Bincang-bincang


ShoutMix chat widget

Pengikut

Lebih Dekat

Selasa, 30 Maret 2010

Shakespeare Bukan Orang Indonesia (!)

“What’s in a name?” (Act II, Scene II, Capulet’s Orchard). Sepertinya, pertanyaan tokoh Juliet dalam drama klasik Romeo and Juliet karya William Shakespeare yang tersohor itu tidak lagi tepat ka­rena dalam sebuah nama terkandung sekumpulan informasi tentang identitas orang yang memilikinya. Entah itu jenis kelamin, suku bangsa, kepribadian, agama, latar belakang keluarga, status sosial, budaya, atau hanya sekadar pembeda suatu benda dengan benda lainnya, antara dirinya dengan hal-hal yang bukan dirinya.

Nama Danish Anargya Putra Wibowo, misalnya. Anak yang memiliki nama tersebut pastilah laki-laki, keturunan Jawa, dan beragama Islam. Melalui nama itu, tersirat keinginan orang tuanya untuk menjadikan dirinya sebagai anak yang bijaksana dan berwibawa, serta tercurah kasih sayang orang tua yang tidak ternilai harganya. Singkatnya, nama itu penting.

Hal lainnya yang membuktikan bahwa nama itu pen­ting juga ditunjukkan oleh para pelaku bisnis di Indonesia. Mereka mencari, menimbang, meramu, dan memutuskan nama yang cocok agar barang dagangan mereka laris-manis di pasaran. Sayangnya, seperti yang pernah diungkapkan oleh Pak Danar dalam rubrik ini, “Fobia Bahasa Indonesia”, Lampung Post, 28 Februari 2007, para pedagang itu berbondong-bondong jijik menamai produk mereka dengan bahasa Indonesia.

Tidak hanya pedagang rupanya, tetapi para pemusik di republik ini juga mulai keranjingan menamai grup me­reka dengan bahasa asing, lagi-lagi, dengan alasan lebih menjual, gagah, keren, dan tidak murahan. Padahal, hal tersebut akan menjadi pepesan kosong, jika tidak diimbangi dengan sederet prestasi.

Tengoklah, nama-nama grup musik seperti The Titans, The Rain, T-Five, Voodoo, Clubeighties, Five Minutes, dan lainnya. Nama-nama tersebut menyiratkan bahwa mereka telah melupakan asal-muasal mereka, memerkosa esensi sebuah nama dan yang pasti, munafik. Bagaimana tidak, berapa banyak karya mereka yang berlirik bahasa Inggris (sekadar menyesuaikan dengan nama mereka)? Meskipun musik bersifat universal, apakah penamaan yang berbahasa asing itu juga membawa mereka mendunia atau jangan-jangan, mereka berharap ingin diasingkan di negeri mereka sendiri? Lalu, apakah bahasa Indonesia tidak bisa mewakili inspirasi mereka, meskipun hanya sekadar sebuah nama?

Coba bandingkan, grup manakah yang akan dikenang sepanjang masa, Dewa 19 atau Sheila On 7? Grup pendatang baru manakah yang lebih sensasional, Kangen atau The Rain? Grup manakah yang lebih cadas, Pas atau Superman Is Dead?

Ternyata, tidak cukup dengan nama yang terdengar gagah saja yang bisa membawa musik mereka dicintai dan dihargai di dunia, bukan? Pemilihan nama yang bersahaja, keunikan aransemen, lirik yang dikemas apik, dan prestasi di ranah lokal pun bisa menjadi pertimbangan masyarakat dunia untuk mencintai dan menghargai mereka.

Memang, hal tersebut tidak seironis dengan para peja­bat yang tidur ketika Pak SBY memberikan pidato di sebuah forum konsultasi pimpinan pemerintah daerah di gedung Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), Jakarta, bebe­rapa hari yang lalu.

Andai saja William Shakespeare lahir di Indonesia, pastilah ibu bapaknya menamai ia dengan nama Winarto Sukarmin.

Lampung Post, 30 April 2008

0 komentar: