Selasa, 30 Maret 2010
Nuansa Magifikasi
Beberapa tahun yang lalu, Ayatrohaedi dalam tulisannya “Biar Salah Asal Gagah” (Inul Itu Diva? Kumpulan Kolom Bahasa Kompas, 2003:47) mengajak masyarakat Indonesia agar kembali ke jalan yang benar. Ia mengatakan bahwa masyarakat salah memaknai arti kata nuansa. Masyarakat cenderung memaknai kata nuansa sebagai sesuatu yang berhubungan dengan hawa, udara; keadaan sekitar sesuatu atau dalam lingkungan sesuatu; dan keadaan suatu peristiwa. Padahal, makna tersebut akan dijumpai pada lema kata suasana (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:1094).
Sesungguhnya, kata nuansa yang diserap dari bahasa Inggris (nuance) mempunyai arti variasi atau perbedaan yang sangat halus atau kecil sekali (tentang warna, suara, kualitas, dan sebagainya) dan kepekaan terhadap, kewaspadaan atas, atau kemampuan menyatakan adanya pergeseran yang kecil sekali (tentang makna, perasaan, atau nilai) (KBBI, 2006:788).
Ternyata, sejak tulisan Ayatrohaedi sampai tulisan ini dimuat, masyarakat telah bersepakat untuk bergagah-gagah ria memakai kata nuansa, meskipun penggunaan kata tersebut kurang tepat jika ditilik dari maknanya.
Berikut ini beberapa contoh kalimat yang menggunakan kata nuansa yang rasa-rasanya lebih pas menggunakan kata suasana. Puluhan anak-anak bersenandung dan berdendang melantunkan lagu-lagu bernuansa Islami (Lampung Post, 3 November 2007). Maraknya pembentukan paguyuban bernuansa kedaerahan tidak berpotensi memperlemah konsep kebangsaan (Lampung Post, 2 September 2007).
Lalu bagaimana dengan kata magifikasi yang digunakan oleh Bang Oyos (Oyos Saroso H.N.) dalam tulisannya “Kebangkitan Nasional dan Magifikasi Indonesia” (Lampung Post, 19 Mei 2008), sebuah kreasi atau distorsi?
Lazimnya, kata-kata Indonesia yang terdapat unsur -fikasi diserap dari bahasa Inggris, seperti qualification (kualifikasi), classification (klasifikasi), dan clarification (klarifikasi).
Dalam menyerap kata asing seperti yang termaktub dalam Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing (2006:2—3), ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, kata yang diserap dapat mempertajam daya ungkap penutur bahasa Indonesia. Kedua, belum ada konsep yang tepat untuk menggungkapkan gagasan dan hati dalam bahasa Indonesia sehingga harus menyerap kata asing, dan yang penting dalam proses penyerapan itu adalah motivasinya.
Apakah kata magifikasi merupakan kata serapan dari bahasa asing? Dalam kamus ekabahasa, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, tidak ditemukan kata magification, tetapi hanya kata magi, magic, magician, magical, magically, magisterial, dan magistrate yang ditemukan. Begitu pula dalam KBBI, tidak ditemukan kata magifikasi, hanya ditemukan kata magi, magis, magister, dan magistrat.
Nah, sekarang tinggal masyarakat memilih dan memihak, sepakat atau tidak sepakat dengan penggunaan kata itu, tentu saja dengan berbagai pertimbangan.
Kreasi dan distorsi mempunyai dua sisi yang berbeda seperti mata uang, bertolak belakang tetapi saling berkaitan, ketika sebuah kreasi muncul akan menimbulkan distorsi. Begitu juga sebaliknya, ketika sebuah distorsi muncul akan menimbulkan kreasi.
Sesungguhnya, kata nuansa yang diserap dari bahasa Inggris (nuance) mempunyai arti variasi atau perbedaan yang sangat halus atau kecil sekali (tentang warna, suara, kualitas, dan sebagainya) dan kepekaan terhadap, kewaspadaan atas, atau kemampuan menyatakan adanya pergeseran yang kecil sekali (tentang makna, perasaan, atau nilai) (KBBI, 2006:788).
Ternyata, sejak tulisan Ayatrohaedi sampai tulisan ini dimuat, masyarakat telah bersepakat untuk bergagah-gagah ria memakai kata nuansa, meskipun penggunaan kata tersebut kurang tepat jika ditilik dari maknanya.
Berikut ini beberapa contoh kalimat yang menggunakan kata nuansa yang rasa-rasanya lebih pas menggunakan kata suasana. Puluhan anak-anak bersenandung dan berdendang melantunkan lagu-lagu bernuansa Islami (Lampung Post, 3 November 2007). Maraknya pembentukan paguyuban bernuansa kedaerahan tidak berpotensi memperlemah konsep kebangsaan (Lampung Post, 2 September 2007).
Lalu bagaimana dengan kata magifikasi yang digunakan oleh Bang Oyos (Oyos Saroso H.N.) dalam tulisannya “Kebangkitan Nasional dan Magifikasi Indonesia” (Lampung Post, 19 Mei 2008), sebuah kreasi atau distorsi?
Lazimnya, kata-kata Indonesia yang terdapat unsur -fikasi diserap dari bahasa Inggris, seperti qualification (kualifikasi), classification (klasifikasi), dan clarification (klarifikasi).
Dalam menyerap kata asing seperti yang termaktub dalam Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing (2006:2—3), ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, kata yang diserap dapat mempertajam daya ungkap penutur bahasa Indonesia. Kedua, belum ada konsep yang tepat untuk menggungkapkan gagasan dan hati dalam bahasa Indonesia sehingga harus menyerap kata asing, dan yang penting dalam proses penyerapan itu adalah motivasinya.
Apakah kata magifikasi merupakan kata serapan dari bahasa asing? Dalam kamus ekabahasa, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, tidak ditemukan kata magification, tetapi hanya kata magi, magic, magician, magical, magically, magisterial, dan magistrate yang ditemukan. Begitu pula dalam KBBI, tidak ditemukan kata magifikasi, hanya ditemukan kata magi, magis, magister, dan magistrat.
Nah, sekarang tinggal masyarakat memilih dan memihak, sepakat atau tidak sepakat dengan penggunaan kata itu, tentu saja dengan berbagai pertimbangan.
Kreasi dan distorsi mempunyai dua sisi yang berbeda seperti mata uang, bertolak belakang tetapi saling berkaitan, ketika sebuah kreasi muncul akan menimbulkan distorsi. Begitu juga sebaliknya, ketika sebuah distorsi muncul akan menimbulkan kreasi.
Lampung Post, 4 Juni 2008


0 komentar:
Posting Komentar