak akhir ceritanya. Sebenarnya, tidak ada persoalan seseorang mau mengangkat tema cinta atau yang lainnya, tetapi tema yang diangkat harus diolah dengan baik agar ceritanya menjadi menarik dan tidak membosankan.
Dalam penggarapan tokoh, Garda pun telah melakukannya dengan baik. Alan (tokoh utama dalam cerpen itu) mendapat suatu pertentangan batin. Ia takut memutuskan untuk menikah karena bayang-bayang kegagalan seperti yang dialami keluarganya selalu hadir dalam hidupnya, seperti pada kutipan berikut ini.
Bayangan untuk menikah bagiku adalah jauh ribuan kilometer diatas awan. Kegagalan pernikahan kakak-kakakku membayangiku. ”Buat apa aku menikah kalau akhirnya aku tidak bahagia,” itu pikirku. … Seandainya Tuhan memang menakdirkan aku untuk sendiri akan aku jalani, tapi seandainya Tuhan menakdirkan aku untuk menikah biarlah kasih itu tumbuh sendiri dari-Nya, kasih yang turun dari surga bukan kasih yang kami paksakan.
Menulis buku harian bukanlah yang tercela, kegiatan itu dapat melatih kepekaan kita dalam menulis. Yang terpenting, apa yang ditulis setidaknya sudah memenuhi kriteria efektif. Siapa tahu suatu saat nanti tulisan Yang ada dalam buku harian itu akan kita ubah menjadi sebuah cerpen. Teruslah berkarya. Salam.
*Ulasan Cerpen "Ayah, Karena Cintamu Aku Ada"
AYAH, KARENA CINTAMU AKU ADA
Oleh Garda Karisma Sidanta
SMA Negeri 3 Bandar Lampung
Deras hujan yang turun mengingatkanku pada dirinya. Angin berhembus dengan mesra merasuk, merayap dalam tubuhku. Rumput-rumput tersenyum menyambut datangnya embun pagi. Dari jendela, terlihat jelas bayangan akan dirinya. Dirinya tak akan bisa tergantikan oleh apapun. Seluruh urat nadiku, detak jantungku, dan aliran darahku, seakan terhenti ingat akan kebahagiaan masa lalu.
”Alan, cepat tangkap bolanya!” teriak Ayah padaku.
”Ups, lepas lagi, Yah! Lempar Bu, ambil bolanya!” sahutku.
”Alan, ini bolanya.” kata ibuku sambil melempar bola.
”Mas Wahyu, kemari main dengan kami.” teriakku pada Mas Wahyu, kakakku yang sedang membuka-buka buku kesayangannya. Memang kalau sudah membaca dia sudah tidak bisa diganggu lagi. Adikku yang pertama sedang bermain sendiri dengan teman-temannya. Adikku yang lain bersama Ibu, kadang mereka bergabung bermain bersama kami.
”Mas Alan, ini bolanya,” katanya.
”Lempar, Dik!” teriakku.
”Sarapan sudah siap, ayo cepat kita berkumpul.” kata Ibuku.
”Menunya apa, Bu?” tanyaku.
”Kamu mau apa? Nanti Ibu buatkan.” jawab Ibu.
”Nasi goreng ya, Bu, yang agak pedas, tambahkan sosis dan telur mata sapi. Ibu, telur kuningnya pas ditengah. Oh ya, Bu, yang agak matang saja.” sahutku.
”Baiklah Ibu buatkan.” jawab Ibu.
Untukku, Ibu selalu membuatkan sesuatu yang lebih dari yang lain. Ibu selalu ingin membuat anak-anaknya bahagia. Ibuku tidak bisa mengatakan kata tidak untuk anak-anaknya. Bahkan waktu kami salah pun Ibu selalu masih bisa tersenyum.
”Marilah kita bersyukur atas rahmat yang diberikan Allah SWT pada kita.” ucapan Ayah itu selalu terngiang ditelingaku pada saat aku makan.
”Ayah, ambilkan nasinya.” kataku.
”Lan, ambil sendiri kan bisa.” jawab Ayah.
”Ndak mau, Ayah yang ambilkan.” kataku..
”Baiklah. Ayah ambilkan.”
”Mas, besok kita jalan-jalan ke Telukbetung, ya?” kata adikku yang bungsu, Ciku.
“Aduh, Dik, nggak bisa. Aku besok ada pertandingan basket di Saburai. Ciku sama Ibu saja, ya?”
”Ya udah kalau gitu,” jawabnya.
”Oh, iya, Lan, kamu akan bertanding dengan tim mana?” tanya Mas Wahyu.
”Dengan tim Sumur Batu, Mas. Anaknya besar-besar dan sangat terampil. Malahan ada yang sudah jadi juara nasional.” kataku.
”Wah, kalau gitu tidak fairlah, mestinya semua yang amatiran kalau ada yang juara nasional pasti menang.” sahut Dias, adikku yang pertama.
”Ayah , Ibu, besok lihat Alan tanding ya?” pintaku.
”Ya. Kami semua harus melihat kamu bertanding. Ayah akan sempatkan waktu, Ayah tidak mau melewatkan kesempatan itu, apalagi Ayah dengar anak-anak Sumur Batu memang jago. Tetapi, Lan, Ayah yakin kamu adalah jagoan Ayah.” Ayah memberiku semangat.
Suasana saat makan bersama selalu terbayang-bayang dimataku. Kami tidak pernah ada kata bertengkar, apalagi berpisah. Kalaupun ada, pasti hanya masalah-masalah kecil. Kami satu keluarga serasa tidak bisa terpisahkan lagi. Kami adalah satu tubuh, yang semuanya mempunyai peranan sendiri-sendiri yang tidak bisa tergantikan oleh apapun. Selain itu, kami juga satu rasa. Saat itu si Ciku sakit, dia tidak mau makan. Kami semua tidak doyan makan. Ibulah yang akhirnya sewot karena masakannya tidak ada yang menyentuh. Akhirnya semua masakan diberikan Ibu untuk anak-anak panti. Bermain, bercanda, makan bersama, belajar bersama, pergi bersama, sakit dirasakan bersama.
Ya, kami tidak bisa terpisahkan apalagi aku, aku tidak bisa melihat Ayahku sakit, sedih. Ada rasa tidak rela ketika Ayah sedih karena difitnah temannya. Hubunganku dengan Ayah memang lebih dari yang lain. Ayah juga sama dengan Ibu , Ayah tidak bisa mengatakan tidak untuk anak-anaknya. Ayah selalu mendukung kami semua apapun yang kami lakukan asalkan itu tidak melanggar adat dan budaya, asalkan untuk kepentingan kami. Waktu itu aku pengin sekali belajar piano, usaha Ayah saat itu juga sedang bangkrut. Dengan sekuat tenaga, Ayah pinjam uang ke Paman hanya untuk membayar les pianoku.
Aku dan Ayah memang sangat dekat. Aku rasa kalau tidak ketemu Ayah sehari saja rasanya sangat sepi Tetapi, semuanya berakhir ketika Ayah bertemu dengan cinta pertamanya. Tanpa aku ketahui apa yang terjadi antara Ibu dan Ayah, mereka berpisah. Sangat kecil aku bisa mengingat semuanya. Yang bisa aku ingat hanya kebahagiaan kami. Kakak dan adik-adikku ikut Ibu ke kota kecil di Kalianda. Ayahku bersamaku tetap tinggal di Bandar Lampung. Ibu baruku juga membawa anaknya dari suaminya yang terdahulu. Kami berempat tetap tinggal di rumah lama. Cinta pertama Ayah memang sangat cantik, tapi tidak kalah cantik dengan Ibuku sendiri. Ya, mungkin benar apa kata orang, first love never dies.
Ayah dan Ibuku sangat pintar sekali menyimpan kesulitan mereka didepan kami. Ternyata setelah bertahun-tahun gunung berapi yang berlarvakan ketidakpuasan, dendam, dan benci, akhirnya meletus. Saat itu aku ingat pesan Ibu.
“Alan, sekarang Alan tinggal dengan Ayah, jaga Ayah. Ibu tidak bisa lagi menjaga Ayahmu. Ingat Lan, jangan tinggalkan Ayah sendirian. Jangan biarkan ada orang yang menyakiti Ayah.” pesan Ibu.
”Ibu mau kemana?” tanyaku.
”Ibu akan pindah ke rumah Mbah Putri di Kalianda. Ibu tidak bisa lagi tinggal dengan Alan dan Ayah di sini.” kata Ibu dengan mata berkaca-kaca, terasa Ibu tidak rela harus pergi.
”Ibu, Alan ikut dengan ibu.” kataku.
”Tidak, Lan, Alan harus jaga Ayah, harus ya, Lan, ingat harus.” pesan Ibu sekali lagi.
Saat itu Ibu membawa tas besar, kakak dan adik-adikku ikut Ibu. Kami saling berpelukan dan terasa tidak bisa dan tidak mungkin terpisahkan lagi. Gerimis yang menyirami kota Bandar Lampung, membuat kami semakin sedih akan perasaan kehilangan yang sudah membayang di mataku.
”Mas Alan, jangan lupa jenguk Ciku, ya?” kata Ciku dengan manja.
”Iya, Mas pasti jenguk Eci.” sahutku.
Air mataku tanpa kusadari membasahi seluruh pipiku, aku ingat Ayah hanya diam saja melihat mereka pergi. Ada rasa kebencian yang dalam dimata Ayah, walaupun aku tahu Ayah tidak rela mereka pergi. Aku hampir tidak bisa percaya sesuatu itu terjadi, aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja aku ingat akhir-akhir ini Ayah dan Ibu sering berbicara dengan nada tinggi walaupun tidak berteriak. Mereka sangat menjaga hati anak-anak mereka.
”Ibu, itu tidak mungkin, Ayah hanya pegawai rendahan biasa, Ayah tidak bisa membelikan itu semua.” kata Ayahku.
”Tapi ,Yah, kita kan bisa pakai uang tabungan itu.” kata Ibuku.
”Tidak, Bu, itu untuk anak-anak kita.” kata ayahku.
”Ayah, pokoknya aku mau beli barang-barang itu.” kata Ibuku.
Tidak tahu mengapa, memang akhir-akhir ini Ibu suka membeli barang-barang yang tidak ada gunanya. Ibu membeli makanan dengan harga yang mahal-mahal. Sampai-sampai ada orang datang yang menagih utang pada Ibu. Melihat itu Ayah sangat malu. Karena tekanan batin yang terlalu lama, Ayah menceritakan semua kesedihannya pada seseorang yang dulunya adalah kekasih Ayah. Lambat laun namun pasti, Ayah tertarik dan berpindah dengan pujaan hati yang lain. Aku juga tidak bisa menyalahkan Ayah akan hal itu. Sampai seorang Ibu baru datang kerumah dan kami tinggal bersama.
Walaupun bukan Ibu kandungku tapi dia juga sayang padaku. Beberapa tahun kemudian aku punya adik dari perkawinan mereka, Inggit. Tanpa disadari atau tidak, lama-lama aku merasakan ketidakadilan kasih sayang Ayah padaku.
”Lan, adiknya dibuatkan minum, Ibu mau masuk kerja.” kata Ibuku.
”Ya , Bu, baik.” sahutku.
“Jangan lupa dijaga karena Ibu nanti pulangnya agak sore.” kata Ibuku.
Setiap hari aku melakukannya tanpa ada belaan dari Ayah. Tapi dengan kerasnya hidup yang aku lalui aku punya tekad untuk keluar dari rumah itu dengan sukses. ”Ya, aku harus sukses” itu pikirku.
Belajar adalah sarapanku setiap hari. Ayah tetap memperhatikanku sampai aku bisa menempuh pendidikan tinggi. Setelah lulus aku bekerja pada salah satu perusahaan swasta di Bandar Lampung. Sejak saat itu aku keluar dari rumah Ayah, aku sewa rumah sendiri karena aku ingin membuktikan pada Ayah bahwa aku bisa mandiri. Setiap bulan, walaupun tidak banyak, aku selalu memberikan gajiku untuk Ayah dan adik-adikku. Aku sekolahkan Dias di salah satu PT swasta di Bandar Lampung. Ibuku di Kalianda hidup dengan kakak dan adikku. Sewaktu liburan aku sempatkan dan pasti mengunjungi mereka. Ya, sambil menikmati udara pantai di Kalianda.
Sampai sesuatu terjadi. Ibuku yang kedua meninggal karena penyakit jantung. Karena sudah tinggal bersama, aku juga merasa kehilangan. Ayahku akhirnya sendiri lagi, tapi Ayah tetap tidak mau menerima Ibuku lagi.
***
Inggit, adikku melahirkan anak perempuannya. Dengan kedatangan Yuka, keponakanku, kesepian Ayah terisi. Setiap pagi Ayah selalu berjalan-jalan dengan Yuka. Senang hatiku bisa melihat Ayah bahagia. Tiada hal yang paling indah yang bisa membahagiakan Ayah. Kalau ada Yuka, pasti ada Ayah. Ayah selalu membawa Yuka kemanapun. Sampai suatu pagi, Yuka lari kejalan, Ayah mengejarnya. Karena Ayah terkejut dengan kejadian itu, akhirnya jantung Ayah kambuh. Beberapa saat Ayah harus dirawat ke rumah sakit. Tabunganku yang ingin aku berikan pada Ibu, aku gunakan untuk merawat Ayah. Ibu datang merawat Ayah. Tapi Ayah tetap tidak mau menerima kedatangan Ibu. Sempat aku merasa benci sekali dengan Ayah. Inggit juga tidak mau merawat Ayah dengan telaten. Semua diserahkan padaku. Sampai Ayah terkena lumpuh yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Untuk menopang tubuhnya pun Ayah sulit. Ayah tidak bisa berjalan dengan normal lagi. Sedih sekali rasanya, apalagi sejak aku kerja, aku sudah tidak tinggal lagi dengan Ayah satu rumah. Aku kontrak rumah sendiri, aku datang ke rumah Ayah kalau Inggit tidak ada di rumah. Tidak tahu mengapa ada perasaan tidak cocok dengan Inggit. Apa mungkin rasa cemburuku pada Inggit, aku juga tidak tahu.
”Ayah, Ayah tinggal denganku saja.” kataku
”Tidak, Lan, Ayah ingin tinggal dengan adikmu, Inggit. Ayah tidak bisa meninggalkannya.” kata Ayahku.
”Yah, aku tidak menikah ndak apa-apa kok , Yah. Asalkan Ayah tinggal denganku.” kataku.
”Aku ingin membuat Ayah bahagia.” lanjutku.
Bayangan untuk menikah bagiku adalah jauh ribuan kilometer diatas awan. Kegagalan pernikahan kakak-kakakku membayangiku. ”Buat apa aku menikah kalau akhirnya aku tidak bahagia,” itu pikirku. Selain itu kegagalan Ayah dan Ibuku juga membayangiku. Pernah suatu saat aku tertarik pada seorang gadis, kami sudah sepakat untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan tapi karena muncul faktor-faktor lain yang akhirnya aku tidak jadi menikah dengannya. Karena kehadiranku hanya digunakan untuk merubah status dalam keluarganya. Aku tak mau itu. Tak apalah tujuan akhir hidup bukan hanya untuk menikah. Karena yang harus dilakukan untuk akhir kehidupan kita adalah hidup untuk orang lain. Seandainya Tuhan memang menakdirkan aku untuk sendiri akan aku jalani, tapi seandainya Tuhan menakdirkan aku untuk menikah biarlah kasih itu tumbuh sendiri dari-Nya, kasih yang turun dari surga bukan kasih yang kami paksakan.
”Tidak, Lan.” sahut Ayahku. ”Inilah yang membuat Ayah bahagia, tinggal dengan Inggit.” katanya lagi.
Ya mungkin, bayangan cinta pertama Ayahku ada pada Inggit. Aku juga tidak menyalahkan Ayah seratus persen. Semua kejadian itu bukan karena salah Ayah semata. Ibuku juga punya andil besar dengan kejadian ini. Ibu memang suka boros. Ibu tidak tahu bagaimanan sulitnya mencari uang.. Ibu juga sih yang tidak bisa menggunakan uang dengan baik. Ibu juga yang tidak tahu bagaimana posisi Ayah saat itu. Ibu .... ingatanku pecah oleh ketukan pintu sekretarisku.
“Bapak Alan, ada tamu.”
”Ya, silahkan masuk,” kataku.
”Selamat pagi Bapak Alan Suparnanda, saya Parega Benata dari Garuda Express,” kata nya. ”Barang-barang sudah kami kirimkan, dan mungkin akan tiba beberapa saat lagi.” lanjutnya.
Kesibukan di kantor menghapus kembali ingatanku akan masa lalu sesaat.
Radar Lampung, 11 November 2009


0 komentar:
Posting Komentar