Selasa, 30 Maret 2010
Becermin Pada Tukul
Sudah-sudah, kuping saya sakit mendengarnya. Pakai bahasa Indonesia saja,” pinta Shahnaz Haque setelah mendengar Tukul memberi warahan dalam bahasa Inggris pada sebuah acara salah satu stasiun televisi swasta. Setelah warahan dalam bahasa Inggris itu keluar tersendat-sendat dari mulut Tukul dengan lafal Jawanya yang kental, gelak tawa penonton tidak henti-hentinya terdengar.
Shahnaz bukan satu-satunya tamu yang merasakan penguasaan bahasa Inggris Tukul kurang baik. Hampir semua tamu yang diundangnya meledek. Mungkin sadar penguasaan bahasa Inggrisnya kurang baik, Tukul mencampur aduk bahasanya (Inggris, Jawa, dan Indonesia) untuk menutupi kelemahannya. Rupanya, Tukul pun sadar, seperti kesadaran sebagian besar rakyat Indonesia, bahwa belajar berbahasa asing merupakan salah satu cara menyikapi perkembangan zaman yang tidak mungkin terelakkan bagi masyarakat Indonesia dalam interaksinya dengan dunia. Interaksi global inilah yang menuntut penguasaan bahasa asing menjadi salah satu modal utama keunggulan berkompetisi.
Pencampuradukan bahasa seperti yang dilakukan Tukul itu lazim terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Yang pasti, pencampuradukan bahasa seperti itu mestinya tidak dilakukan dalam situasi formal.
Celakanya, entah mengekor ketenaran Tukul atau tidak, para pedagang sering bertingkah layaknya Tukul ketika mempromosikan barang dagangannya. Kata-kata seperti “Space Iklan”, “Daftarin dan Drop CD Lo ke Sign Up Center”, dan “Jangan Jadi Follower!” dengan mudah ditemukan di tempat-tempat umum, seperti kain rentang (spanduk) dan baliho.
Jika memang benar iklan, selain tampilannya harus menarik, juga harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami dalam sekelebatan mata, efektivitas penggunaan bahasa seperti itu tentu pantas dipertanyakan. Iklan akan efektif bila gagasan yang disampaikan jelas dan memenuhi syarat-syarat gramatikal sehingga mencapai sasaran dengan baik. Ya, setidaknya iklan yang disodorkan ke masyarakat itu mendidik dan tidak menyesatkan.
Beberapa iklan produk lain yang berslogan dengan (hanya) menggunakan bahasa Indonesia membuktikan hal itu. Coba tengok iklan, “Pria Punya Selera”, “Ayam Desa Masuk Kota”, atau “Yang Seharusnya Gampang, Kenapa Dibuat Susah”. Iklan-iklan tersebut lebih berterima ketimbang yang campur-campur. Pangsa pasar yang dirangkulnya pun lebih luas. Iklan-iklan yang mencampur aduk bahasa hanya dipahami kelas atas atau yang mengerti bahasa Inggris.
Kebebasan Berekpresi?
Dengan tidak mencampur-campur bahasa dalam mengiklankan produknya, apakah kebebasan berekspresi para produsen terbelenggu? Apa mereka (baca: tim kreatif produsen suatu produk) mempunyai inteligensi kebahasaan yang terbatas sehingga dalam pembuatan iklan mengalami kesulitan menginterpretasikan idenya ke salah satu bahasa yang berterima bagi khalayak ramai? Atau, seperti halnya Tukul, iklan yang mereka buat sekadar kelakar? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang terdengar mengada-ada, tapi apakah serta-merta dengan bahasa yang campur-campur itu membanggakan?
Apakah model es campur yang berisi bermacam-macam buah menjadi satu sajian yang bisa dinikmati pada siang hari yang panas, juga dapat dijadikan anutan dalam berbahasa? Meskipun bahasa mempunyai sifat manasuka, lalu apakah kawin silang bahasa tersebut dapat disepakati menjadi satu spesies bahasa yang berterima?
Memang, apa yang dilakukan Tukul ketika berbahasa Inggris tidak patut ditiru, tetapi Tukul juga perlu diacungi jempol. Setiap kali dia dicemooh karena bahasa Inggris yang keluar dari mulutnya terdengar aneh, Tukul dengan cepat beralih menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, sebenarnya Tukul dapat dikatakan termasuk pelawak yang berbahasa Indonesia dengan baik.
Jangan-jangan Tukul sedang merefleksikan kebanyakan orang Indonesia, yang lebih bangga berbahasa asing daripada bahasa negaranya, sekaligus sedang berharap agar mereka becermin pada dirinya.
Shahnaz bukan satu-satunya tamu yang merasakan penguasaan bahasa Inggris Tukul kurang baik. Hampir semua tamu yang diundangnya meledek. Mungkin sadar penguasaan bahasa Inggrisnya kurang baik, Tukul mencampur aduk bahasanya (Inggris, Jawa, dan Indonesia) untuk menutupi kelemahannya. Rupanya, Tukul pun sadar, seperti kesadaran sebagian besar rakyat Indonesia, bahwa belajar berbahasa asing merupakan salah satu cara menyikapi perkembangan zaman yang tidak mungkin terelakkan bagi masyarakat Indonesia dalam interaksinya dengan dunia. Interaksi global inilah yang menuntut penguasaan bahasa asing menjadi salah satu modal utama keunggulan berkompetisi.
Pencampuradukan bahasa seperti yang dilakukan Tukul itu lazim terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Yang pasti, pencampuradukan bahasa seperti itu mestinya tidak dilakukan dalam situasi formal.
Celakanya, entah mengekor ketenaran Tukul atau tidak, para pedagang sering bertingkah layaknya Tukul ketika mempromosikan barang dagangannya. Kata-kata seperti “Space Iklan”, “Daftarin dan Drop CD Lo ke Sign Up Center”, dan “Jangan Jadi Follower!” dengan mudah ditemukan di tempat-tempat umum, seperti kain rentang (spanduk) dan baliho.
Jika memang benar iklan, selain tampilannya harus menarik, juga harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami dalam sekelebatan mata, efektivitas penggunaan bahasa seperti itu tentu pantas dipertanyakan. Iklan akan efektif bila gagasan yang disampaikan jelas dan memenuhi syarat-syarat gramatikal sehingga mencapai sasaran dengan baik. Ya, setidaknya iklan yang disodorkan ke masyarakat itu mendidik dan tidak menyesatkan.
Beberapa iklan produk lain yang berslogan dengan (hanya) menggunakan bahasa Indonesia membuktikan hal itu. Coba tengok iklan, “Pria Punya Selera”, “Ayam Desa Masuk Kota”, atau “Yang Seharusnya Gampang, Kenapa Dibuat Susah”. Iklan-iklan tersebut lebih berterima ketimbang yang campur-campur. Pangsa pasar yang dirangkulnya pun lebih luas. Iklan-iklan yang mencampur aduk bahasa hanya dipahami kelas atas atau yang mengerti bahasa Inggris.
Kebebasan Berekpresi?
Dengan tidak mencampur-campur bahasa dalam mengiklankan produknya, apakah kebebasan berekspresi para produsen terbelenggu? Apa mereka (baca: tim kreatif produsen suatu produk) mempunyai inteligensi kebahasaan yang terbatas sehingga dalam pembuatan iklan mengalami kesulitan menginterpretasikan idenya ke salah satu bahasa yang berterima bagi khalayak ramai? Atau, seperti halnya Tukul, iklan yang mereka buat sekadar kelakar? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang terdengar mengada-ada, tapi apakah serta-merta dengan bahasa yang campur-campur itu membanggakan?
Apakah model es campur yang berisi bermacam-macam buah menjadi satu sajian yang bisa dinikmati pada siang hari yang panas, juga dapat dijadikan anutan dalam berbahasa? Meskipun bahasa mempunyai sifat manasuka, lalu apakah kawin silang bahasa tersebut dapat disepakati menjadi satu spesies bahasa yang berterima?
Memang, apa yang dilakukan Tukul ketika berbahasa Inggris tidak patut ditiru, tetapi Tukul juga perlu diacungi jempol. Setiap kali dia dicemooh karena bahasa Inggris yang keluar dari mulutnya terdengar aneh, Tukul dengan cepat beralih menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, sebenarnya Tukul dapat dikatakan termasuk pelawak yang berbahasa Indonesia dengan baik.
Jangan-jangan Tukul sedang merefleksikan kebanyakan orang Indonesia, yang lebih bangga berbahasa asing daripada bahasa negaranya, sekaligus sedang berharap agar mereka becermin pada dirinya.
Lampung Post, 5 Juni 2007

0 komentar:
Posting Komentar