Bincang-bincang


ShoutMix chat widget

Pengikut

Lebih Dekat

Selasa, 30 Maret 2010

Dilarang Merubah!

Apa iya di zaman modern seperti sekarang ini masih ada orang yang bisa merubah? Kabarnya, ada segelintir orang yang mempunyai kemampuan untuk merubah agar wujud aslinya tidak terlihat dan bisa melarikan diri dari kejaran polisi. Dengan kata lain, per­ubahan wujudnya itu dipergunakan untuk tindak kejahatan.

Di daerah Gunungkidul, Yogyakarta, beberapa orang percaya bahwa Pak Dirman (baca: Jenderal Sudirman) bisa lolos dari kepungan balatentara Belanda karena kehebatan cambuknya yang mempunyai kekuatan magis. Begitu pula dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, konon berkat kesaktiannya, dapat hadir di enam tempat berbeda (Belanda dan lima kabupaten yang ada di Yogyakarta) dalam waktu yang bersamaan. Pertanyaannya, apakah kedua orang itu merubah?

Mene ketehe. Ungkapan ini biasa digunakan seseorang untuk menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui ja­waban dari sebuah pertanyaan atau suatu hal. Kembali ke pokok permasalahan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering dijumpai kata-kata, seperti membabi buta dan menyemut yang dimak­nai sebagai peralihan manusiawi ke bentuk dan sifat hewan, menjadi babi yang buta dan berlaku seperti semut.

Bagaimana dengan kalimat imbauan Dilarang mendi­rikan/meru­bah bangunan tanpa izin Pemda Dati II, apakah awalan me- pada kata merubah dalam kalimat tersebut juga bermakna menyerupai atau berlaku layaknya hewan, seperti pada kata membabi buta dan menyemut?

Secara harfiah, masyarakat mengerti maksud dan tu­juan pemerintah dalam kalimat imbauan tersebut. Kalimat itu dapat diartikan bahwa Pemda Dati II melarang seseorang untuk membangun atau mengubah bangunan tanpa izin. Jika yang dimaksud dengan merubah itu sama maknanya dengan menukar bentuk maupun menjadi lain seperti yang tercantum dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pada kata ubah, maka penggunaan kata merubah seharusnya diganti dengan mengubah.

Ketidaktepatan penggunaan kata merubah itu kemung­kinan diakibatkan oleh ketidakcermatan seseorang terhadap proses pembentukan kata yang menggunakan awalan me-. Selain itu, penggunaan awalan ber- dan imbuhan pe-/-an da­lam ragam lisan bisa juga menjadi pemicu ketidaktepatan itu. Dalam ragam lisan, kata ubah yang diberi imbuhan ber- dan per-/-an diucapkan be-ru-bah dan pe-ru-ba-han. Awalan ber- mempunyai variasi be- dan imbuhan per-/-an yang variasinya pe-/-an itulah yang mengacaukan dan menimbul­kan persepsi bahwa kata berubah dan perubahan itu kata da­sarnya rubah.

Pada umumnya, awalan me- yang dipadukan dengan kata dasar berhuruf awal vokal (a, i, o, e, dan u) berubah menjadi meng-. Penggunaannya pada kata ambil, injak, oceh, elak, dan umpat akan menjadi mengambil, menginjak, mengoceh, mengelak, dan mengumpat. Begitu pun dengan kata ubah jika ditambahkan awalan me- akan menjadi mengubah bukan merubah. Perubahan atau variasi lain (alomorf) dari awalan me- adalah men-, mem-, meny-, meng-, menge-, ataupun me- itu sendiri.

Sebenarnya, ketidakcermatan seperti itu tidak perlu terjadi jika seseorang yang dalam kesehariannya menggu­nakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi mempu­nyai sikap positif dalam berbahasa.

Dengan demikian, ketidakcermatan dalam penulisan kata dasar yang berimbuhan, seperti pada kata dikontrakan (kata dasar kontrak dengan imbuhan di-/-an) dalam kalimat Rumah ini dikontrakan seharusnya ditulis Rumah ini dikon­trakkan (dengan fonem k ganda pada kata dikontrakkan), tidak ditemui lagi di depan rumah seseorang yang disewakan.

Kaitannya dengan hal tersebut, imbuhan di-/-an tidak ditemukan dalam kaidah bahasa Indonesia, yang ada adalah imbuhan di-/-kan (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, 1998: 107).

Semoga rumah yang disewakan itu laku dan tidak se­orang pun yang benar-benar mengubah bentuk atau pun sifatnya seperti rubah, binatang jenis anjing bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dsb, Canis vulpes (KBBI, 2005: 965).

Lampung Post, 1 Agustus 2007

0 komentar: