Bincang-bincang


ShoutMix chat widget

Pengikut

Lebih Dekat

Selasa, 30 Maret 2010

Indonesia Terbagi-bagi

“Untung” hanya satu provinsi yang nekat me­misahkan diri. Bagaimana jika semua provinsi berulah sama? Lalu, bagian manakah yang akan disebut Indonesia? Apakah Sumatera, Jawa, Bali, Kali­mantan, Sulawesi atau Papua?

Untung saja rubrik ini membahas tentang bahasa bu­kan politik, tergolong teritorial yang “adem”, tidak butuh taktik, apalagi logistik, yang penting utak-atik (Om Heri Wardoyo, aku pinjam ungkapanmu, ya).

Ancaman disintegrasi bangsa tidak saja merongrong bangsa ini secara politik, seperti yang dilakukan oleh Timor-Timur, tetapi juga secara kebahasaan. Beberapa tahun yang lalu, salah satu stasiun televisi nasional menampilkan waktu tayang, misalnya pukul 12.15 BBWI, pada pojok kiri bawah ketika menayangkan berita.

Memang, informasi tentang waktu penanyangan di­perlukan masyarakat. Akan tetapi, bagaimana jika informasi itu berkesan asal dan menyesatkan? Penulisan BBWI, alih-alih Bagian Barat Wilayah Indonesia, dapat ditafsirkan bahwa waktu penayangan berita itu berada di luar wilayah Indo­nesia karena kelompok kata bagian barat diterangkan oleh kelompok kata wilayah Indonesia. Padahal, penayangan berita itu dilakukan di wilayah Indonesia.

Lagi pula, pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1987 telah menetapkan bahwa wilayah waktu di Indonesia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Waktu Indonesia Barat (WIB), Waktu Indonesia Tengah (Wita), dan Waktu Indonesia Timur (WIT).

Lucunya, ketentuan pemerintah itu lagi-lagi dilanggar. Beberapa hari yang lalu, salah satu stasiun televisi swasta menuliskan berita wafatnya Pak Harto dengan kalimat “Pak Harto meninggal dunia pukul 13.10 WWIB di Rumah Sakit Pertamina.” Walaupun penulisan WWIB (Wilayah Waktu Indonesia Barat) itu tidak akan menimbulkan salah tafsir, pe­nulisan itu tidak mengikuti ketentuan yang berlaku.

Persoalan wilayah juga terjadi di Lampung. Masih banyak papan nama, penunjuk jalan, dan angkot (angkutan perkotaan) yang bertuliskan Teluk Betung, Bandar Lampung, dan Tanjung Karang. Penulisan nama teritorial yang dipisah seperti itu dapat menimbulkan asumsi bahwa Teluk Betung, misalnya, dua wilayah yang berbeda, Teluk dan Betung.

Seharusnya, nama geografi daerah tersebut mencontoh “Negeri Seribu Bambu” alias Pringsewu (maaf, ini bukannya ingin mengejek, tetapi hanya menjaga agar suhu tetap “adem”) yang letaknya agak jauh dari ibu kota provinsi (Lampung) saja sudah bersatu. Jika ditelusuri asal katanya, nama Pringsewu berasal dari bahasa Jawa, terdiri dari dua kata, yaitu pring yang berarti bambu dan sewu yang berarti seribu.

Pada kenyataannya, Teluk Betung merupakan satu wi­layah, seperti halnya Bandar Lampung, dan Tanjung Karang, terdiri dari dua kata dan mempunyai dua makna yang ber­beda, seperti Pringsewu. Kenapa tidak sama? Dengan demi­kian, dapat disimpulkan bahwa ada ketidakkonsistenan un­tuk penamaan daerah-daerah yang ada di Lampung, ada yang digabung dan tidak.

Berkenanan dengan hal itu, Pusat Bahasa dan Bakor­surtanal telah menetapkan pembakuan nama geografi, khu­susnya nama kota/wilayah di Indonesia. Pada prinsipnya, nama geografi ditulis satu kata atau serangkai, seperti Jayawijaya, kecuali (1) yang terdiri atas tiga unsur atau lebih, seperti Ogan Komering Ulu, (2) yang berupa arah mata angin, seperti Kalimantan Timur.

Jika ingin mengikuti ketentuan yang berlaku, maka Bandar Lampung diubah menjadi Bandarlampung, Tanjung Karang menjadi Tanjungkarang, Teluk Betung menjadi Te­lukbetung, Teluk Betung Utara menjadi Telukbetung Utara, dan seterusnya.

Ingatlah dua hal bahwa berpisah itu tidak mengenak­kan dan taat aturan itu tidak merugikan. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Salam

Lampung Post, 30 Januari 2008

0 komentar: