Selasa, 30 Maret 2010
Bahasa Indonesia Versus Bahasa Asing
Pada saat ini, perhatian rakyat Indonesia terhadap bahasa negaranya mulai berkurang. Hal tersebut kemungkinan besar dikarenakan adanya anggapan bahwa bahasa Indonesia tidak mungkin bersaing dengan bahasa asing, misalnya dengan bahasa Inggris. Memang, anggapan tersebut tidaklah salah. Hal itu didasari oleh beberapa faktor (kelebihan) yang dimiliki bahasa Inggris sehingga ia dapat menjadi bahasa dunia.
Seperti yang dikemukakan oleh Nuril Huda, ada lima faktor yang menjadikan bahasa Inggris sebagai wahana komunikasi global, yaitu (1) memiliki bobot internal yang baik sekali; (2) penutur bahasa dalam jumlah besar, baik sebagai bahasa pertama, kedua, maupun bahasa asing (berjumlah lebih dari 1 miliar penutur); (3) penyebaran geografis bahasa Inggris paling besar; (4) dipakai secara luas dalam komunikasi ilmu, teknologi, seni-budaya, dan politik; serta (5) negara pemakainya mendominasi perekonomian, politik, dan budaya (“Kedudukan dan Fungsi Bahasa Asing”, Seminar Politik Bahasa, 2000:67—68).
Meskipun demikian, apakah bangsa ini akan terus-menerus menjadi tamu di rumahnya sendiri seperti tukang becak yang selalu menjamu para tamunya meskipun pada saat yang sama ia kehujanan dan kepanasan? Apakah bahasa Indonesia tidak mungkin menjadi bahasa internasional seperti bahasa-bahasa lain yang dikenal dunia?
Pada dasarnya, bahasa Indonesia sudah mempunyai bentuk yang mapan secara gramatika (tata bahasa) seperti bahasa Inggris. Lagi pula, jika dirunut perjalanan sejarahnya, bahasa Indonesia berpeluang besar menjadi bahasa internasional.
Buktinya, teks yang menggunakan bahasa Melayu (akar dari bahasa Indonesia) lebih tua, ditulis di atas batu di Sumatera (bertanggal 682), dibandingkan teks dari Beowulf ditulis dalam bahasa Inggris kuno pada abad ke-8 (James T. Collins, Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat, 2005:8).
Selain itu, bahasa Melayu telah menjadi bahasa pengantar dalam bidang perdagangan, politik, agama, dan budaya. Bahasa Melayu memegang peranan penting dalam setiap aktivitas masyarakat di kawasan Nusantara dan Semenanjung Melayu. Para pedagang Nusantara terlibat dalam perdagangan internasional seperti Cina, India, Filipina, Australia, dan bahkan sampai di Madagaskar, Afrika Selatan, dengan menggunakan bahasa Melayu (Sejarah Indonesia Modul 1—3, Moehadi, 1986:196).
Beberapa tahun setelah Belanda masuk ke Indonesia untuk menjajah, bahasa Belanda mulai menggeser kedudukan bahasa Indonesia. Pergeseran itu sebagai imbas dari kepentingan pemerintah Hindia Belanda yang membutuhkan pegawai rendahan yang cakap berbahasa Belanda di tanah jajahan. Akibatnya, Sekolah Boemiputra yang awalnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digantikan posisinya oleh bahasa Belanda. Akan tetapi, bahasa Indonesia tidak begitu saja ditinggalkan oleh masyarakatnya. Bahasa Indonesia berhasil mendapat simpatik dari masyarakat, dijadikan lambang perlawanan terhadap agresi militer Belanda, dan menempatkannya sebagai alat pemersatu untuk berjuang secara politik, ideologi, dan budaya.
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah Jepang berusaha untuk secepatnya menggerakkan seluruh bangsa Indonesia guna membantu Perang Asia Timur Raya. Untuk kepentingan itu, pemerintah Jepang membawa bahasa Indonesia sampai ke desa-desa (Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia, Alisjahbana, 1988:206).
Nah, sekarang tinggal rakyat Indonesia memilih dan menyikapi bahasa negaranya. Apakah kita akan terus-menerus menjadi rakus, memakan semua yang berbau asing tanpa mengunyahnya terlebih dahulu? Apakah kita mau mencontoh sikap para pendahulu yang mau menempatkan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa meskipun di bawah tekanan bangsa lain?
Seperti yang dikemukakan oleh Nuril Huda, ada lima faktor yang menjadikan bahasa Inggris sebagai wahana komunikasi global, yaitu (1) memiliki bobot internal yang baik sekali; (2) penutur bahasa dalam jumlah besar, baik sebagai bahasa pertama, kedua, maupun bahasa asing (berjumlah lebih dari 1 miliar penutur); (3) penyebaran geografis bahasa Inggris paling besar; (4) dipakai secara luas dalam komunikasi ilmu, teknologi, seni-budaya, dan politik; serta (5) negara pemakainya mendominasi perekonomian, politik, dan budaya (“Kedudukan dan Fungsi Bahasa Asing”, Seminar Politik Bahasa, 2000:67—68).
Meskipun demikian, apakah bangsa ini akan terus-menerus menjadi tamu di rumahnya sendiri seperti tukang becak yang selalu menjamu para tamunya meskipun pada saat yang sama ia kehujanan dan kepanasan? Apakah bahasa Indonesia tidak mungkin menjadi bahasa internasional seperti bahasa-bahasa lain yang dikenal dunia?
Pada dasarnya, bahasa Indonesia sudah mempunyai bentuk yang mapan secara gramatika (tata bahasa) seperti bahasa Inggris. Lagi pula, jika dirunut perjalanan sejarahnya, bahasa Indonesia berpeluang besar menjadi bahasa internasional.
Buktinya, teks yang menggunakan bahasa Melayu (akar dari bahasa Indonesia) lebih tua, ditulis di atas batu di Sumatera (bertanggal 682), dibandingkan teks dari Beowulf ditulis dalam bahasa Inggris kuno pada abad ke-8 (James T. Collins, Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat, 2005:8).
Selain itu, bahasa Melayu telah menjadi bahasa pengantar dalam bidang perdagangan, politik, agama, dan budaya. Bahasa Melayu memegang peranan penting dalam setiap aktivitas masyarakat di kawasan Nusantara dan Semenanjung Melayu. Para pedagang Nusantara terlibat dalam perdagangan internasional seperti Cina, India, Filipina, Australia, dan bahkan sampai di Madagaskar, Afrika Selatan, dengan menggunakan bahasa Melayu (Sejarah Indonesia Modul 1—3, Moehadi, 1986:196).
Beberapa tahun setelah Belanda masuk ke Indonesia untuk menjajah, bahasa Belanda mulai menggeser kedudukan bahasa Indonesia. Pergeseran itu sebagai imbas dari kepentingan pemerintah Hindia Belanda yang membutuhkan pegawai rendahan yang cakap berbahasa Belanda di tanah jajahan. Akibatnya, Sekolah Boemiputra yang awalnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digantikan posisinya oleh bahasa Belanda. Akan tetapi, bahasa Indonesia tidak begitu saja ditinggalkan oleh masyarakatnya. Bahasa Indonesia berhasil mendapat simpatik dari masyarakat, dijadikan lambang perlawanan terhadap agresi militer Belanda, dan menempatkannya sebagai alat pemersatu untuk berjuang secara politik, ideologi, dan budaya.
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah Jepang berusaha untuk secepatnya menggerakkan seluruh bangsa Indonesia guna membantu Perang Asia Timur Raya. Untuk kepentingan itu, pemerintah Jepang membawa bahasa Indonesia sampai ke desa-desa (Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia, Alisjahbana, 1988:206).
Nah, sekarang tinggal rakyat Indonesia memilih dan menyikapi bahasa negaranya. Apakah kita akan terus-menerus menjadi rakus, memakan semua yang berbau asing tanpa mengunyahnya terlebih dahulu? Apakah kita mau mencontoh sikap para pendahulu yang mau menempatkan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa meskipun di bawah tekanan bangsa lain?
Lampung Post, 20 Februari 2008


0 komentar:
Posting Komentar