Selasa, 30 Maret 2010
Antara Vredeburg dan Bahasa
Benteng Vredeburg yang terletak di depan Gedung Agung, Yogyakarta, merupakan salah satu peninggalan Belanda yang sampai saat ini masih berdiri megah. Benteng tersebut mengingatkan kembali betapa puasnya Belanda berkuasa selama 350 tahun di negeri ini. Momentum sejarah yang dapat dijadikan kontemplasi betapa malunya bangsa ini ditindas oleh bangsa lain.Apakah bangsa ini sudah benar-benar merdeka? Secara konstitusional memang bangsa ini sudah merdeka. Akan tetapi, semua ranah kehidupan di negeri ini, termasuk bahasa dan budaya yang notabene menjadi pembeda dengan bangsa lain, terus di-obok-obok oleh bangsa lain.
Tempe yang dilisensikan menjadi makanan khas oleh Jepang, Reog Ponorogo yang dialihnamakan menjadi tari Barong serta lagu Rasa Sayange yang dijadikan ikon pariwisata oleh Malaysia merupakan sebagian contoh betapa lalainya bangsa ini.
Menggelikan bukan? Pencurinya tetangga sendiri. Lebih menggelikan lagi, masyarakat Indonesia yang sebelumnya abai dengan budayanya menjadi berang mengetahui miliknya dicaplok orang lain.
Lalu, bagaimana dengan nasib bahasa Indonesia? Meskipun tidak akan punah seperti halnya Benteng Vredeburg karena diatur dalam undang-undang dan penuturnya lebih dari satu juta orang, bahasa Indonesia mulai dinomorduakan oleh masyarakatnya sendiri. Bagaimana tidak? Untuk menyingkat televisi saja, masyarakat dengan tidak malu menyebutnya tivi.
Harusnya, masyarakat mencontoh Hamsad Rangkuti, seorang sastrawan yang jelas-jelas mempunyai lisensi untuk menomorduakan kaidah bahasa, sampai-sampai menuliskan kata tersebut dengan huruf bercetak miring. Itu artinya, Om Hamsad, panggilan akrab Hamsad Rangkuti, sadar kalau yang ia pakai itu bukan bahasanya (lihat kumpulan cerpennya yang berjudul Bibir dalam Pispot, 2004: 142). Luar Biasa. Lagi pula, apakah sulit menyebut layar kaca itu dengan teve karena kata itu terdiri dari huruf t (te) dan v (ve)?
Lalu, berapa banyak orang yang sadar kalau yang tepat itu imbauan bukan himbauan? Memangnya ada kata panutan? Bukankah kita lebih akrab dengan kata menganut yang berubah secara morfologis dari kata dasar anut?
Kejahatan terjadi bukan karena niat, melainkan karena ada kesempatan, maka waspadalah. Sebenarnya, kondisi kritis seperti beberapa contoh di atas tidak perlu terjadi. Andai saja kesadaran masyarakat untuk menjaga aset budaya dan bahasa telah terpupuk sejak lama, rasa-rasanya pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri tidak perlu repot-repot menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 yang isinya mengenai pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa serta sastra daerah.
Mungkin, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan juga akan melakukan hal yang sama untuk menjaga budaya Indonesia agar tidak lagi dicomot oleh bangsa lain, seperti yang dilakukan negara tetangga. Ya, hitung-hitung untuk menyejukkan suhu yang mulai panas dan membuat gerah.
Sayangnya, bahasa dan budaya bukan benda mati, seperti Benteng Vredeburg yang mudah dipugar ketika mulai reot dan usang, melainkan benda hidup yang akan punah jika manusia, si pemakai dan penutur, tidak mau menggunakan dan melestarikannya.
Pertanyaan remeh terakhir, apakah ingin bahasa dan budaya yang ada di Indonesia lambat laun menuju kepunahan layaknya beruang es yang mulai bermatian karena pemanasan global?
Lampung Post, 9 Januari 2008

0 komentar:
Posting Komentar