Bincang-bincang


ShoutMix chat widget

Pengikut

Lebih Dekat

Selasa, 30 Maret 2010

Kalau Boros, Kenapa Menabung?

Ada saja cara para produsen memikat anak-anak agar mau membeli barang yang mereka tawarkan. Bu­jukan yang dilakukan mulai membungkus produk mereka dengan kemasan yang menarik, menyertakan gambar-gambar kartun idola yang sedang tayang di televisi sampai iming-iming hadiah yang dapat ditemukan dalam kemasan. Lalu, bagaimana antisipasi orang tua agar anak mereka tidak termakan rayuan, alih-alih agar pengeluaran mereka tidak membengkak?

“Hemat pangkal kaya.” Itulah senjata ampuh yang kerap diujarkan oleh orang tua untuk membujuk. Hal ter­sebut dilakukan dengan harapan anak mereka tidak menjadi konsumtif dan mau menyisihkan uang jajan mereka untuk ditabung.

Tidak hanya itu, orang tua yang cerdik terkadang juga menyertakan berbagai jenis tabungan (baca: celengan) yang terbuat dari tanah liat berbentuk hewan atau kaleng yang ditempeli dengan gambar tokoh pahlawan (superhero) yang sedang menjadi idola agar anak mereka terbujuk dan mau menabung.

Sekarang ini, media untuk menabung tidak hanya celengan. Seseorang bisa menabung ke perusahaan yang melayani untuk urusan tabung-menabung atau yang dikenal oleh masyarakat seluruh dunia dengan nama bank.

Lagi pula, bagaimana mungkin menabung hingga ju­taan rupiah dalam sebuah celengan. Selain itu, bank-bank yang ada di tengah masyarakat pada sekarang ini tidak hanya menyediakan tempat untuk menabung, tetapi juga memberi pelayanan ekstra, seperti jaminan keamanan, asu­ransi, pinjaman, investasi jangka panjang, sampai urusan kirim-mengirim uang.

Nah, bagaimana jika bank yang seharusnya menjadi tempat untuk berhemat itu boros? Coba perhatikan papan nama dan kain rentang ucapan menuaikan ibadah puasa yang dipasang oleh bank bersangkutan di tepi jalan. Pada dua media itu tercantum kata bank di depan singkatan Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Tabungan Ne­gara, Bank Umum Koperasi Indonesia, dan Bank Tabungan Pen­siun Negara (Maaf, ini bukan promosi atau ingin meren­dahkan kualitas pelayanan dari bank yang bersangkutan). Betapa borosnya kata bank itu, bukan? Padahal, masyarakat pun mengerti kalau BRI, BNI, BTN, Bukopin, dan BTPN itu adalah bank. Memang, pemborosan kata itu tidak ditemui di semua tempat. Alhasil, hal itu membuktikan bahwa direktur bank-bank tersebut tidak kompak dan tidak konsisten.

Kemungkinan penyebutan kembali kata bank itu dipe­ngaruhi oleh bank-bank lain yang tidak menyingkat nama mereka tetapi berdiri sendiri alias Bank Mandiri (padahal, gabungan dari berbagai bank yang disarankan untuk merger daripada dilikuidasi atau dinyatakan pailit oleh Bank Indo­nesia), Bank Eka, Bank Niaga, dan Bank Indonesia. Bank yang disebutkan terahkir jelas-jelas tidak boleh boros karena uang yang dikelola milik seluruh rakyat Indonesia.

Sebaiknya, bank-bank yang penamaannya boros itu mencontoh bank yang penyebutannya hampir bermiripan, seperti BCA yang secara konsisten enggan menyematkan kata bank di depan singkatan Bank Central Asia.

Kasus-kasus pemborosan semacam itu juga ditemui pada penyebutan hari Jumat, bulan Juli, tahun 2007. Pada umumnya semua orang akan mengerti kalau Jumat adalah hari, Juli adalah bulan, dan 2007 adalah tahun, jadi penye­butan kembali kata hari, bulan, dan tahun untuk penegasan pada contoh tersebut tidak perlu dilakukan.

Hal yang bermiripan terlihat juga pada penyebutan kepala sekolah SD. Jika dijabarkan singkatan SD pada frasa tersebut menjadi kepala sekolah sekolah dasar. Mengapa tidak langsung saja menyebutnya dengan kepala sekolah dasar?

Ketidakefisienan penggunaan kata pada ketiga contoh itu disebabkan kehadiran kata yang tidak diperlukan (ber­lebihan). Padahal, jika salah satu kata seperti pada contoh di atas dihilangkan, informasi yang ingin disampaikan tidak berkurang maksud dan tujuannya. Menjadi hemat itu baik, tetapi menjadi tidak pelit itu lebih baik.

Lampung Post, 31 Oktober 2007

0 komentar: