Bincang-bincang


ShoutMix chat widget

Pengikut

Lebih Dekat

Selasa, 30 Maret 2010

Aku yang Menganggu*

Karya sastra merupakan tiruan kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Ia dapat mengungkap kenyataan yang ada di dunia atau dengan kata lain permasalahan yang tertulis dalam teks sastra merupakan refleksi kehidupan nyata.

Kemungkinan adanya kemiripan antara teks dan kenyataan dengan sendirinya merupakan hal yang lumrah karena bahan-bahannya diambil dari pengalaman literer si penulis di dunia nyata. Oleh sebab itu, karya sastra memunyai daya tarik tersendiri untuk dinikmati, karena selain menyenangkan, karya sastra juga bermanfaat bagi pembacanya (dulce et utile).

Sebuah karya akan menjadi menarik apabila penyampaian ceritanya dapat dikemas dengan baik. Selain penguasaan bahasa yang baik, komposisi yang seimbang antara dialog dan deskripsi suatu peristiwa serta menghindari pengulangan kata dalam proses penceritaan, merupakan sebagian kiat agar pembaca tertarik dan ceritanya tidak membosankan untuk dibaca.

Cerpen "Ketika Tuhan Mengambilnya Dariku" yang ditulis oleh Vita Anggraeni bercerita tentang kenangan Carla Erista akan sahabatnya, Viola Arviolina, yang meninggal dunia karena penyakit leukimia yang telah lama dideritanya.

Ketika Viola masih hidup, Carla menjadikan Viola sebagai objek keusilannya. Carla tak pernah menyangka jika kelakar yang sering dilakukan bersama teman-teman satu kelasnya membuat kesedihan yang mendalam di hati Viola. Kesedihan Viola yang terpendam itu diungkapkan Viola ketika teman-temannya, termasuk Carla, menjenguknya di rumah sakit.

“Aku tak perlu pusing-pusing memikirkan dunia. Aku tak akan mendengar dan merasakan kesedihan lagi, kan. Aku gak akan ngamuk-ngamuk lagi dan aku gak akan menghajarmu lagi Carla, maafin aku, ya.”

Simbol-simbol yang digunakan untuk mempertegas betapa menderita tokoh Viola dilambangkan dengan menggunakan angka dan ungkapan yang biasa dipakai untuk menggambarkan keadaan yang tidak menyenangkan. Seperti ruang 13 (angka sial), oma/nenek tua bau tanah (sudah mau mati), leukimia (penyakit yang belum ditemukan obatnya), dan membacakan Surat Yasin (biasa dibacakan ketika seseorang mendekati atau sudah dijemput maut).

Carla tidak dapat menghilangkan perasaan bersalahnya, karena dia tidak pernah meminta maaf kepada Viola atas semua perbuatan yang pernah dilakukannya. Penyesalannya itu berbuah sebuah kerinduan akan sahabatnya yang tidak akan mungkin terobati untuk selama-lamanya.

“Aku hanya stress. Aku merasa bersalah atas semua ini. Dan kenapa justru ketika Tuhan mengambilnya dariku, aku baru merasa kehilangan. Dan aku selalu diliputi kerinduan pada seorang sahabat yang telah tiada....”

Dari konflik batin tokoh utama inilah, pembaca dapat mengambil satu manfaat dari membaca karya sastra, mereflesikannya dalam kehidupan nyata. Kelakar yang terlalu berlebihan dapat mengakibatkan hati seseorang menjadi terluka.

“Atau kami beragumen tentang negara ini yang menurutnya memprihatinkan dan dunia yang bagaikan semut disiram minyak tanah. Itu semua benar-benar melukai hatiku.”

Melalui lanturan (digresi) ini, penulis mengajak pembaca untuk membayangkan kesedihan masyarakat Indonesia yang sedang dilanda banyak bencana melalui tokoh utama yang sedang mengenang masa-masa yang telah dilalui bersama sahabatnya.

Sayangnya, digresi yang ditampilkan pada bagian ini pembahasannya hanya secara umum saja, kurang mendalam dan tidak mengungkap fakta-fakta yang ada.

Seharusnya, digresi seperti ini bisa dimanfaatkan oleh seorang penulis sebagai corong penyampaian unek-unek ataupun tanggapan terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat, sehingga selain mengajak pembaca untuk bertualang ke alam imajinasi, karya sastra bisa juga dijadikan sebagai media rekam peristiwa satu masa. Digresi yang ditampilkan jangan sampai merusak jalan cerita, sehingga lanturan dan alur menjadi satu-kesatuan yang utuh.

Tema yang ditampilkan pada cerpen ini tidaklah berlebihan, dalam artian permasalahan yang diangkat hanya seputar masalah kehidupan remaja, karena sesuai (tidak jauh berbeda) dengan pengalaman emosional penulisnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan penulis lain yang sebaya dengannya, berbekal pengalaman intelektual, mengangkat tema yang lebih beragam atau diluar jangkauan pengalaman emosional yang dialami penulisnya.

Dalam cerpen ini, ada beberapa hal yang membuat pembaca terengah-engah. Seperti, penggunaan kata ganti aku yang terlalu banyak mengakibatkan mata menjadi lelah. Ada sekitar 134 aku yang berposisi sebagai kata ganti ataupun klitika (ku- dan -ku) di dalam cerpen ini.

Pada satu bagian, aku yang terlalu banyak mengaburkan aku yang seharusnya hanya menggantikan Carla, sebagai pencerita akuan sertaan tokoh utama. Seperti pada bagian kedua paragraf ke-30, perlu kejelian untuk memahami aku yang terdapat pada bagian tersebut adalah Carla bukan Viola.

Cerpen ini akan lebih menyenangkan lagi untuk dibaca apabila hal-hal tersebut disiasati agar tidak membosankan dan membingungkan. Penyiasatan bisa dilakukan dengan cara menampilkan nama tokoh utama atau meminimalisasi rangkaian kalimat yang banyak aku-nya menjadi lebih singkat serta mudah dimengerti.

Meskipun demikian, sudah sepantasnya kita berbangga dengan Vita Anggraeni yang sudah berkarya di usia belia, dapat disetarakan dengan Ajip Rosidi atau Motinggo Busye yang juga sudah mulai berkarya sedini dirinya. Kritik semata-mata hanya bagian dari keberhasilan. Jangan pernah lelah untuk terus berkarya.

*Ulasan Cerpen "Ketika Tuhan Mengambilnya Dariku"


KETIKA TUHAN MENGAMBILNYA DARIKU
Oleh Vita Anggraeni
SMPN 29 Bandarlampung

Aku menerawang jauh, memandangi ruangan itu. Entah sudah berapa lama aku duduk seperti ini, duduk membisu, sendiri dalam pikiranku, tenggelam bersama kenangan.

Di sana, di koridor kelas itu, kulihat ia bersamaku. Dia punya nama yang indah, Viola Arviolina. Dia berlari mengajarku. Tangan kurusnya–yang tak lebih kurus dariku– menyodor-nyodorkan sapu ijuk ke aku yang terus berlari. Kami tertawa dan saling berteriak.

Viola yang lain, muncul dari pintu ruangan itu. Ada dua Viola di sana. Kalau yang berlari, itu adalah ingatanku. Lantas datang dari mana Viola yang satunya? Ia mengenakan gaun putih yang indah dan tersenyum padaku. Aku, Carla Erista, sangat rindu padanya, dan itu mengingatkanku kembali akan semuanya....

***
“Hei, Vio,” panggilku.

Ia menoleh, dengan wajah kusut, berkata, ”Apa?”

“Gila!” Kataku menunjuknya dan aku tertawa, sementara hanya beringsut-ingsut kesal. Tapi, ia tidak marah. Bagi kami–atau bagiku–itu adalah hiburan yang benar-benar konyol. Sejak pertama aku mengenalnya, ia menjadi tempat keusilanku, dan ia tampak senang-senang saja. Kejahilan itu tak putusnya hingga kami berada di kelas yang sama lagi, di kelas 3E.

Viola jadi kacau menjelang ujian dan setiap aku mengatainya dengan, ”Vio gila seratus persen!”

Ia akan berkata dengan marah-marah, ”itu tau, udahlah, gw emang gila. Ga’ usah ngomong lagi!”

Pernah ia marah besar. Kuakui dan ia mengakui, bahwa kesabaran mengagumkan yang dimilikinya dua tahun silam telah berlubang. Ia jadi mudah merasa kesal. Ketika itu, semua teman dan aku mengganggunya, bahkan bukunya ada yang robek. Tapat saat Tera mengganggunya menulis, ia melempar semua benda di mejanya, berlari ke belakang, dan menangis. Usai dari itu, ia mencekikku, dan kami saling teriak. Akhirnya kami saling diam selama dua hari. Itu membuatku jadi merasa tak enak padanya.

Namun kemudian, kami damai. Ia membuatku tak betah berlama-lama diam, selain mencuri senyum hingga ia memancingku untuk bercanda dan usil lagi. Rasanya ada yang kurang bila sehari tak menggangunya dan ada yang aneh bila bertemu tak saling mengejar dan berteriak.

Teman-teman biasa memanggilnya ’oma’. Dan aku malah memanggilnya NSBT, nenek sialan bau tanah. Lengkap dengan Tera yang akan berkata, ”Oma, lo dipanggil.”

“Sama?”

“Sama Allah!” pekiknya dan kami tertawa. Tetapi terkadang, kulihat ia terdiam sewaktu-waktu, ia tampak lelah. Namun, ia tersenyum juga.

Di lain hari, ia akan menambah segala kekonyolan itu. Ia akan mengumumkan bahwa besok, tepatnya pukul sepuluh, aku akan membunuhnya dan menggalikan liang lahatnya.

“Teghus....“

“Terus, Oma… bukan teghus,” kata Tera. Karena ia tak bisa melafalkan ’R’-nya dengan sempurna.

“Ay…bodo! Teghus Deini datang dengan panik mengumumkan di depan kelas, ’Teman-teman, Vio is death!’ dan semua berkata– “

“I’m happy to hear that!” sorak kami tertawa ramai.

“Ay, mati aja lo, La!” kataku.

“Yah, makanya, besok jangan lupa siapkan belatinya, oke!”

“Sip!”

Semuanya itu hanyalah lelucon. Yang kami tahu Viola pun menganggapnya demikian, sebagai lelucon super konyol. Tanpa kusadari, hatinya terluka dan itu diperburuk oleh beban hidup dan penyakit yang dideritanya. Padahal selama ini, ia baik kepadaku. Aku yang tak pernah membicarakan tentang diriku, tetapi ia selalu mencari tahu tentang hidupku yang serba tersembunyi. Hatinya benar-benar tulus, ia akan mendengarkan setiap keluh kesah dan tangis yang dating padanya tanpa seorang pun dari mereka membalas.

Suatu hari yang muram tanpa matahari. Dan jarum-jarum air meluncur ganas dalam udara yang mengerikan. Viola ku lihat duduk sendiri di bangkunya, diam menatapi lantai yang kosong. Kala itu adalah hari pertama kami terbebas dari segala beban. UN dan ujian praktik telah usai berikut UAS yang baru terlewati. Intinya kami hanya tinggal menanti pengumuman.

“Vio, mana Tera?” tanyaku.

“Entahlah, seharusnya sebagai sohib lo lebih tau, kan?”j awabnya– entah mengapa – kesal tanpa menoleh apalagi menatapku.

Sohib? Benarkah sahabatku adalah Tera? Ah, entahlah, aku tak peduli. Tapi kenapa dengan Viola? Batinku berkata.

“Tumben ga’ bareng Deini,” ujarku.

“Bukankah ia selalu bareng Sharon,” jawabnya acuh tak acuh.

Kemudian Tera muncul dari pintu, dengan mengejutkan berteriak, ”Carla….. MU menang! Nonton ga’ lo? Sumpah! CO keren banget. Apalah, Chelsea kalah,” ia melirik Marsya.

“Apa lo!” kata Marsya kesal.

Dan tentang Viola, begitu mudah ku lupakan. Ketika itu pikiranku beralih ke pertandingan seru liga inggris yang semalam ku saksikan. Dan aku dan Tera justru beragumen seru mengenai pertandingan itu atau mengoceh tantang Cristiano Ronaldo, pemain dari club Setan Merah – julukan MU itu, yang merupakan idola kami.

