Selasa, 30 Maret 2010
Gaullah Biar Gak Katro!
Tukul, ternyata tidak hanya pandai menghibur dengan menggunakan bahasa tubuhnya, tetapi ia juga pandai menghibur dengan menggunakan bahasa tuturnya. Setiap kali ia meledek seseorang dengan kata katro, simsalabim, semua orang yang menontonnya secara otomatis tersenyum atau bahkan terpingkal-pingkal mendengarnya.
Entah siapa yang menciptakan, kata katro sudah dipakai masyarakat Jakarta sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Yang pasti, bukan Tukul yang menciptakannya. Hanya saja, pamor katro ikut menanjak seiring dengan ketenaran Tukul, tidak hanya masyarakat Jakarta, tetapi juga dikenal (digunakan) sebagian besar masyarakat Indonesia.
Selain katro, saat ini kita akrab dengan kata bokap, bokin, lekong, lesbong, dan dagadu. Dulu, kita tidak mungkin mengenalnya karena kata-kata tersebut sengaja diciptakan komunitas atau kalangan tertentu agar apa yang sedang mereka bicarakan tidak diketahui orang lain di luar komunitas atau kalangannya (rahasia).
Berbeda dengan kata jayus, nek, dan bo, oleh sebagian orang disebut bahasa gaul (mengacu pada kamus yang dibuat Debby Sahertian), yang tidak jelas pembentukannya, kata bokap, bokin, lekong, lesbong, dan dagadu dibuat dengan bentuk yang jelas alias memiliki pola.
Pola menyisipkan -ok- sebelum vokal awal dan menghilangkan vokal kedua berikut huruf setelahnya pada sebuah kata, seperti b(ok)ap(ak) dari kata bapak, b(ok)in(i) dari kata bini, diciptakan oleh komunitas preman (bahasa prokem).
Pola mengganti vokal awal (kecuali e) dengan e dan mengganti vokal akhir dengan ong, seperti l(e)k(ong) dari kata laki, l(e)sb(ong) dari kata lesbi, diciptakan oleh komunitas banci (bahasa bencong).
Pola dengan menukar konsonan pada susunan huruf aksara jawa (ha, na, ca, ra, ka (baris pertama), da, ta, sa, wa, la (baris kedua), pa, dha, ja, ya, nya (baris ketiga) ma, ga, ba, tha, nga, (baris keempat)), diciptakan oleh kalangan mahasiswa di Yogyakarta (basa walikan).
Kata dagadu yang berasal dari kata matamu merupakan hasil penukaran konsonan m dengan d, sedangkan konsonan t dengan g. Pola pada basa walikan dilakukan dengan menukar baris aksara ganjil dengan ganjil, baris aksara genap dengan genap, untuk masing-masing konsonan. Sementara, vokalnya tidak berubah. Pola ini pun berlaku pada kata dab yang berasal dari kata mas.
Bahasa prokem, bencong, dan basa walikan yang frekuensi pemakaiannya meningkat itu kemudian oleh sebagian orang diklaim sebagai bahasa gaul. Padahal jika dirunut kemunculannya, kata gaul yang juga membentuk frase anak gaul dan mobil gaul muncul lebih dulu dibandingkan bahasa gaul.
Bahasa gaul juga tidak lebih dulu muncul dibandingkan bahasa bencong yang sudah dipakai sejak Si Emon menemani Mas Boy membuat catatan atau bahasa prokem yang sudah dipakai sejak zaman Lupus mengunyah permen karet atau basa walikan yang aksaranya saja lahir lebih dulu dibandingkan Patih Gajah Mada. Hanya saja, basa walikan mulai tenar ketika salah satu produsen cinderamata asal Yogyakarta menggunakan pada produk-produknya.
Andai orang-orang menyebut bahasa prokem, bencong, dan basa walikan itu bukan sebagai bahasa gaul, melainkan bahasa tidak baku yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari, mungkin kita tidak perlu mengernyitkan dahi atau memicingkan mata ketika memikirkannya. Repot juga jika kata (ka)gak, dapetin, di mane diklaim sebagai bahasa gaul. Bukankah kata-kata dalam bahasa Indonesia itu hanya terpengaruh dialek Betawi?
Ya, begitulah bahasa, fenomena alam yang tidak mungkin terlepas dari kehidupan manusia. Perkembangannya pun mengikuti zaman. Mungkin, kita pun akan menjadi orang yang katro kalau telat mengikutinya. Oleh sebab itu, gaullah biar gak katro!
Entah siapa yang menciptakan, kata katro sudah dipakai masyarakat Jakarta sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Yang pasti, bukan Tukul yang menciptakannya. Hanya saja, pamor katro ikut menanjak seiring dengan ketenaran Tukul, tidak hanya masyarakat Jakarta, tetapi juga dikenal (digunakan) sebagian besar masyarakat Indonesia.
Selain katro, saat ini kita akrab dengan kata bokap, bokin, lekong, lesbong, dan dagadu. Dulu, kita tidak mungkin mengenalnya karena kata-kata tersebut sengaja diciptakan komunitas atau kalangan tertentu agar apa yang sedang mereka bicarakan tidak diketahui orang lain di luar komunitas atau kalangannya (rahasia).
Berbeda dengan kata jayus, nek, dan bo, oleh sebagian orang disebut bahasa gaul (mengacu pada kamus yang dibuat Debby Sahertian), yang tidak jelas pembentukannya, kata bokap, bokin, lekong, lesbong, dan dagadu dibuat dengan bentuk yang jelas alias memiliki pola.
Pola menyisipkan -ok- sebelum vokal awal dan menghilangkan vokal kedua berikut huruf setelahnya pada sebuah kata, seperti b(ok)ap(ak) dari kata bapak, b(ok)in(i) dari kata bini, diciptakan oleh komunitas preman (bahasa prokem).
Pola mengganti vokal awal (kecuali e) dengan e dan mengganti vokal akhir dengan ong, seperti l(e)k(ong) dari kata laki, l(e)sb(ong) dari kata lesbi, diciptakan oleh komunitas banci (bahasa bencong).
Pola dengan menukar konsonan pada susunan huruf aksara jawa (ha, na, ca, ra, ka (baris pertama), da, ta, sa, wa, la (baris kedua), pa, dha, ja, ya, nya (baris ketiga) ma, ga, ba, tha, nga, (baris keempat)), diciptakan oleh kalangan mahasiswa di Yogyakarta (basa walikan).
Kata dagadu yang berasal dari kata matamu merupakan hasil penukaran konsonan m dengan d, sedangkan konsonan t dengan g. Pola pada basa walikan dilakukan dengan menukar baris aksara ganjil dengan ganjil, baris aksara genap dengan genap, untuk masing-masing konsonan. Sementara, vokalnya tidak berubah. Pola ini pun berlaku pada kata dab yang berasal dari kata mas.
Bahasa prokem, bencong, dan basa walikan yang frekuensi pemakaiannya meningkat itu kemudian oleh sebagian orang diklaim sebagai bahasa gaul. Padahal jika dirunut kemunculannya, kata gaul yang juga membentuk frase anak gaul dan mobil gaul muncul lebih dulu dibandingkan bahasa gaul.
Bahasa gaul juga tidak lebih dulu muncul dibandingkan bahasa bencong yang sudah dipakai sejak Si Emon menemani Mas Boy membuat catatan atau bahasa prokem yang sudah dipakai sejak zaman Lupus mengunyah permen karet atau basa walikan yang aksaranya saja lahir lebih dulu dibandingkan Patih Gajah Mada. Hanya saja, basa walikan mulai tenar ketika salah satu produsen cinderamata asal Yogyakarta menggunakan pada produk-produknya.
Andai orang-orang menyebut bahasa prokem, bencong, dan basa walikan itu bukan sebagai bahasa gaul, melainkan bahasa tidak baku yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari, mungkin kita tidak perlu mengernyitkan dahi atau memicingkan mata ketika memikirkannya. Repot juga jika kata (ka)gak, dapetin, di mane diklaim sebagai bahasa gaul. Bukankah kata-kata dalam bahasa Indonesia itu hanya terpengaruh dialek Betawi?
Ya, begitulah bahasa, fenomena alam yang tidak mungkin terlepas dari kehidupan manusia. Perkembangannya pun mengikuti zaman. Mungkin, kita pun akan menjadi orang yang katro kalau telat mengikutinya. Oleh sebab itu, gaullah biar gak katro!
Lampung Post, 18 Maret 2008


0 komentar:
Posting Komentar