Selasa, 30 Maret 2010
Menjelajahi Jejak Langkahmu*
Sebuah cerpen akan menjadi menarik jika gagasan atau idenya menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda dari penulis lain (unik), proposional struktur cerita dicermati, dan tentu saja, bahasa yang digunakan sebagai ujung tombak logika harus diperhatikan. Faktor-faktor itu terkadang kurang diindahkan oleh penulis pemula sebagai pondasi ketika mereka membangun sebuah cerita. Selain itu, banyak penulis pemula yang bercerita tentang hal-hal yang sama dan klise—kisah cinta remaja, anak yang baik menderita selama hidupnya, atau pun anak nakal yang akhirnya bertaubat—sehingga tak ada perbedaan gagasan (ide) yang mencolok satu sama lainnya.
Memangnya ada salah dengan tema-tema tersebut? Tidak ada yang salah. Hanya saja, cerpen-cerpen yang mereka tawarkan tidak jauh berbeda dengan sinetron-sinetron murahan yang tayang di televisi, tahapan bercerita dari pembuka (leading), konflik, leraian sampai penutup (ending) hampir serupa (monoton).
Apakah cerpen yang masuk ke bilik SMS (Sastra Milik Siswa) tidak ada yang menawarkan sesuatu yang baru meskipun mengangkat tema-tema yang sama? Ada. Dengan tema kisah cinta remaja (sama dengan cerita lain), cerpen berjudul "Jejak Langkahmu" yang ditulis oleh Rinda menawarkan sesuatu yang berbeda.
Perbedaan itu dapat dilihat dari proposional struktur cerita. Biasanya, penulis pemula suka berpanjang-panjang dalam menulis cerpennya—sibuk mendeskripsikan karakterisasi tokoh atau latar suatu peristiwa—seolah-olah pembaca tidak akan mengerti apa yang akan disampaikan atau sedang mereka ceritakan. Dalam cerpen ini justru sebaliknya, Rinda hanya fokus pada konflik—perselisihan Riska (tokoh utama) dengan kekasihnya, Arya, yang akan pergi mengelilingi pulau Jawa—sehingga ceritanya tidak bertele-tele.
Selain itu, konflik yang ditawarkan pada awal cerita membuat pembaca bersemangat untuk mengetahui akhir dari cerita ini. Mulai awal sampai akhir cerita, pembaca diajak bertualang ke alam imajinasinya masing-masing—hanya menemui kenyataan bahwa Arya yang keras kepala dan seperti tidak peduli itu ternyata sangat mencintai kekasihnya—tanpa pernah (benar-benar) tahu penyebab perselisihan antara tokoh Riska dan Arya. Pembaca hanya disodori kisi-kisi (clue) penyebab konflik yang terjadi antartokohnya. “Riska dengan segala kebenaran yang dimilikinya sedangkan Arya dengan semua keangkuhan dan harga diri seorang cowok.”
Meskipun pembaca tidak tahu penyebab perselisihan antartokohnya, akhir dari konflik (leraian) ini mudah ditebak muaranya. Pada awal cerita, simbol angka tiga belas—yang (terlalu) sering digunakan penulis pemula dalam cerpen-cerpennya untuk menggambarkan sesuatu yang menyedihkan akan terjadi—mengisyaratkan bahwa kepergian Arya akan berakhir dengan tragis. “Tanggal tiga belas aku akan memulai perjalananku keliling pulau Jawa” dan “Aku berangkat tanggal tiga belas!” tegas Arya. Perpisahan tragis antara Riska dan Arya juga tersirat melalui pendeskripsian perasaan Riska. “Mungkin perjalanan panjang ini merupakan awal dari perpisahan yang sebenarnya. Riska berkeringat, ia selalu berkeringat banyak ketika merasa panik. Inikah buntut dari pertengkaran mereka dua minggu lalu? Pertengkaran yang tidak berakhir jelas”.
Cerita ini akan lebih seru lagi jika Rinda menghilangkan beberapa bagian pada akhir cerita, sekadar menjaga kekonsistenan agar pembaca terus menerka akhir perjalanan Arya seperti yang ditawarkan pada konflik di awal cerita. Bagian yang seharusnya dieliminasi dimulai dari “Belum hilang keheranan Riska…” sampai “…Arya Daniel Dharmawan, namanya ada di daftar korban meninggal” dan bagian penutup “Riska sangat kehilangan Arya. Tetapi dia mencoba untuk merelakan kepergian kekasih hatinya itu. Kenangan indah bersama Arya, tak akan pernah dilupakan oleh Riska. Karena tak ada yang bisa menggantikan kedudukan Arya di hati Riska…”. Bila saja bagian tersebut tidak ada, cerpen ini akan sama menariknya dengan komik (cerita bergambar) Detektif Conan karya Aoyama Gosho atau cerpen-cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, sama-sama gemar mengajak pembacanya menebak-nebak akhir cerita tanpa takut pembaca kehilangan jejak ketika menjelajahi cerita yang mereka sodorkan.
Selain itu, ada beberapa bagian yang bisa dihilangkan atau diubah agar pembaca cerpen ini bertambah pengetahuannya. Setidaknya, pembaca tergugah untuk membuka halaman kuning (yellow pages) sekadar untuk mencari tahu kode-kode area yang ada dalam cerita ini. Berikut ini beberapa bagian yang seharusnya dihilangkan dan diubah. “Sekarang aku sudah ada di Bandung”, “Kamu di mana?” tanya Riska. “Ponorogo. Lihat kode areanya!” jawab Arya, “Tengoklah nomor yang ada di ponselmu”. Bagian “Ada bulan hampir purnama di langit Jogja, Ris”, diubah menjadi “Di sini bulan hampir purnama, Ris”.
Sayangnya, seperti pada umumnya penulis pemula, bahasa yang digunakan sebagai kekuatan utama dalam sebuah karya kurang diperhatikan. Bahasa-bahasa yang digunakan masih sekadar bahasa informasi—bahasa yang digunakan sehari-hari dalam proses komunikasi—dan nyaris tanpa metafora yang bisa dijadikan renungan bagi pembacanya. Berkawan dengan kamus, koran, buku-buku tentang kebahasaan dan cerpen/novel karya penulis andal mungkin bisa membantu Anda ketika sedang berkarya.
Menjadi beda dan menarik memang bukan pekerjaan mudah. Teruslah berkarya! Salam.
JEJAK LANGKAHMU
Oleh Rinda
SMAN 9 Bandarlampung
Ketika Arya menelepon untuk memberi tahu, Riska menanggapinya dengan dingin. “Tanggal tiga belas aku akan memulai perjalananku keliling Pulau Jawa.”
“Terserah! Hati-hati..”
Cuma itu reaksi Riska saat itu. Ia menganggap Arya hanya tengah menggertaknya. Riska tahu, Arya memang gemar bertualang. Melakukan perjalanan jauh, entah itu penjelajahan atau sekadar jalan-jalan ke kota yang menarik perhatiannya. Tapi rasanya tidak untuk kali ini. Memang, sekarang Arya tengah libur semester. Tapi ia sama sekali belum pernah mengutarakan rencana perjalanan keliling Pulau Jawa itu sebelumnya. Arya hanya ingin menggertak. Ia hanya ingin menciptakan panik. Setidaknya, begitulah pikiran Riska waktu itu.
“Kamu mau ikut?” jelas Arya.
“Jelas tidak! Kuliahmu yang libur. Tapi aku tidak!” Riska masih tetap menjawab dengan datar.
Ia sebal bukan main. Arya hanya berbasa-basi atau mendadak berubah sok pelupa! Libur SMA sudah berakhir. Sekarang adalah awal tahun ajaran baru yang membutuhkan konsentrasi penuh.
“Aku berangkat tanggal tiga belas!” tegas Arya.
“Terserah!” Riska menutup telepon setelah merasa sia-sia saja ia menunggu permintaan maaf Arya.
Baru seminggu kemudian, Riska percaya bahwa Arya tidak hanya menggertak atau sekadar membuatnya panik. Arya menelepon.
“Sekarang aku sudah ada di Bandung.”
Riska menengok layar ponselnya dan mendapatkan sederet angka yang diawali dengan kode area Bandung.
“Hati-hati”. Riska menyembunyikan dongkolnya. Ia merasa kurang bijaksana jika harus membebani langkah Arya dengan sikapnya yang kasar.
“Sebentar lagi bus malam yang membawaku ke Semarang akan berangkat. Ikuti terus langkahku, Ris. Maksudku… aku akan terus menghubungi kamu di setiap kota yang aku singgahi”, pinta Arya.
“Tunggu…! Kamu sama siapa?” Riska gagal menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit kekhawatirannya yang muncul.
“Sendiri. Bye, Riska.”
Riska tertegun dengan ponsel masih menempel di telinganya. Arya telah memutuskan pembicaraan. Mungkin ia ingin menghemat biaya telepon lewat wartel itu, atau memang sengaja tak ingin berdebat.
Manusia keras kepala itu benar-benar pergi, entah untuk berapa lama. Mungkin ia akan habiskan sebulan penuh masa libur kuliahnya untuk singgah di puluhan kota di pulau Jawa. Mungkin perjalanan panjang ini merupakan awal dari perpisahan yang sebenarnya. Riska berkeringat, ia selalu berkeringat banyak ketika merasa panik. Inikah buntut dari pertengkaran mereka dua minggu lalu? Pertengkaran yang tidak berakhir jelas.
Riska dengan segala kebenaran yang dimilikinya sedangkan Arya dengan semua keangkuhan dan harga diri seorang cowok! Kini, Arya tengah melangkahkan kakinya entah di mana. Riska menyisakan harapan, Arya akan pulang dengan hati yang berbeda. Ia punya banyak waktu sendirian di perjalanannya. Waktu dan suasana yang baik untuk merenung dan membuat keputusan yang baik. Sebuah akhir yang Riska inginkan adalah Arya pulang dan meminta maaf padanya. Lalu hubungan itu akan kembali seperti semula. Perjalanan panjang Arya, semoga membawa perubahan yang baik baginya. Sebuah kesadaran baru agar hubungan mereka ke depan lebih baik daripada sekarang.
Sederet nomor berawal + 62274 di layar ponsel Riska pada pukul 21.21 WIB.
“Aku lagi makan nasi gudeg di Malioboro.” Arya berkata dengan mulut dipenuhi makanan.
“Ada bulan hampir purnama di langit Jogja, Ris.”
Malam cerah yang dihabiskan sendiri-sendiri, batin Riska merana.
“Besok aku menuju Solo, lalu ke selatan,” terang Arya.
“Semoga kamu senang,” jawab Riska.
Arya terasa sekali tak ingin berpanjang-panjang kata karena Arya ingin menghemat biaya telepon.
“Tunggu teleponku yang berikutnya,” Arya berkata.
Riska menjerit kesal. Ia rindu… rindu kepada Arya. Ia ingin mengiba agar sekarang juga Arya pulang dan kembali padanya, tetapi ia ingat akan harga dirinya. Riska sudah tak tahan untuk berpisah dengan Arya.
Besok paginya, Riska kembali mendengar suara Arya dari Solo. Arya berkata cepat di telepon. Ia menelepon dari kamar hotel tengah berkemas hendak berangkat ke Ponorogo.
“Nanti aku hubungi ponsel kamu jam istirahat pertama, ya!” ujar Arya.
Riska diam ketika makan pagi sambil ditemani mamanya. Karena bingung melihat sikap anaknya, mamanya menghidupkan televisi. Pagi itu ada berita tentang kecelakaan lalu lintas di dekat kota Solo. Sebuah bus antarkota tertabrak kereta api ekonomi.
Pukul 06.45 WIB, Riska sudah tiba di sekolahnya. Ia baru saja ingin mematikan ponselnya karena ada peraturan sekolah yang mengharuskan siswanya untuk mematikan ponsel selama pelajaran berlangsung. Tetapi ponselnya bergetar.
+ 62352….
Riska mencoba menebak kode area itu sebelum mengangkatnya.
“Kamu di mana?” tanya Riska.
“Ponorogo. Lihat kode areanya!” jawab Arya.
“Secepat ini? Kamu naik apa? Setahuku jarak Solo ke Ponorogo… lebih dari seratus kilo!”
“Ngebut, Ris. Secepat kilat!”
“Nanti aku telepon lagi waktu istirahat kedua. Banyak yang ingin kuceritakan kepadamu. Tapi….”
“Tapi apa! Tapi kamu harus hemat ongkos telepon. Sudahlah, kamu nggak usah nelepon aku juga nggak apa-apa!” Riska berkata dengan marah.
Riska memutuskan hubungan. Tapi setelah itu ia merasa menyesal sekali. Jam istirahat pertama, perasaan Riska makin resah tak menentu. Ia sengaja duduk menghadapi sebotol aqua di sudut kantin. Badannya gemetar, seluruh tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Ia menunggu… menunggu telepon dari Arya. Dan ketika ponselnya berbunyi, Riska langsung menyambarnya dari atas meja.
“Sekarang kamu di mana?” tanya Riska.
Terdengar suara tawa lirih Arya.
“Kamu rindu padaku? Aku sedang di Surabaya.”
Riska memutuskan hubungan tanpa sengaja. Ia amat menyesal. Andai Arya punya ponsel atau tinggal di tempat yang ada nomor teleponnya, pasti ia sekarang akan menelepon balik Arya. Mendadak Riska merasa hatinya sangat hampa. Tak lama, air matanya mengalir deras, ia ingin Arya sekarang ada di sampingnya.
“Aku ada di Bandung.” Arya berkata.
Riska batal memprotes. Yang ia lakukan adalah mempercayai bahwa Arya sedang berada di Bandung.
“Aku lelah, Ris…. Aku ingin kita bertemu. Nanti malam aku sudah kembali ke Jakarta”, terang Arya.
“Kenapa tidak langsung pulang?” tanya Riska.
“Entahlah, aku bingung. Seakan-akan ada yang memanggilku di Jakarta sana”, jawab Arya.
“Seharusnya kamu….”
Riska meneliti ponselnya dan hubungan pun terputus. Riska kelimpungan, bingung tak tahu harus berbuat apa. Ia sangat rindu kepada Arya dan ia senang Arya akan kembali kepadanya dan berdiri di depannya sambil tersenyum menampilkan senyum malaikatnya.
Sekitar pukul 18.30 WIB, Arya menelepon Riska kembali. Riska nyaris jatuh dari tempat tidurnya ketika ponselnya berbunyi.
“I Love You … More Than You Ever Know”. suara Arya terdengar dalam desahan.
Riska masih ingat benar. Riska tak akan pernah lupa kalimat yang selalu diucapkan Arya. Hanya ia yang mempunyai kalimat seperti itu, yang ditunjukan kepadanya. Kalimat yang selalu diucapkan Arya hanya untuk dirinya seorang, tidak untuk orang lain.
“Apalagi yang hendak kau katakan? Sekarang kamu berada di mana?” tanya Riska.
“Aku ingin bicara padamu untuk yang terakhir kalinya. Waktuku sempit … sangat sempit. Sayang jika kubuang hanya untuk bercanda, menggoda dan membuatmu marah. Aku hanya ingin bilang betapa aku sangat mencintai dan menyayangi kamu. Kamu tahu bahwa sesungguhnya aku sangat takut kehilanganmu? Seharusnya aku langsung meminta maaf, saat aku membuatmu marah. Aku menyesal! Riska… kamu takut dengan perpisahan kita?”
Riska terdiam sambil menangis bahagia karena mendapatkan kekasih yang sangat setia, seperti Arya.
“Kamu di mana, Sayang? Bisakah kamu datang padaku saat ini juga?” pinta Riska.
Ada keheningan sejenak pada pembicaraan mereka.
“Aku datang untuk berpamitan. Semoga kamu tabah.” lanjut Arya dalam desahan.
“Apa maksudmu? Kamu ini ngomong apa?” tanya Riska yang mulai gelisah.
“Tengoklah nomor yang ada di ponselmu. Kamu akan tahu bahwa kita telah terpisah jauh. Tetaplah menjadi anak manis yang baik dan pintar, dan cobalah untuk bersikap sedikit dewasa. Sayang aku tak bisa melihatmu bersikap sedikit dewasa.”
Tiba-tiba, hubungan terputus. Dengan panik Riska meneliti ponselnya, dan ia mendapatkan nomor dengan kode 0000000001. Riska tak percaya. Belum hilang keheranan Riska, mamanya tiba-tiba masuk dengan tergesa-gesa.
“Berita sore, Ris. Arya kamu nama lengkapnya siapa? Arya Daniel Dharmawan, kan? Ia ada di Solo tadi pagi?”
“Iya, Ma. Tapi Arya sudah pulang. Barusan dia telepon dari….”
“Namanya ada di daftar korban kecelakaan kereta api dengan bus antarkota yang kita lihat dan dengar tadi pagi. Kecelakaan itu menewaskan seluruh penumpangnya. Arya Daniel Dharmawan, namanya ada di daftar korban meninggal.”
Ponsel itu terlepas dari tangan Riska dan jatuh ke lantai. Detik berikutnya, tubuh Riska terhuyung dan akhirnya jatuh juga. Riska tak sadarkan diri. Riska sangat kehilangan Arya. Tetapi dia mencoba untuk merelakan kepergian kekasih hatinya itu. Kenangan indah bersama Arya, tak akan pernah dilupakan oleh Riska. Karena tak ada yang bisa menggantikan kedudukan Arya di hati Riska. Selamat Jalan Kekasih Hatiku Tercinta.
Bandar Lampung, 20 Agustus 2006
00.00 wib
Memangnya ada salah dengan tema-tema tersebut? Tidak ada yang salah. Hanya saja, cerpen-cerpen yang mereka tawarkan tidak jauh berbeda dengan sinetron-sinetron murahan yang tayang di televisi, tahapan bercerita dari pembuka (leading), konflik, leraian sampai penutup (ending) hampir serupa (monoton).
Apakah cerpen yang masuk ke bilik SMS (Sastra Milik Siswa) tidak ada yang menawarkan sesuatu yang baru meskipun mengangkat tema-tema yang sama? Ada. Dengan tema kisah cinta remaja (sama dengan cerita lain), cerpen berjudul "Jejak Langkahmu" yang ditulis oleh Rinda menawarkan sesuatu yang berbeda.
Perbedaan itu dapat dilihat dari proposional struktur cerita. Biasanya, penulis pemula suka berpanjang-panjang dalam menulis cerpennya—sibuk mendeskripsikan karakterisasi tokoh atau latar suatu peristiwa—seolah-olah pembaca tidak akan mengerti apa yang akan disampaikan atau sedang mereka ceritakan. Dalam cerpen ini justru sebaliknya, Rinda hanya fokus pada konflik—perselisihan Riska (tokoh utama) dengan kekasihnya, Arya, yang akan pergi mengelilingi pulau Jawa—sehingga ceritanya tidak bertele-tele.
Selain itu, konflik yang ditawarkan pada awal cerita membuat pembaca bersemangat untuk mengetahui akhir dari cerita ini. Mulai awal sampai akhir cerita, pembaca diajak bertualang ke alam imajinasinya masing-masing—hanya menemui kenyataan bahwa Arya yang keras kepala dan seperti tidak peduli itu ternyata sangat mencintai kekasihnya—tanpa pernah (benar-benar) tahu penyebab perselisihan antara tokoh Riska dan Arya. Pembaca hanya disodori kisi-kisi (clue) penyebab konflik yang terjadi antartokohnya. “Riska dengan segala kebenaran yang dimilikinya sedangkan Arya dengan semua keangkuhan dan harga diri seorang cowok.”
Meskipun pembaca tidak tahu penyebab perselisihan antartokohnya, akhir dari konflik (leraian) ini mudah ditebak muaranya. Pada awal cerita, simbol angka tiga belas—yang (terlalu) sering digunakan penulis pemula dalam cerpen-cerpennya untuk menggambarkan sesuatu yang menyedihkan akan terjadi—mengisyaratkan bahwa kepergian Arya akan berakhir dengan tragis. “Tanggal tiga belas aku akan memulai perjalananku keliling pulau Jawa” dan “Aku berangkat tanggal tiga belas!” tegas Arya. Perpisahan tragis antara Riska dan Arya juga tersirat melalui pendeskripsian perasaan Riska. “Mungkin perjalanan panjang ini merupakan awal dari perpisahan yang sebenarnya. Riska berkeringat, ia selalu berkeringat banyak ketika merasa panik. Inikah buntut dari pertengkaran mereka dua minggu lalu? Pertengkaran yang tidak berakhir jelas”.
Cerita ini akan lebih seru lagi jika Rinda menghilangkan beberapa bagian pada akhir cerita, sekadar menjaga kekonsistenan agar pembaca terus menerka akhir perjalanan Arya seperti yang ditawarkan pada konflik di awal cerita. Bagian yang seharusnya dieliminasi dimulai dari “Belum hilang keheranan Riska…” sampai “…Arya Daniel Dharmawan, namanya ada di daftar korban meninggal” dan bagian penutup “Riska sangat kehilangan Arya. Tetapi dia mencoba untuk merelakan kepergian kekasih hatinya itu. Kenangan indah bersama Arya, tak akan pernah dilupakan oleh Riska. Karena tak ada yang bisa menggantikan kedudukan Arya di hati Riska…”. Bila saja bagian tersebut tidak ada, cerpen ini akan sama menariknya dengan komik (cerita bergambar) Detektif Conan karya Aoyama Gosho atau cerpen-cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, sama-sama gemar mengajak pembacanya menebak-nebak akhir cerita tanpa takut pembaca kehilangan jejak ketika menjelajahi cerita yang mereka sodorkan.
Selain itu, ada beberapa bagian yang bisa dihilangkan atau diubah agar pembaca cerpen ini bertambah pengetahuannya. Setidaknya, pembaca tergugah untuk membuka halaman kuning (yellow pages) sekadar untuk mencari tahu kode-kode area yang ada dalam cerita ini. Berikut ini beberapa bagian yang seharusnya dihilangkan dan diubah. “Sekarang aku sudah ada di Bandung”, “Kamu di mana?” tanya Riska. “Ponorogo. Lihat kode areanya!” jawab Arya, “Tengoklah nomor yang ada di ponselmu”. Bagian “Ada bulan hampir purnama di langit Jogja, Ris”, diubah menjadi “Di sini bulan hampir purnama, Ris”.
Sayangnya, seperti pada umumnya penulis pemula, bahasa yang digunakan sebagai kekuatan utama dalam sebuah karya kurang diperhatikan. Bahasa-bahasa yang digunakan masih sekadar bahasa informasi—bahasa yang digunakan sehari-hari dalam proses komunikasi—dan nyaris tanpa metafora yang bisa dijadikan renungan bagi pembacanya. Berkawan dengan kamus, koran, buku-buku tentang kebahasaan dan cerpen/novel karya penulis andal mungkin bisa membantu Anda ketika sedang berkarya.
Menjadi beda dan menarik memang bukan pekerjaan mudah. Teruslah berkarya! Salam.
*Ulasan Cerpen "Jejak Langkahmu"
JEJAK LANGKAHMU
Oleh Rinda
SMAN 9 Bandarlampung
Ketika Arya menelepon untuk memberi tahu, Riska menanggapinya dengan dingin. “Tanggal tiga belas aku akan memulai perjalananku keliling Pulau Jawa.”
“Terserah! Hati-hati..”
Cuma itu reaksi Riska saat itu. Ia menganggap Arya hanya tengah menggertaknya. Riska tahu, Arya memang gemar bertualang. Melakukan perjalanan jauh, entah itu penjelajahan atau sekadar jalan-jalan ke kota yang menarik perhatiannya. Tapi rasanya tidak untuk kali ini. Memang, sekarang Arya tengah libur semester. Tapi ia sama sekali belum pernah mengutarakan rencana perjalanan keliling Pulau Jawa itu sebelumnya. Arya hanya ingin menggertak. Ia hanya ingin menciptakan panik. Setidaknya, begitulah pikiran Riska waktu itu.
“Kamu mau ikut?” jelas Arya.
“Jelas tidak! Kuliahmu yang libur. Tapi aku tidak!” Riska masih tetap menjawab dengan datar.
Ia sebal bukan main. Arya hanya berbasa-basi atau mendadak berubah sok pelupa! Libur SMA sudah berakhir. Sekarang adalah awal tahun ajaran baru yang membutuhkan konsentrasi penuh.
“Aku berangkat tanggal tiga belas!” tegas Arya.
“Terserah!” Riska menutup telepon setelah merasa sia-sia saja ia menunggu permintaan maaf Arya.
Baru seminggu kemudian, Riska percaya bahwa Arya tidak hanya menggertak atau sekadar membuatnya panik. Arya menelepon.
“Sekarang aku sudah ada di Bandung.”
Riska menengok layar ponselnya dan mendapatkan sederet angka yang diawali dengan kode area Bandung.
“Hati-hati”. Riska menyembunyikan dongkolnya. Ia merasa kurang bijaksana jika harus membebani langkah Arya dengan sikapnya yang kasar.
“Sebentar lagi bus malam yang membawaku ke Semarang akan berangkat. Ikuti terus langkahku, Ris. Maksudku… aku akan terus menghubungi kamu di setiap kota yang aku singgahi”, pinta Arya.
“Tunggu…! Kamu sama siapa?” Riska gagal menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit kekhawatirannya yang muncul.
“Sendiri. Bye, Riska.”
Riska tertegun dengan ponsel masih menempel di telinganya. Arya telah memutuskan pembicaraan. Mungkin ia ingin menghemat biaya telepon lewat wartel itu, atau memang sengaja tak ingin berdebat.
Manusia keras kepala itu benar-benar pergi, entah untuk berapa lama. Mungkin ia akan habiskan sebulan penuh masa libur kuliahnya untuk singgah di puluhan kota di pulau Jawa. Mungkin perjalanan panjang ini merupakan awal dari perpisahan yang sebenarnya. Riska berkeringat, ia selalu berkeringat banyak ketika merasa panik. Inikah buntut dari pertengkaran mereka dua minggu lalu? Pertengkaran yang tidak berakhir jelas.
Riska dengan segala kebenaran yang dimilikinya sedangkan Arya dengan semua keangkuhan dan harga diri seorang cowok! Kini, Arya tengah melangkahkan kakinya entah di mana. Riska menyisakan harapan, Arya akan pulang dengan hati yang berbeda. Ia punya banyak waktu sendirian di perjalanannya. Waktu dan suasana yang baik untuk merenung dan membuat keputusan yang baik. Sebuah akhir yang Riska inginkan adalah Arya pulang dan meminta maaf padanya. Lalu hubungan itu akan kembali seperti semula. Perjalanan panjang Arya, semoga membawa perubahan yang baik baginya. Sebuah kesadaran baru agar hubungan mereka ke depan lebih baik daripada sekarang.
***
Sederet nomor berawal + 62274 di layar ponsel Riska pada pukul 21.21 WIB.
“Aku lagi makan nasi gudeg di Malioboro.” Arya berkata dengan mulut dipenuhi makanan.
“Ada bulan hampir purnama di langit Jogja, Ris.”
Malam cerah yang dihabiskan sendiri-sendiri, batin Riska merana.
“Besok aku menuju Solo, lalu ke selatan,” terang Arya.
“Semoga kamu senang,” jawab Riska.
Arya terasa sekali tak ingin berpanjang-panjang kata karena Arya ingin menghemat biaya telepon.
“Tunggu teleponku yang berikutnya,” Arya berkata.
Riska menjerit kesal. Ia rindu… rindu kepada Arya. Ia ingin mengiba agar sekarang juga Arya pulang dan kembali padanya, tetapi ia ingat akan harga dirinya. Riska sudah tak tahan untuk berpisah dengan Arya.
Besok paginya, Riska kembali mendengar suara Arya dari Solo. Arya berkata cepat di telepon. Ia menelepon dari kamar hotel tengah berkemas hendak berangkat ke Ponorogo.
“Nanti aku hubungi ponsel kamu jam istirahat pertama, ya!” ujar Arya.
Riska diam ketika makan pagi sambil ditemani mamanya. Karena bingung melihat sikap anaknya, mamanya menghidupkan televisi. Pagi itu ada berita tentang kecelakaan lalu lintas di dekat kota Solo. Sebuah bus antarkota tertabrak kereta api ekonomi.
Pukul 06.45 WIB, Riska sudah tiba di sekolahnya. Ia baru saja ingin mematikan ponselnya karena ada peraturan sekolah yang mengharuskan siswanya untuk mematikan ponsel selama pelajaran berlangsung. Tetapi ponselnya bergetar.
+ 62352….
Riska mencoba menebak kode area itu sebelum mengangkatnya.
“Kamu di mana?” tanya Riska.
“Ponorogo. Lihat kode areanya!” jawab Arya.
“Secepat ini? Kamu naik apa? Setahuku jarak Solo ke Ponorogo… lebih dari seratus kilo!”
“Ngebut, Ris. Secepat kilat!”
“Nanti aku telepon lagi waktu istirahat kedua. Banyak yang ingin kuceritakan kepadamu. Tapi….”
“Tapi apa! Tapi kamu harus hemat ongkos telepon. Sudahlah, kamu nggak usah nelepon aku juga nggak apa-apa!” Riska berkata dengan marah.
Riska memutuskan hubungan. Tapi setelah itu ia merasa menyesal sekali. Jam istirahat pertama, perasaan Riska makin resah tak menentu. Ia sengaja duduk menghadapi sebotol aqua di sudut kantin. Badannya gemetar, seluruh tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Ia menunggu… menunggu telepon dari Arya. Dan ketika ponselnya berbunyi, Riska langsung menyambarnya dari atas meja.
“Sekarang kamu di mana?” tanya Riska.
Terdengar suara tawa lirih Arya.
“Kamu rindu padaku? Aku sedang di Surabaya.”
Riska memutuskan hubungan tanpa sengaja. Ia amat menyesal. Andai Arya punya ponsel atau tinggal di tempat yang ada nomor teleponnya, pasti ia sekarang akan menelepon balik Arya. Mendadak Riska merasa hatinya sangat hampa. Tak lama, air matanya mengalir deras, ia ingin Arya sekarang ada di sampingnya.
***
“Aku ada di Bandung.” Arya berkata.
Riska batal memprotes. Yang ia lakukan adalah mempercayai bahwa Arya sedang berada di Bandung.
“Aku lelah, Ris…. Aku ingin kita bertemu. Nanti malam aku sudah kembali ke Jakarta”, terang Arya.
“Kenapa tidak langsung pulang?” tanya Riska.
“Entahlah, aku bingung. Seakan-akan ada yang memanggilku di Jakarta sana”, jawab Arya.
“Seharusnya kamu….”
Riska meneliti ponselnya dan hubungan pun terputus. Riska kelimpungan, bingung tak tahu harus berbuat apa. Ia sangat rindu kepada Arya dan ia senang Arya akan kembali kepadanya dan berdiri di depannya sambil tersenyum menampilkan senyum malaikatnya.
Sekitar pukul 18.30 WIB, Arya menelepon Riska kembali. Riska nyaris jatuh dari tempat tidurnya ketika ponselnya berbunyi.
“I Love You … More Than You Ever Know”. suara Arya terdengar dalam desahan.
Riska masih ingat benar. Riska tak akan pernah lupa kalimat yang selalu diucapkan Arya. Hanya ia yang mempunyai kalimat seperti itu, yang ditunjukan kepadanya. Kalimat yang selalu diucapkan Arya hanya untuk dirinya seorang, tidak untuk orang lain.
“Apalagi yang hendak kau katakan? Sekarang kamu berada di mana?” tanya Riska.
“Aku ingin bicara padamu untuk yang terakhir kalinya. Waktuku sempit … sangat sempit. Sayang jika kubuang hanya untuk bercanda, menggoda dan membuatmu marah. Aku hanya ingin bilang betapa aku sangat mencintai dan menyayangi kamu. Kamu tahu bahwa sesungguhnya aku sangat takut kehilanganmu? Seharusnya aku langsung meminta maaf, saat aku membuatmu marah. Aku menyesal! Riska… kamu takut dengan perpisahan kita?”
Riska terdiam sambil menangis bahagia karena mendapatkan kekasih yang sangat setia, seperti Arya.
“Kamu di mana, Sayang? Bisakah kamu datang padaku saat ini juga?” pinta Riska.
Ada keheningan sejenak pada pembicaraan mereka.
“Aku datang untuk berpamitan. Semoga kamu tabah.” lanjut Arya dalam desahan.
“Apa maksudmu? Kamu ini ngomong apa?” tanya Riska yang mulai gelisah.
“Tengoklah nomor yang ada di ponselmu. Kamu akan tahu bahwa kita telah terpisah jauh. Tetaplah menjadi anak manis yang baik dan pintar, dan cobalah untuk bersikap sedikit dewasa. Sayang aku tak bisa melihatmu bersikap sedikit dewasa.”
Tiba-tiba, hubungan terputus. Dengan panik Riska meneliti ponselnya, dan ia mendapatkan nomor dengan kode 0000000001. Riska tak percaya. Belum hilang keheranan Riska, mamanya tiba-tiba masuk dengan tergesa-gesa.
“Berita sore, Ris. Arya kamu nama lengkapnya siapa? Arya Daniel Dharmawan, kan? Ia ada di Solo tadi pagi?”
“Iya, Ma. Tapi Arya sudah pulang. Barusan dia telepon dari….”
“Namanya ada di daftar korban kecelakaan kereta api dengan bus antarkota yang kita lihat dan dengar tadi pagi. Kecelakaan itu menewaskan seluruh penumpangnya. Arya Daniel Dharmawan, namanya ada di daftar korban meninggal.”
Ponsel itu terlepas dari tangan Riska dan jatuh ke lantai. Detik berikutnya, tubuh Riska terhuyung dan akhirnya jatuh juga. Riska tak sadarkan diri. Riska sangat kehilangan Arya. Tetapi dia mencoba untuk merelakan kepergian kekasih hatinya itu. Kenangan indah bersama Arya, tak akan pernah dilupakan oleh Riska. Karena tak ada yang bisa menggantikan kedudukan Arya di hati Riska. Selamat Jalan Kekasih Hatiku Tercinta.
Bandar Lampung, 20 Agustus 2006
00.00 wib
Radar Lampung, 10 Juni 2007


0 komentar:
Posting Komentar