Kelas menjadi sangat ribut siang harinya. Di luar hujan menyisakan gerimis lembut dalam cahaya matahari yang mulai naik, merangkak ke ubun-ubun. Beberapa di antara semuanya sibuk sendiri menbaca komik – Naruto, Shaman King, Trinity Blood, Blame, Inspirit Area – semantara yang lain mengobrol riang, bermain game, mendengarkan musik, bernyanyi atau berteriak-teriak. Aku sendiri membaca Naruto seri ke-33 yang kupinjam dari seorang teman, Kanggoro – nama yang aneh, ya. Dan Viola, hanya menyembunyikan wajah di lengannya. Setiap kali aku atau yang lain mengusilinya, ia hanya akan tersenyum kecil atau menatap tajam yang mengusilinya.

“Jangan, woi! Gilanya lagi kumat, entar dia ngamuk,” kata Deini mengumumkan.

“Tingkat kegilaan oma yang terparah,” kata Marsya.

Kemudian, menjelang bel memanggil untuk pulang, Viola terbatuk-batuk dengan parah.

“La, La,” panggilku.

Dia menoleh lemah.

“Mati aja, lo!” kataku dan Jimmy serempak.

Dia bangkit. Awalnya kupikir, dia akan mulai menyerangku atau mencekikku lagi. Tetapi, ia pergi ke luar. Setelah beberapa saat, ia kembali dengan tangan mendekap mulut dan wajahnya tampak pucat pasih. Ia bergegas duduk, mematung di kursinya.

“Oma kenapa?” Tanya Tera.

Belum sempat Viola menjawab, guru matematika kami, Bu Rina, masuk dengan cemas ke kelas. Dia tampak sangat khawatir.

“Siapa yang barusa batuk di luar!?” katanya.

“Siapa?” kata beberapa orang, sementara yang lain mengerling ke Viola yang semakin membatu.

“Kenapa, Bu?” Tanya Tera.

“Vio, yang batuk kamu!?”

Viola diam saja. Sebagai gantinya, ia justru terbatuk-batuk lagi dan setelah dekapan mulutnya diturunkan, terdapat genangan darah kental di telapak tangan kirinya.

***

Perlahan ku buka pintu ruang 13 itu. Dan aku melangkah masuk, lantas ku tutup kembali pintu di belakangku.

Di sana, terbaring lemah tubuh Viola. Kantung yang menggantung di tiang di sisinya menetes-neteskan cairan bening yang mengalir melalui selang infuse dan masuk ke tubuhnya melalui pergelangan tangannya. Ia sendiri, sepi seperti yang selalu dirasakannya. Dan sepinya kali ini sangat nyata, tak tersembunyi. Raut wajahnya tak seperti raut wajah Viola hari-hari yang lalu, tidak seperti Viola yang ku kenal. Itu adalah Viola yang sesungguhnya. Viola yang sepi.

Setelah batuk-batuk berdarah kemarin, ia langsung dilarikan ke rumah sakit yang tak jauh dari sekolah. Dan ternyata selama ini, ia menderita penyakit parah yang selalu disembunyikan, Leukimia yang telah mencapai tingkat 3. Tak seorang pun tahu akan hal ini sebelumnya.

Ku dekati dia, dan ku tarik kursi ke sisi ranjangnya, lantas aku duduk. Yang bias ku lakukan adalah memandangi wajahnya. Ketika seperti itu, Viola yang selalu berantakan tampak sangat anggun, dengan wajah yang tenang.

Aku sendiri – saat itu – tidak seperti aku yang biasanya. Tidak seperti Carla yang tak peduli dengan sekitarnya, Carla yang cuek dan Carla yang selalu tenang. Aku menjadi sangat khawatir dan gelisah akan Viola – entah kenapa.

“Kau tahu,” kataku. Dan aku sendiri kaget mendengar suaraku itu.

Tiba-tiba saja, dengan lepas dan bagaikan air mengalir, suara-suara keluar melalui kedua belah bibirku. Aku bercerita padanya. Menceritakan segala yang selama ini ku simpan sendiri, ku sembunyikan. Mengutarakan perasaanku dan semua bebanku, kesedihanku, harapanku, semuanya. Entah apa yang mendorongku. Aku tahu Viola tak mendengarkanku, tetapi aku jadi merasa tenang setelahnya. Akhirnya, setelah bertahun-tahun ku pendam, ku simpan, air mataku tumpah, beranah sungai di wajahku, setelah ku selesai menuturkan segalanya, semua yang membusuk di hatiku saking lamamya ku pendam.

Ku genggam tangannya dan aku tertunduk menangis.

“Terima kasih.”

Aku mendongak dan ku lihat Viola tersenyum padaku. Apakah ia mendengarku?

“Apa kamu tanang, Carla? Kurasa dengan demikian beban perasaanmu berkurang,” katanya lemah.

“Apa?” kataku seperti orang bego’.

“Dasar kecebong, masa kamu ga’ ngerti. Aku dengar semuanya Carla…” desahnya dengan lelah.

“Oh, ya? Erm…. aku.... “

“Tidak apa-apa, bukan masalah. Aku senang kok, kamu mau bicara… tentang kamu.”

Aku menunduk, telingaku seperti terbakar karena rasa malu yang menyerbuku.

Dan semenjak itu, setiap hari sepulanh sekolah aku dating berjalan kaki menjenguknya. Dan aku selalu sendiri. Dalam empat hari sejak ia menghuni ruang nomor 13 itu, banyak hal yang berharga yang tak akan pernah ku lupakan. Dia bercerita tentang impiannya, khayalan-khayalan gilanya, dan lelucon konyol. Dia memintaku membacakan surat Yasin untuknya dan mengajarinya Bahasa Inggris. Atau kami beragumen tentang negara ini yang menurutnya ‘Memprihatinkan’ dan dunia yang bagaikan ‘Semut Disiram Minyak Tanah’. Itu semua benar-benar melukai hatiku.

Hari kelima itu, yah…. hari kelima dan hari penghabisan, aku datang. Tetapi, ketika aku buka pinyu ruangan itu, aku tidak melihat Viola yang tersenyum. Melaikan sekumpulan orang yang mengelilingi tampatnya terbaring, yang sebagian besar teman kami. Dan ketika mereka menyadari kehadiranku, mereka bergeser, memberikan tempat untukku.

“Hallo,” sapanya hampir tak terdengar.

Di sisinya, ibunya duduk membelainya dan ayahnya tampak cemas. Ku lihat kumpulan teman-teman kami, menatap Viola dengan murung.

“Kamu mau lakukan sesuatu untukku?” katanya. “Aku ingin dengar kamu mengaji.”

Dan aku mengikuti permintaannya. Ku ambil Alquran di meja di sisinya dan ku baca sebuah surat.

“Suaramu memang mengagumkan,”katanya setelah selesai aku membacakan ayat-ayat suci Alquran itu. “Dan indah, seindah bidadari-bidadari itu.”

“Kamu ngomong apa?” kata ibunya di sisinya sembari memeluknya.

Viola menatap hampa langit-langit,” Dengan ini, berakhir sudah perjuanganku. Dengan ini, hilang semua beban pikiranku.”

“Vio…”

“Tidak apa-apa. Bukan masalah. Karena dengan ini, beban kalian berkurang. Kalian tidak perlu memikirkan biaya hidupku, biaya sekolahku terutama.”

“Jangan bicara begitu! Anak bodoh!”bantak ibunya lembut. Tetapi Viola seolah tak mendengarkannya.

“Aku tak perlu pusing-pusing memikirkan dunia. Aku tak akan mendengar dan merasakan kesedihan lagi, kan. Aku ga’ akan ngamuk-ngamuk lagi dan aku ga’ akan manghajarmu lagi Carla, maafin aku, ya,”ujarnya tersenyum padaku. “Kita teman. Ayah…ibu….ku harap kalian tak akn berselisih lagi. Semua, bagiku akan berakhir.”

Dadaku sesak dan mataku terasa perih.

“Kalian benar, aku akan dipanggil…sama Allah,” ia menatap langit-langit lagi.

“Nggak, Oma….” Tera terisak di antara semua isak pilu menyedihkan.

Raut wajah Viola berubah hampa.

“Kenapa?” air matanya mengalir. “Kenapa baru saat ini kalian – kalian peduli padaku?” suaranya bergetar.

“Oma, nggak gitu….” desah Sharon.

“Kalian tahu, ku pikir aku sudah cukup berusaha peduli pada kalian. Ku pikir dengan begini kalian akan mengerti apa yang sebenarnya ingin ku sampaikan, bahwa aku ingin kalian saling mengerti, saling memahami, dan saling membantu. Aku ingin menyiptakan dunia damai – walau itu tak mungkin.

Dan aku berharap kalian mampu mengusir jauh kebencian-kebencian dalam hati kalian. Aku ingin kalian menemukan sahabat dalam diri kalian. Alangkah damainya dunia ini jika kita saling mengerti, kan.”Viola terlebih pada dirinya sendiri.

“Oma….”

“Ingatlah, sepi itu datang karena kalian sendiri. Dan kesedihan atau pun derita itu datang karena kalian yang memunculkannya, hanya orang berhati kuat yang mampu menanganinya.”

Viola mendesah.

“Sudahlah,mungkin ini benar-benar konyol. Tak perlu dipikirkan. Itu hanya omong kosong,” aku tahu ia berdusta. Itu bukanlah omongan kosong.

“Ah,mereka datang,” katanya.

Aku hendak berbalik, aku tak sanggup tuk melihat apa yang berikutnya terjadi, tapi dia menahan tanganku di genggamannya.

”Maafkan semua salahku pada kalian, ya.”

Hening menyapu seisi ruangan itu.

“Oh, ya. Ibu, jangan lepaskan pelukan ini, ya, hangat banget. Inilah yang aku nantikan,”ia berhenti sejenak. Kemudian ia mengumandangkan kalimat sahadat, ashadualla illa ha ilallah wa ashadu anna muhammadarrosulullah.”

Dan dengan tenang, Viola memejamkan mata. Tuhan telah mengambilnya dariku.
Berikutnya, kudapati diriku bersama sekumpulan orang-orang, berkumpul di sekitar lubang di sebuah pemakaman. Aku melihatnya, tubuhnya digulingkan dengan tenang dalam lubang itu. Dalam benakku, akulah penyebab semua ini. Dalam pikiranku kulihat, akulah yang menggali liang lahat itu.

Aku seolah tak mampu menerima semua ini.

Seolah ada tangan raksaksa yang menamparku. Aku terjatuh dalam lorong gelap yang panjang, dingin, dan mengerikan.

***

Sebelum aku dapat menerimanya, aku selalu mengharap kehadirannya.

Aku terbangun dari tidurku malam harinya. Dan kupikir itu hanya mimpi buruk. Esoknya, aku menatapi pintu kelas dan berharap Viola Arviolina muncul tergesa-gesa karena terlambat atau hadir dengan gelisah karena belum menyelesaikan tugas. Tetapi, ia tak pernah kembali, tak pernah muncul, dan tak pernah datang.

Biar pun begitu aku selalu bertemu dengannya, dalam mimpiku. Dia bercerita banyak hal tentang hidupnya di dunia sana. Bahkan aku pernah bermimpi menjadi dirinya dan merasakan perasaannya. Dan siangnya, aku selalu melihatnya dengan tersenyum. Seperti sekarang ini.

Terkadang kupikir aku sudah gila. Tetapi, adakah orang gila yang bertanya-tanya apakah dirinya gila?

Aku hanya stress. Aku merasa bersalah atas semua ini. Dan kenapa justru ketika Tuhan mengambilnya dariku, aku baru merasa kehilangan. Dan aku selalu diliputi kerinduan pada seorang sahabat yang telah tiada.

Dan kata-katanyalah yang membuatku bertahan.

"Tutup semua emosimu dalam kegelapan. Rasakan pancaran kedamaian dalam hatimu, pancaran sinar dirimu. Hidup hanyalah sementara. Bertahanlah sobat!"

Radar Lampung, 29 April 2007

0 komentar: